Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ini yang Membuat Uang Sogokan Caleg Masih Tetap Ampuh

29 Januari 2014   21:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:20 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="486" caption="(ilustrasi: kabarwashliyah.com)"][/caption] Istri saya sempat dicurhati rewang (pembantu rumah tangga) di rumah beberapa waktu lalu. Ada seoarang Caleg dari daerah sekitar rumahnya berkunjung. Sang Caleg rupanya hendak memberi uang. Uangnya lumayan banyak untuknya. Sejumlah Rp 100.000. Dan rewang saya tadi pun menerimanya. Dengan gaya sopan bertamu dan bertanya kabar, sang Caleg pamit dengan mengamplopi uang tadi. Alasannya uang ini buat anaknya yang masih sekolah. Dan dari saat itupun saya berfikir. Inilah kiranya yang Caleg gunakan untuk meregkuh simpati pemilih. Meraih suara dengan cara yang membumi dan halus. Cara yang sangat tidak frontal. Sang Caleg tidak meminta dipilih atau mengingatkan nomor urut berapa ia nanti saat Pemilu April nanti. Dengan halus, ia membungkus niat merayu pemilih dengan bentuk sumbangan atau amal. Dan, setelah saya telaah lebih dalam, cara-cara ini kiranya umum digunakan Caleg atau siapapun yang hendak mencari posisi di pemerintahan. Dulu ketika rekan dosen hendak nyalon lurah. Segala bentuk sogokan atau money politic berbalut sisi membumi dan halus ini juga berlangsung. Rekan saya tadi pun mengeluarkan uang juga untuk meraup suara pemilih. Sayang disayang, karena isi amplop yang sedikit, rekan saya tadi tidak banyak yang memilih. Kalah bersaing dengan calon lurah incumbent kaya raya di desanya. Dan ini mungkin banyak terjadi di daerah Jawa Tengah sini. Sehingga ada modus yang membumi dan halus untuk memuluskan money politic demi merengkuh suara. Mengemis Suara Dengan Berbalut Amal Atau Bantuan Sepeti kasus rewang saya tadi, sang Caleg dengan 'yakin' ia memberikan uang itu untuk anak rewang saya. Bukan untuk meminta dipilih saat Pemilu nanti. Mengapa demikian? Karena pada dasarnya, sang Caleg tahu ia sudah cukup populer (walau instan) di daerah pilihannya. Dengan baliho dan spanduk yang tim sukses pasang dimana-mana, tentunya rewang saya tahu. Dengan hanya berbekal tahu dan mengenali wajah sang Caleg, mertamu atau berkunjung ke rumah seseorang adalah adat yang umum disini. Dan rewang saya tadi tentunya mempersilahkan. Dan sang Caleg juga tahu ia akan dipersilakan masuk, karena si empunya rumah tahu siapa dia. Dasarnya, dengan hanya cukup tahu wajah saja, sebenarnya sudah ada keterkaitan antara calon pemilih dan Caleg. Apalagi ditambah rumor dan bisik-bisik tetangga menyoal Caleg tadi, tentunya rewang saya tadi akan sungkan jika tidak mempersilakan. Dan sumbangan untuk anaknya tadi tentunya secara implisit menandakan ada balas budi yang harus dibuat oleh rewang saya tadi. Ada sebuah keharusan yang terhujam untuk bisa membalas. Karena uang tadi sejatinya adalah simbolisasi pamrih sang Caleg. Dan dibalut dengan amal atau sumbangan, adat disini tidak mungkin menolak. Apalagi uang tentunya dianggap rezeki. Menolak adalah sebuah resistensi terhadap adat Jawa terutama. Mau tidak mau harus mau. Dan di waktu ke depan, sumbangan tadi harus dibalas. Menjadikan Nilai Ewuh Pekewuh Sebagai Senjata Menodong Pamrih Dan dengan amal atau sumbangan sang Caleg tadi, sejatinya ada unsur budaya Jawa yang dipermainkan. Sang Caleg tahu dan memahami nilai ewuh pekewuh. Atau secara sederhana adat sungkan dan tidak enakan. Adat ini seperti sudah menjadi nilai atau value tersendiri dalam masyarakat Jawa. Adat yang 'kadang' menjadikan orang secara interpersonal, harus mau dan menerima, dan membalas perlakuan baik orang lain. Apapun caranya. Bentuk resiprokal dari uang sumbangan tadi adalah ewuh (sungkan) jika tidak diterima. Dan tentunya pekewuh (tidak enak hati) jika tidak mampu membalas. Sesederhana itu. Walau sebenarnya dalam memilih nanti, bisa saja rewang saya tidak memilihnya. Namun adat yang seperti sudah berakar di masyarakat ini, seperti pamalih atau mboten ilo/pareng, jika tidak membalas perlakuan baik juga. Dan membalut uang sumbangan denga konteks pemberian Caleg tentunya mempermainkan secara halus dan membumi, money politic. Dan saya kira ini umum disini. Menjadikan hal ini senjata ampuh merengkuh suara. Walau beberapa daerah sudah cukup ekstrim juga. Ekstrim karena mereka membalas dengan memilih atau surat suara jika yang dipilih memberi lebih dari lawannya. Semakin banyak, maka suara mereka akan mengalir buat si pemberi sogokan terbanyak. Mungkin setiap daerah di Indonesia tidak sama. Ada beragam cara dan modus money politic yang digunakan. Selama belum ada gerakan mencerdaskan pemilih. Saya kira non-sense money politic ini hilang. Gembar-gembor menjadi pemilih oleh KPU seperti bualan dan guyonan saja. Salam, Solo, 29 Januari 2014 08:54 pm

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun