[caption id="" align="aligncenter" width="496" caption="(ilustrasi: artfiles.alphacodes.com)"][/caption] Acara CCTV Trans7 yang dahulu hanya tayang 2 kali seminggu, kini hampir setiap hari. Dan jam tayang yang nyelip pada peak hour, tampaknya menjadi komoditas iklan. Mungkin rating acara CCTV yang semakin tinggi dan 'malasnya' berkreasi dari para kru, menyebabkan CCTV ditayangkan di peak hour. Tepat setelah OVJ yang sudah bingung mau ditayangkan jam berapa, dan Hitam Putih yang kini agak malam. Acara CCTV ini, lagi-lagi hanya mengambil (baca: mendownload) klip dari Youtube tentang semua yang terekam di CCTV dari seluruh dunia. Lagi-lagi, banyak dari klip yang ada menunjukkan kengerian visual seperti pencurian, pemukulan, dan kecelakaan. Walau secara term & condition, semua video yang diunggah di Youtube tidak menayangkan adegan kematian, namun kengerian visual yang ditayangkan di acara CCTV sudah overrated, alias berlebihan. Bagaimana tidak, mulai dari perampokan (walau gagal) sampai tabrakan kendaraan, semua ditayangkan. Dan kengerian visual itu mungkin akan tampak ngilu buat mereka yang pernah berada dalam kondisi yang ditayangkan. Kengerian Visual Untuk Anak-Anak dan Remaja Buat pemirsa anak-anak dan remaja, CCTV akan sangat tidak sesuai. Dampak tontonan CCTV Trans7 bisa menjadi contoh dikemudian hari. Betapa perampokan yang gagal itu seperti yang sudah pernah dilihat di CCTV dulu. Betapa sepertinya ngebut di jalan raya dengan motor gede seperti tayangan CCTV itu menyenangkan. Asal bisa hati-hati, bakal tidak jatuh kog. Dan mereka pun mencoba. Semua imaji dalam alam bawah sadar hasil tontonan itu, seakan menjadi pemicu mistis dalam diri. Diiringi adrenalin dan jiwa remaja labil, adegan kebut-kebutan tidak akan berbahaya selama tidak serupa dengan klip CCTV itu, fikir mereka. Walau sudah nyata memang acara CCTV Trans7 ini adalah rating R-BO (Remaja Bimbingan Orangtua) tetaplah jam tayang peak hour bisa ditonton siapa saja. Anak-anak kecil tentunya masih melek setelah PR mereka kerjakan. Atau memang didampingi orangtua mereka, namun orangtua mereka sibuk BBM-an di sofa. Atau menemani tidur-tiduran disamping anak yang mlongo terhipnotis oleh 'lucunya' klip CCTV Trans7. Walau secara sederhana, klip-klip yang ditayangkan termasuk kekerasan. Riset studi psikologis menunjukkan bahwa ada tiga dampak negatif dari menonton kekerasan di televisi, yaitu:
- Anak-anak menjadi kurang simpatis pada penderitaan sesama
- Anak-anak menjadi cemas dan takut akan lingkungan tempat mereka tinggal
- Anak-anak menjadi lebih agresif atau kasar dengan sesama.
"Anak-anak pun yang menonton acara kekerasan, bahkan 'hanya' kartun yang lucu, akan lebih cenderung memukul, berdebat dengan teman main mereka, melanggar peraturan kelas, menelantarkan tugas, dan tidak sabaran. Hal ini berbeda dengan anak-anak yang tidak menonton acara yang tidak mengandung kekerasan," jelas Aletha Huston, Ph.D., di University of Kansas. (referensi: Violence on Television: What do Children Learn? What Can Parents Do?) [caption id="" align="aligncenter" width="422" caption="(ilustrasi: artlebedev.ru)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H