Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu 2014, Pesta Demokrasi yang Mengerikan!

30 Januari 2014   10:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:19 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi: deviantart.net)

[caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="(ilustrasi: deviantart.net)"][/caption] Ungkapan mengerikan kiranya lebih cocok bersanding di perhelatan Pemilu 2014. Segala sesuatu dari pra-Pemilu sampai paska Pemilu nanti, kiranya terkesan carut-marut. Penuh intrik dan liku-liku politik yang simpang siur. Mulai dari jumlah DPT yang tidak jelas. Sampai polemik Pemilu 2014 yang nanti dianggap tidak legitimate atau syah secara konstitusi. Perdebatan Pemilu serentak yang ditetapkan mulai tahun 2019, menjadikan Presiden Indonesia yang terpilh di Pemilu 2014 inkonstitusional. Membingungkan dan seperti membuat kami masyarakat Indonesia semakin melihat karut-marutnya 'pesta' demokrasi. Belum lagi persoalan dana saksi Parpol yang terkesan dipaksakan dan terburu-buru. Dana APBN seperti layaknya kas RT/RW yang bisa dengan mudah diambil. Itukah demokrasi? Kami masyarakat saja heran dan geram melihat polah tingkah politisi yang serupa anak TK. Saling tuding, saling sikut sana sini, mengadu dan mencari sensasi. Dan mereka wajah lama pun seperti belum puas memimpin. Kembali menjadi Caleg lagi di Pemilu ini. Merasa mampu belum tentu dianggap mampu. Partai yang mulai kedodoran dan minim jumlah kader yang berprestasi, menyikat Caleg dari selebritis. Biaya nyaleg yang tinggi, menjadikan demokrasi hampa. Tidak ada demokrasi jika penggelembungan suara terjadi kembali di tahun ini. Jumlah pemilih hantu yang bergentayangan kini berada entah dimana, bisa saja timbul saat penghitungan nanti. Mungkin dengan deal-deal dari para oknum busuk ditatanan birokrasi dan pemerintahan, bisa saja terjadi. Belum lagi dana pengamanan Pemilu yang dianggap gila. Pengajuan dana pengaman dari DPR yang sampai 3,5 triliun menjadikan hal yang luar biasa. Dana yang kami masyarakat Indonesia tidak tahu dan menjadi kurang perduli buat apa. Karena sudah semakin eneg melihat segala berita dan kontroversi Pemilu 2014 sampai saat ini. Jumlah personil yang dikerahkan pun seperti hendak perang pada Pemilu nanti. Untuk DKI saja, sekitar 19.000 ribu dipersiapkan mengamankan Pemilu. Dan sejauh saya ingat, Pemilu tahun 2009 Golput memenangi Pilpres. Sekitar 29, 6 persen pemilih pada Pemilu 2009 memilih golput. Sehingga bisa dibaca Pemilu 2014, akan lengang TPS yang disediakan. Belum lagi mereka yang tidak ada dalam DPT. Membuat mereka pasrah. Pesta demokrasi Pemilu ini, hanyalah pesta para politisi. Pesta yang sejatinya memendarkan gelora demokrasi, Pemilu kini menjadi sebuah entitas industri. Pemilu melahirkan politisi dari partai yang menjadi pendulang uang rakyat. Sibuk mengutak-atik APBN demi pribadi, golongan, dan partai dimahfumi bersama. Politisi tidak menggerakkan jalannya pemerintahan, sejatinya. Kini mereka menjadi sapi perah oknum dan partai. Politik transaksional tidak terjadi antara politisi-rakyat. Tapi lebih kepada politisi-penguasa+oknum. Jadilah kiranya gambaran kengerian Pemilu 2014. Sebuah drama politik yang terus berulang dan menjadi penyakit. Pemilu Jurdil dan Bersih pun tidak lagi digaungkan KPU. Karena tahu, Pemilu hanya menyajikan dagelan politik industri. Siapa menang adalah siapa yang mampu menguasai aspek-aspek perengkuh suara di ranah birokrasi dan pemerintahan. Demokrasi 5 menit buat rakyat menjadi gerbang maut 5 tahun ke depan. Mencoblos itu mudah cuma 5 menit, bhakna kurang. Namun tanggung jawab dan derita jika salah memilih pemimpin merugikan diri dan bangsa 5 tahun ke depan. Menjelang Pemilu 2014 ini pun, kengerian itu sudah terlihat. Sebuah guyonan yang menyembunyikan betapa krisis kepemimpinan itu nyata. Betapa pemegang kendali nahkoda negara ini sibuk dengan somasi. Sedang rakyatnya didera bencana alam dan bencana fikir yang berat. Salam, Solo, 30 Januari 2014 10:45 am

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun