Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Caleg, Nebeng Imaji Tokoh sebagai Parasit

20 Maret 2014   21:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:42 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="449" caption="(Baliho Caleg Gerindra; foto: tribunnews.com)"][/caption] Caleg, dengan semua daya dan upayanya mencoba meraih simpati konstituen. Mulai dari menebar baliho dengan mematri di pohon sepanjang jalan, sampai memijat para penumpang bus dilakukan. Sebuah pola yang sudah cukup murahan namun toh disenangi masyarakat. Saat ini, menjelang Pemilu Legislatif 2014, Caleg menjadi benar-benar abdi masyarakat. Namun saat menjabat nanti, mungkin saja masyarakat menjadi kacung-kacung mereka. Bermain dengan pola-pola para penggede parpol yang Caaleg turut serta. Mereka tentunya merasa kurang pede atau bahkan minder. Siapa mereka, memajang wajah senyum di baliho besar dan kecil di pinggir jalan. Cibiran dan anggapan negatif 'Siapa lu?' pasti dituai. Namun akan bisa diminimalisir jika bersama baliho besar atau kecil mereka, ada wajah seorang sosok yang besar. Baik itu para penggede partai ataupub tokoh-tokoh yang dianggap memiliki citra yang baik. Saat seorang Caleg Gerindra misalnya, memajang baliho wajahnya dengan menyandingkan wajah penggede-nya, Prabowo, ada dua implikasi yang menyertai. Yang pertama adalah kitsch, atau dalam pemahaman postmodernisme adalah reproduksi non-etika dan non-estetis dari imaji yang sudah kokoh sebelumnya. Serupa parasit, imaji Caleg adalah penumpang gelap pada sebuah inang. Imaji ini hanya memanfaatkan baiknya (goodness) dari imaji seorang Prabowo, namun secara etika dan estetika belum ada nilai riilnya. Imaji sang Caleg yang nebeng nama besar Prabowo berharap agar siapapun yang menyaksikan balihonya bisa ingat. Baik Prabowo, dengan involuntarily (suka rela) imaji sang Caleg turut serta dalam imaji Prabowo. Dan implikasi yang satunya adalah social judgement dari masyarakat. Sebesar apapun tokoh atau penggede yang ingin ditampilkan, sosok atau imaji Caleg akan tetap tidak bisa diterima. Masyarakat akan tetap menyunggingkan curiga dan tidak perduli siapa pun sang Caleg yang nebeng nama sang penggede. Namun, dibalik cibiran dan rasa tidak suka masyarakat, lagi-lagi imaji kitsch ini akan tetap nyangkut. Sebuah imaji, bahwa Caleg nomor sekian-sekian dari Gerindar ada fotonya bareng Prabowo. Dengan balihonya yang cukup besar di dekat lampu merah perempatan. Apalagi ada obrolan warung kopi yang menyinggung baliho Caleg ini. Reproduksi imaji yang menjangkiti fikiran secara tidak sengaja, dari gambar Caleg yang menyatut/memajang/berfoto bareng dengan seorang publik figur yang superior, tentunya menjadi sebuah pola murahan. Sebuah pola yang dengan sengaja diciptakan agar imaji Caleg bisa nangkring dalam fikirann konstituen. Betapa permainan tanda (Caleg) dengan petanda (sang penggede) menjadi sesuatu yang murahan (fun). Sebuah pola yang penuh dengan imaji yang cukup merusak kenyataan etika dan estetika yang ada. Etika para Caleg yang nebeng nama besar, tanpa perlu menjadikan dirinya sebagai seorang public figure. Dengan mudah menaiki tangga popularitas dengan meloncat langsun bersama imaji sang penggede. Karena sang penggede (misalkan, Jokowi) sudah memiliki imaji yang mumpuni. Imaji atau bisa disebut citra yang dibangun dengan pengabdian nyata dan prestasi positif. Yang tentunya butuh waktu lama dan panjang untuk meraihnya. Di lain sisi, sang Caleg menjadikan nilai estetis (keelokan) sang penggede sembarangan. Ia mendompleng citra demi meninggikan citra diri sendiri. Tanpa maun repot dan rumit untuk dapat berprestasi dan mengabdi. Walau sebenarnya, Caleg bisa melakukannya jauh sebelum ia menjadi Caleg. Pola reproduksi citra murahan (kitsch) ini menjadi hal yang umum. Walau menjadi cibiran dan realitas yang menyedihkan, namun Caleg seperti tidak perduli. Satu sisi, secara ekonomi ia telah menggelontorkan sekian miliar rupiah demi sebuah kursi di DPD/DPRD/DPR. Sehingga resiko menang atau menangis ditempuh. Sisi ekonomis dan politis seorang Anggota Legislatif menjadi motif mereka berani mengambil resiko. Atau mungkin malah mencari BEP (Break Event Point) dari sekian miliar uang yang pernah Caleg gulirkan saat kampanye. Terlepas dari ranah politik, pola reproduksi citra murahan dari Caleg ini pun didukung mereka para timses parpol sang Caleg itu sendiri. Semua masalah reproduksi citra murahan ini kembali kepada pola rekruitmen parpol yang asal. Asal dia terkenal, misalnya artis, tidak masalah. Walaupun secara imaji, prestasi seorang Caleg artis pun masih menjadi pola imaji kitsch dalam perspektif kampanye. Karena, bidang keartisan dan glamornya dunia televisi berbanding 180 derajat dengan dunia politik pemerintahan. Walu ada dua esensi imaji yang serupa. Pada satu sisi, artis menghibur masyarakat dengan tampil di televisi. Dan juga dengan politisi, ia juga menghibur masyarakat. Yaitu dengan menjadi badut pemerintahan jika minim prestasi dan malas mengabdi untuk rakyat. Tulisan terkait sebelumnya: Parpol, Caleg dan Kitsch; Sebuah Pandangan Postmodernisme Salam, Solo 20 Maret 2014 02:45 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun