Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menggunakan Follower Tracker App di Twitter, Buat Apa?

23 Januari 2014   12:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:33 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

[caption id="" align="aligncenter" width="430" caption="(ilustrasi: socialmediatoday.com)"][/caption] Kadang saya fikir aneh juga jika akun di twitter menggunakan aplikasi follower tracker. Banyak sekali yang menyediakan jasa melihat follower yang mem-follow atau meng-unfollow seperti unfollwer.me atau whounfollowed.me. Aplikasi third party ini mampu melihat siapa saja yang ikut dan bubar dari 'menonton' tweet yang kita punya. Kenapa menonton? Memfollow akun seseorang di Twitter sama saja seperti melihat apa saja yang dicuapkan si empunya akun. Apa yang dicuitkan mungkin bisa menginspirasi atau memberi manfaat. Mungkin tips atau buah fikir akun tersebut bisa saja mempengaruhi si follower. Dari ratusan, ribuan maupun jutaan ini, diumpamakan nonton bareng si empunya aku yang di-follow. Ada yang teguh dan setia terus memfollow. Ataupun ada yang bosen karena ternyata eh ternyata tweet-nya sepi dan kosong makna. Akhirnya di-unfollow. Ataupun ada yang berharap mem-follow dengan imbal jasa, mem-follback. Tidak salah memang, namun semua tergantung si empunya akun yang di-follow. Dan dengan menggunakan aplikasi third-party yang mampu melihat siapa saja yang datang dan pergi, siapa-siapa akun tersebut bisa dilihat. Dampaknya, kadang getun (kesel diselingi marah) sendiri. Lalu bertanya dalam hati sendiri, dengan ngedumel 'Ih, ngapain sih unfoll. Kan jadi berkurang follower guwe? Sial!' Kira-kira begitu. Karena mungkin merasa tweet-nya serupa seleb-tweet dan berharga. Karena merasa semakin banyak followers semakin eksis dan populer diri. Karena merasa narsis yang overrated (lebay), sehingga hilang satu follower saja sudah bingung. Akhirnya aplikasi ini memberikan a glimpse (sedikit gambaran) kejiwaan diri yang semakin narsistik dan sarkastik. Narsistik karena semua orang ingin eksis dan berjaya dengan cara mereka sendiri. Mencari follower dan mem-post atau men-tweet semua tentang dirinya. Menjadi panutan. Dan  ini wajar. Dalam segitiga Maslow, eksistensi dan rekognisi adalah hal yang juga ingin diraih seseorang. Dengan cara apapun. Sarkastik pun mewabah. Semua orang mampu berkomen kasar dan kadang diluar batas logika. Karena dalam dunia sosial media prinsip "You can be anyone" menjadi wajar. Dibalik foto avatar yang cantik atau rupawan itu sebenarnya adalah orang yang 180 derajat berbeda. Seorang yang pendiam bisa saja super cerewet di Twitter. Seumpama gejala bipolar, namun mungkin hanya ringan. Baik di dunia nyata, sarkastik di dunia sosial media, bisa saja. Dan aplikasi third-party follower tracker itu seperti mensimbolisasi bahwa si empunya akun posesif, terutama akun personal. Betapa bermaknanya satu follower. Kalau bisa diminta follow kembali, mungkin juga akan dilakukan. Betapa tidak rela jika ada akun yang meng-unfollow. Lalu dilihat siapa siapa saja akun-akun itu. Untuk kemudian diserapahi dalam hati. Namun, aplikasi follower tracker ini pun sebenarnya baik. Terutama buat akun organisasi atau kelompok. Akun yang di-admini. Selain mengetahui siapa yang datang dan pergi, meungkin juga sebagai track record sejauh mana follower merespon. Baik membeli barang misalnya untuk akun toko online. Ataupun melihat, semakin banyak follower seorang penulis novel, mungkin akan semakin mudah promosi novel barunya. Apapun, semua kembali kepada diri. Apakah perlu aplikasi follower tracker ini? Orang datang dan pergi dari akun Twitter kita, apakah menjadi suatu yang penting. Siapa saya? Saya hanya orang biasa saja. Luar biasanya saya, lahir dari yang biasa saya lakukan dan biasa saya ungkapan. Salam, Solo, 23 Januari 2014 11:59 am

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun