Mitos ini mungkin telah saya dengar dari saat saya remaja. Mitos yang menyatakan kalau anak pertama akan merasa iri saat adiknya nanti lahir. Dasar 'logikanya' adalah perhatia dan kasih sayang orangtua akan terfokus ke adik. Sedang si kakak akan terbengkalai. Karena kakak mungkin sudah besar. Atau lebih mendapat perhatian dari eyangnya. Karena banyak juga yang akhirnya menyerahkan mengurusi kakak pada orangtua atau orang terdekat. Atau bahkan pada pembantu. Dan mitos ini pun, secara tidak sadar tertanam pada saya.
Namun, saya dan istri saya mencoba mempelajari sisi lain dari mitos ini. Dengan kata lain, benar atau tidak sih mitos ini. dan kebetulan sejauh ini kami belum bisa 'membenarkan' mitos ini. Sejak mengandung anak ke dua beberapa hal telah kami coba pelajari dan telusuri. Apa saja yang membuat si kaka nanti cemburu pada adiknya? Apa saja yang kira-kira bisa dilakukan untuk setidaknya 'mengurangi' rasa iri pada sang adik nanti?
Apa saja yang kira-kira akan si kakak cemburui pada si adik? Nah, ini tentunya hal-hal yang umum diketahui. Mulai dari waktu, dimana si kakak akan berkurang waktunya dengan saya atau istri saya. Lalu ada perhatian, dimana perhatian tentunya akan terpecah antara si kakak dengan si adik. Dan terakhir, mungkin kasih sayang. Dimana si adik akan lebih disayang daripada si kakak. Dan sayangnya, hal-hal tadi tidak terbukti adanya dengan kami.
Waktu kami berdua tetap ada untuk ke dua anak kami sejauh ini. Saat si adik tidur, istri saya bisa bermain dengan si kakak. Saat si adik melek, si kakak bisa bermain dengan istri dan si adik. Saya pun merasa waktu kami curahkan seperti biasa, walau anak sudah dua. Perhatian pun sejauh ini tidak terpecah. Saat si kakak mengajak membaca buku ceritanya, saya bisa bacakan. Sedang si adik juga tetap saya gendong, saat istri saya sibuk. Kasih sayang kami pun tidak berkurang. Baik buat si kaka ataupun si adik, kasih saya say dan istri malah bertambah.
Bagaimana caranya? Mungkin tips-tips berikut bisa dicoba. Karena sejauh ini, tips-tips ini dapat kami jalankan. Namun tetap, orangtua harus konsisten menjalankannya.Â
1. Libatkan si kakak dari awal kehamilan
Melibatkan si kakak disini bukan sekadar memberi tahu si adik akan lahir. Namun lebih komprehensif. Karena kami berdua faham, kehamilan dan kelahiran adalah usaha tim. Bukan saja istri saya secara fisik. Tapi secara psikologis dan spiritual adalah perjalan kamii satu keluarga sebagai tim. Langkah konkritnya, si kakak ikut dalam segala hal saat kehamilan dan saat kelahiran si adik.
Si kakak ikut menunggui adiknya saat USG. Ia pun tahu akan segala suplemen untuk istri saya. Ia bahkan tahu kapan harus minum suplemen. Dan kebetulan, istri saya pun ikut pre-natal yoga. Dan si kakak pun ikut saat istri saya yoga. Dan semuanya kami jelaskan, bahwa ini semua untuk menyambut si adik.Â
2. Konsisten dalam afirmasi kehamilan
Si kakak pun kami afirmasi positif dalam menyambut si adik. Dan secara langsung menanamkan dalam fikiran si kakak, kehamilan ibunya bukanlah 'penyakit'. Atau dalam hal lain, bukan halangan untuk beraktifitas. Sehingga si kakak melihat istri saya hamil tua, namun tetap ceria. Ditambah afirmasi positif untuk calon adik yang sering si kakak tahu, membuatnya berfikir positif pada si adik.
Saat isri mengafirmasi positif si jabang bayi, akaada reaksi positif untuk istri saya. Dan hal ini saya sudah buktikan sejak anak pertama kami lahir. Sehingga, kehamilan si calon adiktidak membawa 'kesusahan' berarti untuk istri saya. Dan dampaknya, si kakak ikut merasa positif pada istri dan calon adiknya. Karena banyak juga yang merasa kehamilan adalah 'penyakit' dan kesusahan. Mungkin hal ini membuat si kakak memandang calon adiknya 'menyusahkan' ibunya.Â
3. Sambut kelahiran si adik dengan sukacita
Saat kehamilan si kakak sudah begitu positif, maka jiwa suportifnya akan muncul. Dalam pengalaman kami, si kakak saya ajak menyambut kelahiran si adik. Ia benar-benar ada di ruangan saat si adik muncul dari jalan lahir. Si kakak juga melihat istri saya mengalami sakitnya kontraksi. Namun karena sudah kami beri pemahaman awal tentang kelahiran, si kakak malah menghibur istri saya.
Saat si adik keluar, kami pun semua menyungging senyum. Kami semua bersuka cita. Si kakak kami beri tahu kalau si adik sehat. Lalu kami bersama sapa si adik. Sambil terus mengucap syukur, saya dan istri terus tersenyum. Walau istri saya hampir 9 jam mengalami kontraksi, ia tetap mencoba positif. Berkat yoga dan pola fikir positif, istri saya sudah kuat dan dikuatkan. Karena kami sejak awal tahu, menyambut si adik adalah kerjasama tim.
Dan sampai saat ini, kami bersyukur si kakak minim sekali rasa cemburunya pada si adik. Walau si kakak masih menyusui, padahal usianya 3 tahun, tapi si kakak mau berbagi. Lagi pula, jadwal nenen si kakak pun hanya sebelum tidur. Ia tetap menunggu 'antrian' saat si adik nenen yang pertama.
Saya pun yakin, rasa iri bisa saja terjadi di usia si kakak ke depan. Namun buat kami, karena sejak kecil sudah kami tanamkan hal baik sesama saudara, mudah-mudahan tidak terjadi rasa iri berlebih. Tentunya, kami pun masih akan terus belajar dalam mendidik dan tumbuh bersama anak-anak kami.
Salam,
Solo, 25 Juli 2015
11:49 pm
---
(ilustrasi: myownsweethome.wordpress.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H