Menyusuri jalan-jalan desa sekitar daerah Nogosari Boyolali, pemandangan Angkudes (Angkutan Pedesaan) memang sudah cukup langka. Seiring banyaknya orang yang memiliki kendaraan bermotor, peran Angkudes nampak mulai tergantikan. Sarana transportasi motor yang mudah didapat (dengan kredit) dan praktis menjadi pilihan utama penduduk desa.
Pilihan memakai jasa Angkudes jurusan Nogosari-Kartasura mungkin sudah mulai turun. Yang saya lihatpun hanya orang-orang tua yang menaikinya. Pilihan yang menjadikan para penumpang yang membutuhkan waktu sampai tempat tujuan yang cepat beralih ke sepeda motor. Menaiki sebuah Angkudes Nogosari-Kartasura sudah seprti menaiki seekor keledai. Selain lambat, Angkudes ini juga kadang berhenti (ngetem) cukup lama.
Dilema Mengejar Setoran
Alasan utama para sopir tentunya mengejar jumalah setoran yang cukup dalam satu hari. Apalagi Angkudes ini bukan dimiliki Pemkab, melainkan individu. Tak pelak, dalam hal perawatan dan servis berkala pun diirit. Faktanya, banyak Angkudes Nogosari-Kartasura ini yang sudah mulai aus atau bobrok. Yang lalu menjadi alasan ketidaknyamanan penumpang.
Waktu tempuh Nogosari-Kartasura yang bisa mencapai 1 jam (normal 30 menit) memang sebagai alasan supir untuk mendapat penumpang. Walau dijam pagi anak sekolah banyak menaiki, ongkos anak sekolah tentunya berbeda dengan dewasa. Sehingga, melambatkan laju kendaraan (sampai 10 Km/jam) supir lakukan. Semua demi menunggu adanya penumpang di pinggir jalan yang mau atau berkenan naik.
Sehingga, dilema mengejar setoran dengan konsekuensi lamanya waktu tempuh membuat minat menaiki Angkudes ini semakin menurun. Mereka yang naik pun saya kira memiliki waktu yang berlebih dan banyak. Selain mereka, anak sekolah pada jam pagi dan siang juga menaiki Angkudes ini.
Mungkin 3-5 tahun lagi nasib Angkudes Nogosari-Kartasura ini akan semakin redup. Seiring mudahnya penduduk mendapat motor dengan kredit. Ditambah lagi prasaran jalan yang kurang memadai. Faktanya, jalan antara Nogosari-Kartasura hampir 40% rusak berat. Truk pengangkut tanah yang hilir-mudik setiap hari menjadikan jalan semakin berlubang.
Kedua faktor yang nantinya akan mematikan sarana penduduk saling mengenal dan bertegur sapa. Sering dijumpai jika di Angkudes ini, tegur sapa dan tepa slira sesama penumpang terjadi. Mengobrol sambil menanti sampai tempat tujuan adalah pola tradisi budaya Indonesia sesungguhnya. Namun, hal itu nampak akan tergantikan dengan individualitas dalam mengendarai motor sendiri-sendiri.
Serupa dari saya:
Batik Solo Trans (BST) yang Semakin Memprihatinkan
Solo, 11 Oktober 2013
08:49 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H