Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Nonton Sinetron Jatuhnya Bikin Dosa

5 April 2014   04:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:03 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="442" caption="(ilustrasi: restaurantequipmenttogo.com)"][/caption] Yang saya lakukan tidak sebenarnya nonton. Hanya sekadar pindah-pindah channel sambil menunggu berita. Entah kenapa, kadang mata tertarik melihat cantiknya para pemeran di sinetron. Wah ada wajah-wajah baru. Wajah segar dan cantik serta rupawan mencoba menarik penonton. Termasuk saya. Tidak menonton, cuma melihat sebentar. Beberapa wajah lama pun masih menghiasi. Hanya sebagai penegas, kalau yang saya tonton tidak jauh beda dari dulu. Betapa ternyata sinetron masih ada yang nonton. Masih ada peminat dan penonton setia. Bahkan ada channel televisi yang setia. Dan saya yakin, Anda tahu channel-channel apa saja. Masih pun sinetron ini ada yang mau mensponsori. Ya karena masih banyak yang menonton. Selain sebagai hiburan, saya kira sinetron pun menjadi perekat 'berkumpulnya' keluarga. Hiburan mendidik dan bermutu apa sih yan bisa tayang di peak hour? Selain sintron dan acara joget-joget yang semakin 'liar'. Saya pribadi bukan pembenci sinetron. Namun setelah jaman sinetron Si Doel Anak Sekolahan, tidak ada lagi sinetron yang saya suka. Sinetron setelahnya, tidak ada yang masuk kriteria bagus menurut saya. Sehingga, melihat sekilas saja sinetron yang ada sekarang bawaannya mencibir. Apalagi kalau ada adegan yang kira-kira tidak masuk akal. Keluarlah semua senyum sinis dan sarkasme ucapan. Jatuhnya, malah buat dosa sendiri. Istanasentris Non-Realistis Sifat sinetron yang ada sekarang lebih mencerminkan sifat istanasentris non-realitis. Hampir semua sinetron menampilkan semua yang mewah dan glamour. Mulai dari rumah yang besar dan mewah. Sampai pajangan mobil-mobil sport Eropa pun ditampilkan. Entitas ini menjadi bumbu wajib dalam sinetron. Apalagi sinetron yang cenderung menargetkan anak muda. Sekolah SMA saja, tunggangannya saja bisa Porsche. Rumah mewah dan berkelas. Sifat istanasentris ini memancing semua imajinas penonton. Seolah mewakili impian hidup enak dan semuanya ada. Tidak ada yang menjadi masalah. Karena merasa kaya raya dengan uang bejibun. Membuat mimpi yang terimaji dalam fikir tiap orang, direpresentasikan dalam layar televisi. Dengan sinetron, setidaknya para pemimpi hidup mewah dan glamor terwakili. Sedihnya, sinetron pun bersifat non-realistis. Semua yang ada di sinetron terlihat mudah dan tidak ada dampak yang mungkin terjadi. Seorang anak kecil berbicara dengan ayahnya bak berbicara dengan teman tongkrongan warung kopi, tidak masalah sama sekali. Semua kondisi yang ada adalah rekaan dari mimpi hidup mewah. Sehingga menonton sinetron serupa berlari dari kenyataan. Drama Lebay Dan Wajah Full Close Up Sinetron yang ada saat ini, adalah sinetron yang selalu membuat drama akan harta, tahta, wanita dan saudara kembar atau yang tertukar. Hampir dari setiap adegannya, ada drama yang terjadi. Penonton seperti diajak untuk terus tegang dan menanti. Hampir setiap drama ini pun berakhir. Namun, akhirnya suatu drama belum tentu akhir semua. Ada drama kembali. Saat seorang bintang utama meninggal, tahu-tahu muncul saudara kembarnya entah dari mana. Lalu drama kembali diulang. Bahkan dari sinetron serupa Tukang Bubur Naik Haji pun, sempa saya lihat beberapa drama. Drama ini tidak hanya berkutat pada sang pemeran utama. Bahkan pada pemeran pendukung. Semuanya serupa memiliki intensitas drama dalam sinetron. Anehnya lagi. Bahkan, sang 'haji' yang dahulu bukan pemeran utama. Kini malah menjadi pemeran utama. Mat Solar yang dulu pemeran utamanya dikisahkan meninggal dunia saat haji. What a boring drama! Lebih lagi, sinetron hanya mengandalkan close-up wajah para pemerannya saja. Seolah ingin menutupi background atau properti scene yang minim. Pokoknya penonton disajikan wajah tegang sambil melotot. Jeng..jeng. Para pemeran sinetron. Sambil komat-kamit dan berkata dalam hati dengan voice over murahan, andalan wajah pemeran menjadi utama. Kembali, menyajikan konflik batin yang menjadi drama tersendiri. Episode Bisa Ratusan & Background Music Yang Menyebalkan Ini juga yang membuat saya saat melihat sinetron jatuhnya berdosa. Jumlah episode yang berdigit sampai tiga. Ada sinetron yang sampai 300-an episode, kalau tidak salah. Waw! Itu yang pertama kali membuat saya tertegun. Karena sinetron ini mendapat rating tinggi. Episode mulai diulur-ulur dan diperpanjang. Drama mulai dimunculkan disana-sini. Pemeran baru dengan masalah baru mulai muncul. Bahkan jika sinetron laku seperti Tukang Bubur Naik Haji, kalau tidak salah dua episode sekali tayang. Hampir 2,5 jam. Bahkan, stasiun televisi langganan sinetron menayangkan sinetron mulai dari pukul 6 sampai 12 malam. Dan semuanya adalah sinetron. Sebuah konsumsi sinetron yang bikin muntah menurut saya. Belum lagi garapan music score dan background music yang selalu muncul setiap adegan. Pening saya dengarnya, walau cuma sebentar. Lagu yang sedang ngetop dan hits, kadang buru-buru dijadikan soundtrack sinetron tertentu. Membuat rusak imaji sebuah lagu menurut saya. Dan gilanya, lagu hits ini pasti muncul setidaknya satu kali per episode. Selain opening dan closing sinetron. Sedihnya saya melihat dunia per-sinetronan yang semakin murahan ini. Buatlah sinetron yang benar-benar memotret kehidupan. Apa adanya. Tidak perlu bintang artis top. Tidak butuh rumah mewah dan mobil mahal. Yang penting adalah tidak mengundang dosa bagi yang melihat. Seperti saya. :-) Salam, Solo 04 April 2014 10:29 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun