[caption caption="(Amplop - foto: tribunnews.com)"][/caption]
Bagi yang pertama kali hendak kondangan atau njagong di Solo, saya coba bagikan pengalaman saya. Setelah lebih  dari 10 tahun tinggal di Solo, ada hal-hal unik dalam 'budaya' ngamplop. Dulu saya tinggal di Jawa Barat. Tentunya budaya ngamplop saat acara pernikahan atau sunatan berbeda. Di Jawa Barat mungkin yang saya tahu disana lebih 'liberal' dari di Solo. Atau malah kebanyakan daerah di Jawa Tengah hampir serupa satu sama lain. Walau ada istilah besaran isi tergantung daerah, tapi hati-hati siapa Anda atu pada siapa orang yang sedang melangsungkan acara. Dari mulai amplop yang dibuka saat kita datang, sampai serba salahnya mau masukin amplop kemana, pernah saya alami.Â
Dan mungkin bagi yang hendak njagong (kondangan) di Solo ada baiknya juga membaca serba-serbi tentang njagong di sini. Namun artikel saya tersebut lebih kepada hal-hal umum saat perhelatan. Kali ini coba saya bahas hanya berfokus pada ngamplop. Tradisi memberikan sumbangan berupa amplop berisi uang atau kado sudah umum, khususnya di pulau Jawa. Entah kalau di tempat lain di Indonesia. Perhatikan hal-hal berikut sebelum Anda pede njagong membawa amplo atau kado di Solo.
1. Njagong minimal 50 ribu
Mungkin hal ini menjadi 'unwritten norm' di Solo. Isi amplo minimal Rp. 50 ribu. Dan rekan atau teman saya di Solo selalu berucap demikian. Mungkin faktor-faktor berikut yang menjadikan syarat isi amplop minimum. Pertama, karena Solo adalah kota. Karena biaya melangsungkan pernikahan pada umumnya mahal. Kalau resepsi dirumah minimal 40 - 50 juta atau lebih. Belum kalau di gedung dengan katering dan atau WO. Kedua, harga-harga yang semakin tinggi. Dan terkait dengan biaya melangsungkan resepsi 50 ribu tidak terlalu banyak. Atau pada umumnya, harga barang-barng dan komoditi pada umumnya. Membawa uang 50 ribu ke minimarket bagi sebagian orang mungkin kecil.
2. Jangan lupa tulis nama di amplop
Nah, hal ini mungkin terkait poin pertama. Menulis nama Anda atau dengan keluarga di amplop jamak dilakukan. Ada selenting 'gengsi' jika si empunya acara membuka isi amplop dan melihat isi yang 'non-standar'. Ada axioma tersirat disini, bahwa uang isi amplop akan kembali pada kita saat kita mengadakan acara serupa. Dengan kata lain, apa yang kita beri akan kita tuai. Karena, si empunya acara biasanya akan mencatat uang dalam amplop plus nama si pemberi. Bahkan ada keluarga yang memang mencetak amplop lengkap dengan nama ayah dan bahkan dengan foto. Boleh saja Anda tidak memberi nama pada amplop. Namun sebaiknya jangan dilakukan. Karena empunya acara akan bingung nanti untuk 'mengembalikan' isi amplop suatu waktu.
3. Titip amplop, kalau tidak hadir
Seperti mahasiswa yang titip absen, titip amplop pun wajar. Jika Anda berhalangan hadir atau tidak sempat, titip pada teman yang juga diundang boleh saja. Karena ada aturan 'lucu' disini, 'wong'e ra teko ora opo-opo, sing penting amplope'. Atau jika di diartikan, orangnya tidak apa-apa tidak datang, yang penting amplopnya. Jadi mau tidak mau, karena sudah mendapat ulem (udangan) Anda harus datang. Walau Anda diwakili amplop. Jangan lupa, membawa souvenir resepsi kepada teman yang dititipi.Â
[caption caption="(Pesan untuk tidak membawa amplop/hadiah/menerima tamu di rumah - foto: dok.pri)"]
4. Baca ulem baik-baik
Nah, poin ini agak ironis dengan poin nomor 3. Karena kadang di ulem (undangan) ditulis kecil 'Tidak menerima amplop/hadiah/tamu dirumah'. Saya pernah bingung saat terlanjur membawa amplop, tapi tempat untuk memasukkan amplop tidak ada. Jadinya amplop kembali ke kantong. Karena beberapa resepsi memang sengaja tidak melakukan tradisi ngamplop atau kado. Ironisnya lagi, 'keterwakilan' Anda dengan amplop/kado tidak mungkin terjadi. Saat Anda tidak bisa hadir, maka tidak ada yang bisa menjadi 'wakil' Anda hadir. Atau tidak mungkin titip amplop ke teman yang hendak hadir.Â
5. Siap-siap shock ngamplop di daerah tertentu
Pengalaman ngamplop yang rada shock juga pernah saya alami. Amplop yang saya coba masukkan kotak, malah sengaja diminta pager ayu. Lalu di depan mata kita langsung disobek dan diambil uangnya. Lalu dicatat nama saya dan nominal uangnya di buku serupa buku tamu. Saya hanya bisa senyum-senyum waktu itu. Hal ini terjadi di daerah yang masih pedesaan. Karena seringnya saya njagong di daerah kota atau pinggir kota hal ini tidak pernah saya temui. Uniknya, beberapa tamu undangan ada yang membawa hasil tani seperti beras, pisang, kelapa atau singkong ke meja pager ayu.Â
Dan memenuhi undangan hukumnya tentu wajib bagi kaum Muslim. Dan saya fikir bermanfaat sekali menghadiri undangan pada umumnya. Karena selai menjalin tali silaturahim, menghadiri undangan juga menguatkan fondasi interaksi sosial. Menyumbang amplop memang bukan menjadi hal yang wajib ada dalam setiap resepsi. Namun saat budaya ada dan kita menegasi hal ini, saya fikir bukan hal yang baik. Karena kita tidak hidup sendirian.
Ada pun yang tidak menerima budaya amplop pada satu perhelatan, bukan berarti ia memarjinalkan budaya yang ada. Mungkin maksudnya si empunya acara agar tidak memberatkan yang diundang. Karena ada juga hal 'lucu' saat menerima ulem. Saat teman atau rekan lain tidak diundang, maka mereka malah mengucap syukur. Bersyukur karena tidak ada pengeluaran untuk amplop atau hadiah.
Mungkin itu beberapa pengalaman saya untuk serba-serbi ngamplop di seputaran Solo umumnya. Ada pun serba-serbi lain, mungkin bisa di-share di sini.
Salam,
Solo, 15 Agustus 2015
12:04 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H