Hilangkan Stigma Kaum Pendatang
Lalu pertanyaan pun menggelayut. Apakah Jakarta masih bisa dianggap tujuan kaum pendatang? Saat kebanyakan isi penduduk Jakarta sendiri adalah pendatang. Lihat saja ketika mudik, lengangnya Jakarta, penduduknya banyak pergi mudik. Betapa indah Jakarta sebagai kota jika lengang. Namun saat arus balik terjadi, DKI Jakarta tak lain adalah kota para pendatang. Mungkin jika saya bisa bilang, Jakarta adalah melting pot orang Indonesia dengan beragam suku atau etnis. Jakarta tetap menjadi kampung halaman orang Betawi. Namun di satu sisi ia milik orang Indonesia secara utuh.
Dan naïf rasanya mendengar jika pembangunan di desa harus ditingkatkan, guna mencegah fenomena ini. Desa bagaimanapun akan tetap maju dan membangun. Desa tidak mungkin stagnan. Namun percepatan pembangunan, secara analogi akan lebih cepat Jakarta dan kota besar tentunya. Juga godaan mencari penghidupan akan terus ada seusai Lebaran, atau di kesempatan lain di desa. Dengan pemudik yang kembali ke kampung halaman, maka ia menjadi contoh sukses di perantauan. Tidak ada yang salah untuk mereka yang ada di desa mencoba mencari hidup di Jakarta.
Tapi di Jakarta yang padat dengan pendatang lama yang sarkastik pun mencoba menolak kaum pendatang baru. Sudahi saja istilah ‘serbuan orang kampung’ atau wacana debat ‘sapa suruh datang Jakarta?’ saat pembicaranya pun orang-orang yang dulunya adalah orang kampung. Sehingga, wajar jika Jakarta tidak lagi disematkan wacana ‘terkena serbuan kaum urban’. Hilangkan dan biarkan waktu yang menuntun para pendatang kembali ke desa jika gagal di Jakarta.
Dengan tidak menampik jasa orang Betawi membangun Jakarta, peran pendatang pun banyak terasa. Mulai dari pimpinan Jakarta yang bukan orang asli Jakarta pada control birokrasi. Sampai pedangan asongan dari luar jawa yang membuat roda ekonomi berputar. Pendatang pun membangun Jakarta dengan caranya. Walau banyak pula yang menyerah dan pasrah untuk kembali ke daerah asalnya.
Banyak kenalan saya yang pernah sekali waktu merantau di Jakarta. Lalu mereka kembali ke desanya. Semua karena mereka tidak mampu bersaing di Jakarta. Karena saya pun yakin, para pendatang yang datang dengan skill dan kecakapan apa adanya, akan bekerja di Jakarta dengan apa adanya. Setidaknya sampai mereka jenuh dan bosan lalu memutuskan kembali ke desa. Entah kembali macul di sawah atau ngangon kambing di ladang.
Â
Salam,
Solo, 23 Juli 2015
12:23 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H