Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kekonyolan Over Ekspose

9 Juli 2013   20:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:47 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramadhan tiba. Hati pun gegap gempita menyambutnya. Begitupun di TV. Banyak nian acara yang berlomba-lomba menyajikan nuansa Ramadhan dengan gayanya masing-masing. Ada yang bergaya penuh hikmah macam Metro TV. Ada pula yang setengah hati. Seperti ANTV dan Trans (group). Dimana acara yabng disajikan cenderung monoton dan hambar. Yang sangat memprihatinkan buat saya adalah acara `komedi` yang serba konyol. Kekonyolan yang menjadi kelucuan naif. Kelucuan yang timbul dari merendahkan fisik, outfit, sampai caci maki. Sebuah acara `komedi` yang menjadi momok inti dari komedi itu sendiri. Komedi sepantasnya memiliki batas. Batas yang jelas, antara yang disebut lucu dan konyol. Konyol memang kucu. Namun juga terenyuh. Semua tidak lupa akan istilah 'mati konyol ' bukan?

Trans7 yang menyuguhkan Overa Van Java yang sudah sangat hambar dan penuh kekonyolan yang monoton, membuat saya sebagai pemirsa melihat nyinyir jika acara ini mengudara. Kekonyolan mulai terlihat dari cara 'melawak' yang lepas dari 'sisi humor' Mulai dari orang jatuh sampai berpakaian ala wanita seakan menjadi senjata ampuh pengundang tawa. Seakan perbuatan mereka dianggap 'lucu' . Sama sekali tidak. Konyol ini sama sekali tidak lucu. Yang menjadikan hal ini 'lucu' tak lain tertawa bayaran. Orang-orang yang berada tepat di depan stage yang memang dibayar untuk tertawa. Sedang jika tidak sedang acara 'live' maka digunakan efek suara tertawa yang itu-itu saja. Suara yang dimunculkan dan direkayasa sedemikian teoat dengan. Tak lain ini semua menjadi 'umpan' tertawa buat pemirsa. Sedang isi lawakannya sendiri cendderung konyol, unsur 'komedi' sudah demikian tergerus. Hambar.

Lalu ada acara di ANTV yaitu Pesbuker. Acara yang berkali-kali terkena teguran KPI namun sepertinya hanya dianggap kentut buat mereka. Kekonyolan itupun terus dianak-pinak. Sedimikian rupa agara berkemas 'komedi'. Mencaci maki dan merendahkan bentuk fisik dan berdandan nampak menjadi menu utama kekonyolan dalam acara ini. Sebuah 'komedi' kelas teri yang dimainkan selebriti yang tidak pantas disebut komedian. Dari mulai Olga, Raffi, sampai Luna Maya' sama sekali nol dalam skill 'komedi'. Lontaran ucap dan tindak jelas sekali memomokkan kekerdilan fikir. Dengan mencaci dan maki, apa mereka fikir itu lucu? Dengan menoyor kepala pemain lain itu lucu? Miris rasanya jika ini disebut lawakan. Apalagi dengan peninton muda mudi yang juga tertawa lantang seperti tanpa tata dan krama ketimuran.

Sampai kapan kita disajikan degan komedi cetek seperti ini? Sampai kapan jiwa-jiwa muda penerus bangsa disajikan kekonyolan yang menjadi kewajaran dalam dunia showbiz? Sedang acara-acara ini tampil saat keluarga berkumpul. Saat sang ayah yang sudah cukup lelah pulang kerja, ingin sekali bercengkrama dengan anak-anak. Malah anak-anak asyiknya menertawai orang-orang cetek fikir di televisi. Apakah menertawai orang dengan wajah tidak rupawan wajar? Apakah melihat orang lain didorong dan jatuh patut ditertawakan? Inikah pesan dari semua acara ini. Inikah yang mereka jadikan senjata untuk memberondong fikir anak-anak bangsa? Generasi bangsa yang kehilangan adat budaya sendiri. Dan digantikan dengan budaya dunia showbiz? Miris sekali. Apalagi di bulan Ramadhan ini. Acara seperti OVJ dan Pesbuker oun tayang dua kali. Saat sahur dan petang. Sedih rasanya jika membayangkan anak-anak yang mendangakkan kepala menonton acara-acara ini lalu menjadikannya tuntunan hidup. Mereka tidak perlu diajarkan, mereka cukup dipertontonkan. Biar kemudian alam bawah sadar mereka merekam, lalu menjadi bagian dari tindak laku mereka dalam hidup.

Solo, 9 Juli 2013

8:53 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun