Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Artikel Utama

Bohongnya Anak, Diajari dari Kecil Lho?

17 Januari 2014   16:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:44 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="268" caption="(ilustrasi: multiplemayhemmamma.com)"][/caption] Sempat bulan lalu saya mampir ke minimarket dekat kampus. Setelah ambil semua yang mau dibeli, mengantrilah saya di depan kasir. Ada seorang ibu dengan anak perempuan juga ikut antri. Anak putrinya ini sekitar 4 tahunan saya kira. Si putri kecil ibu ini lalu dengan iseng meilhat barang-barang di sekitar kasir. Lalu ia mengambil sebuah mainan Angry Bird yang isinya Gery coklat. Sang anak membujuk si ibu untuk membelikan. Dengan wajah meminta dengan polos dan tulus kepada ibu. Si putri kecil ini sempat didiamkan. Lalu merajuk kembali dengan agak jengkel. Tetap minta dibelikan. Dengan sigap pula, si ibu bilang, "Ini ga dijual nak (sambil melirik kasir).. Ini punya pak polisi. Ya to mbak?" Dengan senyum menahan tangis, si anak tetap ingin dibelikan. Lalu mbak kasir menambahkan, "Iya lho dik..ini punya pak polisi. Nanti meledak" Sambil sang putri tadi merengek. Sambil menangis akhirnya, si anak tetap minta dibelikan. Si ibu tetap bilang tidak boleh sambil tetap menghitung barang yang dibeli. Lalu ibu dan anak ini pergi keluar minimarket. Tentunya dengan sang putri menangis merengek meminta dibelikan mainan tadi. Saya pun heran. Betapa kebohongan itu sebenarnya diajarkan sejak kecil. Apakah si putri kecil tadi akan menganggap sepele berbohong? Sedang orang-orang di sekitar sang putri kecil tadi saja berbohong dengan sebegitu mudahnya. Mainan sepele itu dianggap granat. Milik pak polisi. Tidak dijual. Waw.. dalam pikir saya. Ini adalah sebuah bentuk subliminal berbohong yang bisa ditiru seorang anak. Seorang anak melihat orangtua mereka adalah role model dalam hidup mereka. Orang dewasa di sekitar mereka pun demikian. Mereka mengingat dan mencerna apa yang mereka lihat dan rasakan. Dan ingat, pola pikir anak itu sangatlah rumit. Cara berpikir anak tidak sesederhana yang orang dewasa kira. Anak berpikir melalui semua indra (sensoris) pada tubuh seorang anak. Ia belajar untuk membedakan semua pengalaman dengan cara disentuh, dilihat, didengar, dan dikecap. Untuk kemudian dipahami dalam pikirnya dengan beragam kaitan sensoris secara konkrit. Dan setelah itu diekstraksi menjadi pemahaman abstrak. Ingatlah, seorang anak adalah individu unik. Ia bukan maket kecil orangtua mereka. (referensi: howtodothings.com/family) Dan berbohong, adalah pengalaman sensoris. Saat anak mendengar dan melihat seseorang berbohong. Jangan kaget jika di suatu masa si anak akan berbohong ke orangtua mereka. Anak mengekstraksi pengalaman sensoris mereka melihat orang berbohong. Untuk kemudian diekstraksi secara abstrak, dan lalu dilakukan dengan konkrit. Ingat, orang dewasa adalah role model mereka. Kembali pada kejadian 'pembohongan' di atas. Berbohong dijadikan sebuah hal sepele. Berbohong adalah sebuah entitas yang ringan dan remeh. Anak akan melihat ini. Apakah sang ibu tahu benar jika anak putrinya bisa dibohongi. Sehingga anak putrinya sendiri dianggap ibunya adalah mahluk tanpa logika. Mana mungkin sih pak polisi 'menjual' barang yang bisa meledak di minimarket. Dan, akhirnya ekstrasi sensoris berbohong yang dijadikan bahan gurauan ini bisa saja berakibat fatal. Bisa saja si putri ibu saat beranjak besar, menganggap bohong adalah biasa dan remeh. Karena simpanan memori sensoris masa kecilnya berkata demikian. Si putri ibu ini tidak begitu perduli dengan betapa 'gawatnya' berbohong. Toh dalam gunung es memori alam bawah sadarnya tersimpan dengan rapih. Kalau berbohong itu cuma gurauan dan remeh. Lalu, wajarkah anak berbohong? Wajar. Namun ada beberapa hal yang patut dipahami orangtua. Sebuah penelitian menemukan bahwa banyak anak belajar berbohong dengan efektif saat usia mereka beranjak di atas 2 - 4 tahun. Kebohongan yang berhasil akan diingat sebagai sebuah pencapaian perkembangan. Hal ini karena berbohong menjadi tanda bahwa pola dan cara berpikir anak berbeda dari orangtua mereka. Perkembangan ini serupa dengan saat sang anak mengucapkan kata tidak. Yang juga menandakan bahwa anak bisa membatasi perasaan dan keinginan mereka dengan orang lain. Dan tentunya, orang tua harus menyikapi berbohongnya anak. Tips-tips berikut dapat dilakukan.

  1. Orangtua harus menjadi model perilaku yang diinginkan pada anak. Hormatilah anak sebagai seorang individu yang tumbuh
  2. Tenangkan hati dan fikiran sebelum bertindak di depan anak. Semakin orangtua tenang semakin baik komunikasi dengan anak
  3. Terapkan konsekuensi yang mendidik. Berikan konskuensi yang dapat mengembangkan kedewasaan dalam berpikir
  4. Berikan informasi tentang tujuan dari kebohongan anak yang telah dibuat. Apakah motif anak berbohong atas dasar marah, bersalah, malu atau takut?
  5. Jabarkan dengan logis konsekuensi berbohong. (referensi: scholastic.com)

Kembali ke cerita awal. Ada sebenarnya cara terbaik yang bisa dilakukan ibu si putri tadi. Daripada berbohong yang tidak  logis. Lalu mencontohkan tauladan yang buruk pada si putri. Ada cara terbaik yang bisa dilakukan orangtua sebelum masuk berbelanja. Di mana saja. Sebelum pergi ke toko/supermarket/pasar/minimarket, buatlah komunikasi yang baik pada anak. Buatlah negosiasi awal pada anak. Kalau nanti ibu belanjanya ini, ini, ini. Dan adik (putri tadi) akan mau apa? Beri pilihan makanan/minuman favoritnya. Dan itulah yang si anak akan dapatkan nanti di toko. Jika ia merengek meminta jajanan lain. Kembali ingatkan janji orangtua-anak sebelum ke tempat belanja. Setidaknya itulah yang saya terapkan pada putri kecil saya. Semoga bermanfaat. Salam, Solo, 17 Januari 2014 04:06 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun