Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tanpa Plonco, Siswa Jadi Cemen Bung?

28 Juli 2015   08:00 Diperbarui: 28 Juli 2015   08:00 3862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(ilustrasi: baltyra.com)"][/caption]

Masa Orientasi Siswa (MOS) identik dengan perploncoan. Dimana kejadian ‘balas dendam’ para senior diulang lagi beberapa hari ke depan. Seremoni yang sejatinya memperkenalkan siswa pada sekolah dan isinya, berubah menjadi ‘berasa horor’. Acara yang disusun mulai dari acara kelas sampai acara lapangan menjadi katarsis dendam para senior pada juniornya.

Entah siapa yang memulai orientasi sekolah menjadi ajang perploncoan? Tapi yang pasti, jaman saya sekolah SMP dan SMA, bahkan kuliah MOS sama dengan plonco. Dimana hari pertama menjejakkan kaki, saya sudah disambut dengan syarat-syarat aneh dan benda-benda tak masuk akal untuk dibawa atau dipakai beberapa hari ke depan. Lalu ada ‘pelajaran’ baris-berbaris. Juga ditambah pameran atau eksibisi ekskul yang juga membuat decak kagum. Plus, tentunya, omelan dan kadang ‘kontak fisik’ dari para senior.

MOS = Plonco

Ya, semua wajar apa adanya pada jaman saya SMP sampai masuk kuliah. Dan semuanya baik-baik saja saat mengikuti MOS. Tidak ada korban luka, sakit hati bahkan sampai meninggal dunia. Lalu entah apa yang merubah MOS menjadi ‘horror sejati’. Ada siswa yang tidak terima dianiaya seniornya selama MOS. Toh memang jatuh korban jiwa saat MOS. Hal ini tidak bisa diingkari lagi.

MOS yang berstigma plonco pun kini benar-benar dihapus. Tidak ada lagi dendam senior pada freshmen. Tali katarsis dendam kini diputus total. MOS kini menjadi ajang benar-benar orientasi. Dimana nantinya, siswa dan mahasiswa merasa seperti campus tour’. Tentunya semua seluk beluk administratif, kesiswaan, dan birokrasi akan diperkenalkan. Siswa hanya cukup apel pagi lalu sisa harinya akan lebih banyak duduk.

Ah, siswa sekarang akan menjadi cengeng. Benak saya, atau sebagian kita berfikir. Baru diminta membawa benda-benda aneh saya udah mewek. Diminta baris-berbaris rapih sambil dibentak-bentak saja sudah lapor polisi mungkin. Ada sedikit kontak fisik mungkin akan menggugat dan memanggil pengacara pada si pelaku pemukulan. MOS berasa ajang pra-jabatan atau workshop karyawan saja. Tanpa kesan tanpa makna.

Masuk ke sekolah atau kampus berasa formal sekali saat MOS. Juga saat berpisah dari sekolah atau kampus kesan formal berasa. Siswa atau mahasiswa berasa sekolah adalah sebuah lembaga formal seutuhnya. Mereka seperti berada dalam controlled environment sebuah eksperimen besar bernama sistem pendidikan maha sempurna. Sedang kehidupan di luar sekolah sangat berat. Persaingan bisa saling sikut untuk sekadar jabatan. Sayang, beratnya kehidupan penuh dengan kesisinisan senioritas dan birokrasi tidak dirasakan di sekolah.

Siswa, mungkin saja menjadi manja. Atau mungkin karena MOS ini adalah permintaan orangtua yang sayang dengan anaknya. Atau, malah memanjakan anaknya. Jangan sampai si anak merasakan pahitnya MOS seperti si orangtua pernah rasakan. Biar anak mereka merasakan indahnya sekolah tanpa MOS. Maka ia akan betah di sekolah yang nyaman. Saat dunia selepas sekolah sudah saking jenuh dengan persaingan, cukup orangtua mereka yang mencukupi hidup mereka.

MOS = Kekerasan

Tidak, saya tidak menentang kebijakan MOS baru tanpa plonco di sekolah. Ini baik adanya. Karena trend yang terjadi memang MOS beberapa tahun ke belakang, identik dengan kekerasan. Ya, bisa saya bilang dengan kekerasan bukan dengan perploncoan. Plonco akan lebih identik dengan main-main dan sendau gurau. Sebuah ajang menjalin kedekatan junior dengan senior dengan cara menegangkan, namun tetap terkontrol. Walau senior membentak, junior mungkin tidak tahu kalau di belakang barisan mereka, senior cekikikan.

Entah siapa atau apa yang membuat MOS kini identik dengan kekerasan. Apa karena mungkin dendam yang menumpuk dari senior-senior terdahulu? Hal ini tidak mungkin. Karena seusai MOS junir dan senior akan semakin erat persahabatannya. Setidaknya itu yang saya rasakan. Atau karena kurangnya pengawasan pihak sekolah? Karena saya tahu pasti, saat saya menjadi panitia MOS guru selalu mendampingi kami saat rapat maupun saat acara berlangsung.

Saat menjadi senior dulu, saya tidak merasakan dendam saat MOS. Atau malah melampiaskan dendam pada junior yang tidak tahu apa salahnya. Saya hanya ingin dekat dengan para junior dengan cara yang kami tahu. Melakukan plonco, bukan kekerasan.

Salam,

Solo, 28 Juli 2015

08:01 am

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun