Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Duuh, Kapan Artikel Saya Jadi Headline?

3 Mei 2015   22:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:25 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="558" caption="(ilustrasi: theglobeandmail.com)"][/caption] Masih bingung saya rasanya untuk menembus kolom Headline (HL). Laman awal Kompasiana.com versi desktop pasti yang pertama orang lihat adalah kolom Headline yang mentereng dengan gambar. Daripada deretan Tulisan Terbaru yang adanya barisan tulisan baru dengan judul yang wah. Kadang judul sesuai isi, kadang cuma 'click-gatherer' saja. Kalau laman versi mobile, Kompasiana.com pun tak jauh beda. Yang ngejreng besar tulisannya adalah artikel-artikel Headline. Dan di bawah HL, berderet artikel baru yang kadang cuma saya skip. Pilih, lihat dan baca artikel HL, saya kira artikel saya tidak kalah hebat. Baik isi, ide, maupun perspektif pada satu isu yang hot atau aktual lebih bagus punya saya. Lalu kenapa admin tidak mengganjar artikel saya HL? Sedang deretan tulisan di akun Profile Kompasiana saya, semua tidak ada badge HL. Tidak seperti Kompasianer lain, yang tulisannya banyak berjejer HL. Atau setidaknya komentar atau vote. Yang kalau dihitung dengan kedua tangan dan kaki tidak cukup. Duuh... kapan artikel saya jadi HL? Tips Agar Artikel Jadi HL = Tidak Ada Tips Keluh kesah diatas pernah saya alami sewaktu kali pertama nimbrung menulis di Kompasiana. Dua tahun lalu, mulai kenal Kompasiana dari teman, lalu daftar, jadi silent reader, coba-coba menulis mendapat HL memang butuh 'perjuangan'. Saya ingat kali pertama dianjar badge biru HL di artikel saya. Sebuah artikel yang sebenarnya dibuat nothing-to-lose saja. Karena beritanya aktual ketika masa Pemilu 2014 lalu. Tepat tanggal 23 Oktober 2013, artikel saya diganjar HL, pertama kali (artikel saya di sini). Deg-degan juga pas tahu artikel dijadikan HL. Senang dan bersemangat menulis kembali untuk terus menulis sampai sekarang. Bukan pula saya harus ngoyo mengejar HL agar bisa 'eksis' terus. Ada masanya HL itu akan diganjar oleh admin. Seperti sebuah axioma, semua akan indah pada waktunya, begitulah HL. Artikel yang kita buat lambat laun akan memiliki caranya menjadi HL. Menjadi sorotan dan perhatian banyak orang. Mendapat komentar dan vote yang banyak dan bejibun. Bangga boleh saja, asal tidak over-dosis saja. Intinya buat saya, menjadi diri yang bermanfaat untuk orang lain dengan artikel yang saya buat, itu saja. Lalu adakah tips-tips agar artikel menjadi HL? Buat saya pribadi, tidak ada sama sekali tips. HL atau kadang Trending (TA) buat saya pribadi hanya side effect dari konsistensi dan interaksi menulis di Kompasiana. Selama konsistensi dan interaksi itu ada, artikel menjadi HL dan atau TA patut disyukuri. Hal ini berarti, artikel yang kita buat adalah 'perjuangan' kita untuk konsisten dan berinteraksi. Konsistensi bisa diartikan secara sederhana, ya menulis di Kompasiana. Setidaknya satu artikel satu hari, one day one article. Sebuah 'gerakan' yang didengungkan Kompasianer favorit saya sampai saat ini. Namun, jika kesibukan menerpa tulis saja apa yang dirasakan di waktu yang klik. Kadang mood baik, saat menulis membuat tulisan mengalir bak sungai yang berkelok indah. Seminggu sekali silahkan, seminggu dua kali dst. pun monggo. Juga, konsistensi juga menulis dengan satu bidang ahli atau bidang yang disukai. Itupun sangat personal sesuai bakat, hobi, dan mungkin profesi. Lalu, interaksi juga patut diingat. Kompasiana itu serupa lingkungan warga dengan semua dinamikanya. Bertegur sapanya melalui kolom komentar. Atau sekadar memberi senyum dengan vote. Sederhana. Interaksi inilah yang membuat kita, dan artikel kita, dinamis. Ketika Kompasianer lain memberi komentar di artikel kita, baik mengkritik atau menyanggah isinya, hal ini membuat artikel kita menjadi 'dewasa'. Kita yang menulisnya pun tahu tid-bits dari kritik dan komentar yang ada. Kitapun jangan sungkan menitip artikel di kolom komentar. Saya tidak sungkan membaca dan balasan komentar atau vote di kolom yang dititip tadi. Interaksi dari sini pun terjalin. Kehangatan 'berwarga' di Kompasiana pun kian terasa. Jangan berputus asa atas karya yang kita buat. Ia akan menemukan sendiri pembacanya satu hari nanti. Karena artikel kita sudah tercatat secara digital di internet. Bukan tidak mungkin ia dijadikan referensi. Walau buruknya, kadang di-copas dengan tidak mencantumkan nama kita sebagai penulisnya. Google tahu siapa yang pertama kali menulis artikel tersebut. Tidak perlu takut. Jadi, mengharap HL adalah kewajaran. Namun kewajaran ini juga jangan dipandang dari diri sebagai penulis. Wajar jika dinilai dari pembaca dan juga admin atas artikel kita, juga menjadi ukuran. Esensi dari konsistensi menulis dan interaksi penulislah yang membuat HL akan kian berwarna. Artikel saya yang terkait:

Salam, Solo, 03 April 2015 10: 46 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun