[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="(foto: article.wn.com)"][/caption] Turut sertanya Roy Suryo dalam mediasi konflik Kraton Solo di Gedung Agung Jogja pada hari Minggu 25-02-2014 dianggap langkah yang gegabah. Mediasi konflik yang diharapkan mampu mengurai rumitnya benang kusut perpecahan Pakubuwono XIII dengan Tedjowulan oleh SBY, kini malah diulur ke ranah politik, hukum dan keamanan. SBY kini malah menyerahkan tanggung jawab mediasi konflik ke Menkopolhukam, Djoko Suyanto. Dan peran Roy Suryo sebagai mediator konflik Kraton Solo di Yogyakarta, kini menuai kritik bahwa hadirnya dan sok sibuknya Menpora dalam mediasi ini, gegabah dan berbau politis. "Roy Suryo belajar menghafal Indonesia Raya dululah, baru belajar soal sejarah. Lah sejarah saja tidak tahu kok mau jadi fasilitator penyelesaian kasus Keraton Solo dan penyelesaiannya di Yogyakarta. Bagaimana sebagai seorang ningrat yang bergelar KRMT (Kanjeng Raden Mas Tumenggung-red) dari Paku Alam tidak mengerti tata santun trah Kerajaan Mataram," ujar Rahmad Pribadi. Seorang pemerhati budaya pada kesempatan jumpa pers di Restoran Pulau Dua Jakarta, Rabu(26/02/2014). (berita: tribunnews.com) Secara historis, Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta adalah satu kerajaan diabwah trah Mataram. Perebutan kekuasaan di dinasti Mataram terjadi lagi (sebelumnya pada abad ke-15), kali ini antara Pakubuwono II dan saudara tirinya Pangeran Mangubumi. Ketika Pakubuwono II digantikan putranya, Pakubuwono III, Mangkubumi juga mengangkat dirinya sebagai raja dan mendirikan pemerintahan tandingan di Yogyakarta. Karena kekuasaan Pangeran Mangkubumi bertambah besar, Belanda turun tangan menengahi pertikaian itu dengan jalan mengadakan Perjanjian Gijanti. Isinya, kerajaan Mataram dibagi menjadi dua wilayah, yaitu Kesunanan Surakarta dibawah pimpinan Pakubuwono III dan Kesultanan Yogyakarta dibawah Mangkubumi yang bergelar Hamengkubuwono I. Perjanjian Gijanti ditandatangani oleh kedua raja ini pada tahun 1755 dan pada tahun yang sama konstruksi kraton utama Yogyakarta, Ngayogyakarta Hadiningrat dibangun oleh Hamengkubuwono I. (referensi: karatonsurakarta.com) Inti dari kritik keras Rahmad Pribadi diatas adalah, secara historis terjadi gesekan antar dua Kraton ini Dan Roy Suryo, dengan mudahnya mengundang dan mencoba memediasi konflik Kraton Solo tanpa melibatkan trah kerajaan Mataram. Trah yang kini menguasai Kesultanan sekaligus Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X. Entah sudah matur (meminta) ijin atau belum, namun dengan tidak diundang atau setidaknya disertakan, secara kultural Jawa, seperti nglangkahi (meloncati) sesepuh setempat. Karena secara historis, Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta masih dalam satu trah Mataram. Dan memang, menyangkut peliknya konflik yang berlarut dari tahun 2004 ini Sri Sultan Hamengkubuwono X tentunya akan ikut memediasi, itupun jika diminta. Karena konflik ini menyangkut urusan keluarga Kraton Surakarta, sehingga langkah hati-hati patut dilakukan. Sehingga tidak ada nantinya pihak yang dirugikan pada konflik ini. Dan Sultan Yogja, sepertinya hanya akan menunggu permintaan pihak berkonflik (keluarga Kraton Solo) untuk memintanya. Ini akan lebih tampak patut (pantas) jika dibandingkan maksud Roy Suryo. "Saya tidak akan mempermasalahkan konflik tersebut diselesaikan di lain tempat. Namun ketika memilih Yogyakarta sebagai tempat penyelesaian, Roy Suryo tidak sadar bahwa Yogyakarta memiliki raja yang kedudukannya diakui oleh undang-undang. Ketika Roy Suryo menghadirkan Presiden SBY dan mengesampingkan peranan Sri Sultan HBX sebagai Raja Yogyakarta, pada saat itulah, Roy Suryo telah melukai hati masyarakat di daerah tersebut," tegas alumnus SMA Negeri 3 Yogyakarta (Rahmad Pribadi - penulis). (berita: tribunnews.com) Kemungkinan adanya ambisi Roy Suryo merengkuh simpati publik dengan hadir dalam mediasi konflik ini minggu lalu, bisa saja terkait dengan pencalegannya. Roy Suryo (plus sang istri, Ririn Suryo) kini maju dalam ajang Caleg DPR-RI dari Partai Demokrat Dapil D.I.Y. Sepanjang jalan Solo-Yogya pun kini penuh dengan foto Roy Suryo. Dengan turut sertanya Roy Suryo dalam mediasi konflik ini, sepertinya hendak menunjukkan kalau ia orang berkuasa. Karena memiliki gelar Kraton KRMT (Kanjeng Raden Mas Tumenggung), Roy Suryo sepertinya tidak mau repot-repot dengan birokrasi dan adat unggah-ungguh dalam keluarga Kraton. Jika itu menyangkut pencitraan, sepertinya ia dipenuhi ambisi. Dan dengan jumawanya, Roy Suryo menganggap koflik ini selesai. Walau langkah-langkah lebih lanjut belum ditentukan setelah mediasi di Yogyakarta kemarin, ia mengatakan konflik ini tidak akan diperpanjang kembali. Dan menyoal tidak hadirnya Sri Sultan HB X, ucapnya karena Gedung Agung Yogyakarta adalah gedung negara. Namun, pada esensinya ia tidak mengikutsertakan Sri Sultan sebagai penguasa syah Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan mengetahui hadirnya Presiden, masak iya pemimpin Kraton Yogya sekaligus Gubernur tidak diundang. "Secara legal, gedung agung sama dengan gedung negara. Beliau (PB XIII) sama saja dengan hadir di gedung negara," kata Roy. (berita: news.detik.com) Serupa pepatah Jawa "Durung Pecus Keselak Besus" yang berarti belum memiliki bekal yang cukup, tetapi memiliki keinginan yang bermacam-macam. Nampaknya cocok disematkan ke Roy Suryo. Ketergesaan dan ambisi dibalik langkah teledor Roy Suryo hanya akan mengundang efek negatif nantinya. "Yitna Yuwana Lena Kena" Barang siapa berhati-hati akan selamat, sedangkan yang ceroboh akan mendapat petaka. Artikel terkait konflik Kraton Solo dari saya: Kemana Mendagri Dalam Konflik Keraton Solo? Salam, Solo 27 Februari 2014 08:36 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H