[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="(ilustrasi: rimanews.com)"][/caption] Sekiranya publik sudah tidak asing dengan 'manuver' bapak 'Reformasi', Amien Rais (AR). Kiprah dan kontribusi politiknya mulai hambar terasa sekarang. Bahkan banyak yang anggap ia adalah macan yang baru turun gunung, lalu lapar akan mangsa. Semua dicaplok. Semua dimangsa. Seorang tokoh elit PAN dengan corak kental Muhammadiyah. Ketokohannya dalam Muhammadiyah saya yakin tidak dapat dibantah. Seiring Reformasi terburai, Muhammadiyah pun menelurkan 'anak kandungnya', Partai Amanat Nasional. Mencoba berkiprah di bidang selain Kesehatan dan Pendidikan Agama, PAN menjadi anak yang kini mandiri. Ia kini adalah parpol nasional relijius semata. Walau bayang dan 'drive' dari Muhammadiyah masih terasa. Dan AR adalah sesepuh yang juga menjadi sosok panutan warga Muhammadiyah. Entah apa yang sebenarnya terjadi dalam jenak AR. Kini ia begitu ambisius mendukung Prabowo-Hatta. Coba dulu ia menengok statementnya soal Prabowo semasa Reformasi dulu. Jika pelanggar HAM harus dijatuhi hukuman. Dan dengan jelas disebut nama Prabowo oleh AR sekitar 16 tahun lalu. Kini ia malah melihat Prabowo serupa sosok Bung Karnoa. Andai saja ia ingat atau Prabowo ingat, bisa saja ada gesekan yang dipolitisasi. (Selengkapnya, artikel bung Gatot di sini) Kini, AR seolah akan membangkang dengan Ketum PP Muhammadiyah, Din Syamsudin (DS). Seolah pula mengobral janji, AR berseloroh bahwa 85% warga Muhammadiyah akan mendukung Prabowo-Hatta. Sebagai Ketua Majelis Pertimbangan DPP PAN, AR kini hendak menolak pernyataan DS bahwa warga Muhammadiyah akan memilih netral dalam Pilpres 2014 nanti. Serupa anak yang menodong ayahnya, PAN kini menodong Muhammadiyah. Menodong dengan sesepuh Muhammadiyah sendiri, AR agar si ayah, Muhammadiyah, untuk menyerahkan pengikutnya. Bisakah disebut makar?
Hal itu dikatakan Amien Rais di Masjid Agung Al-Azhar Jakarta, Selasa (27/5/2014). "Kalau untuk Muhammadiyah, saya kira ada di PAN yang paling banyak. Ada yang di Golkar, ada yang di PKS, ada yang di PPP, ada yang di Gerindra. Jadi saya kira, 85 persen orang Muhammadiyah akan bergabung ke poros merah putih," tuturnya. (berita: solopos.com)
Membuat geger dan kontroversial pernyataan AR ini. Mencoba menuai benih-benih perpecahan. Karena ia sesepuh di ranah Muhammadiyah, DS kini dilangkahi kewenangannya. Corak netralitas yang pernah tegas diutarakan DS, kini menuai 'keanehan' di publik. Walau belum ada bantahan atau verifikasi resmi atas tendensi tidak netral oleh AR, wacana ini pun menghangat.
"Muhammadiyah tetap pada keputusannya. Muhammadiyah tidak akan mendukung partai tertentu, karena Muhammadiyah tetap mengedepankan politik adiluhung, politik moral yang tidak akan menyederhanakannya menjadi bentuk dukungan tertentu," ungkapnya, Jumat (23/5/2014). (berita: tribunnews.com)
Ini adalah statement yang dengan jelas dikatakan DS tanggal 23 Mei lalu. Dan baru saja, setelah dilangsungkan Tabligh Akbar dan Muktamar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Maklis Aisyiyah yang diadakan di stadiun Manahan Solo (27/5/2014), DS menegaskan kembali netralitas Muhammadiyah.
"Dalam pemilihan presiden, Muhammadiyah berada pada posisi, yang secara organisatoris dan kelembagaan dapat mendukung atau tidak mendukung capres tertentu. Tidak ada yang bisa mengklaim sebagai calon resmi yang didukung Muhammadiyah," ujarnya. (berita: pikiran-rakyat.com)
Rumor Tidak Sedap Di Warga Muhammadiyah Sendiri Saya memang hidup di dalam warga Muhammadiyah. Dan saya rasa banyak warga Muhammadiyah yang cukup cerdas dan arif dalam posisi mereka dalam Pilpres 2014. Rumor yang beredar mulai dari isu SARA yang selalu beredar dalam SMS kaleng (rombeng). Sampai visi-misi pasangan Jokowi-JK yang tidak 'pro-guru' karena akan meniadakan sertifikasi dan meniadakan UN. Rumor yang cukup genit dan menjadi banyak bahan obrolan. Karena bergelut lama dengan bidang pendidikan, isu penghapusan sertifikasi cukup mengundang tendensi tidak netral. Ditambah beredar pula broadcast message yang menggelontorkan wacana peningkatan uang sertifikasi guru menjadi sekian juta. Dan menjadi genit wacana menyangkut kesejahteraan guru tentunya. Terutama untuk Muhammadiyah dengan bidang pendidikan yang sudah sangat mengakar. Walau dalam hal ini menjadi pihak swasta, sertifikasi juga diterima oleh sekolah-sekolah Muhammadiyah. Permasalahan seret dan macetnya tunjangan sertifikasi saja sudah membuat senewen, apalagi jika dihapuskan (kabarnya).
Setyo Budi Guru di SMK Muhammadiyah 1 Playen menyebutkan pencairan tunjangan sertifikasi yang diterima sejak 2009-2012 tidak ada masalah, namun untuk 2013 ini sudah memasuki triwulan III belum juga cair. Hal senada juga dikatakan Farid Nur Haryanto Guru SMK Muhammadiyah Tepus yang mengaku belum juga bisa mencarikan tunjangan sertifikasi guru. (berita: krjogja.com)
Dan sejak Pileg lalu, walau kampus menjadi area yang steril dari kampanye Caleg nyatanya tidak. Ada saja stiker dan rumor yang beredar agar kita memilih calon ini, nomor ini. Ada stiker besar yang sengaja diedarkan di dalam kampus dengan Caleg dari PAN. Dan tentunya dengan gambar tokoh 'sakti', AR. Dan saya pun heran kenapa seolah hal ini dibiarkan. Kampanye Caleg harusnya berada di luar area pendidikan. Toh buktinya, dalam ranah pendidikan sendiri ada kampanye Caleg dari PAN. Dan kabarnya, Caleg PAN ini gagal dalam Pileg lalu. Netralitas Dalam Muhammadiyah, Kenisbian Atau Kepastian? Jujur, saya bangga dengan ketegasan DS agar Muhammadiyah bersikap netral dalam Pilpres 2014 nanti. Ketegasan yang mungkin tercipta dari keprihatinan pada rekan lama Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU). Melihat manuver-manuver tokoh-tokoh besar warga Nahdiyin, DS melihat hal tersebut malah menjebak. Terutama menjebak dalam 'perang saudara' dalam Pilpres nanti. Satu tokoh menggiring ke pasangan ini, satu tokoh lain ke pasangan yang itu. DS hendak menguatkan dan memperkokoh Muhammadiyah dengan kulturnya yang logis dan apresiatif. Menjunjung tinggi pemahaman logika untuk kemaslahatan bersama. Berfikir jernih dalam kekeruhan jaman. Bahkan dari jaman ke jaman. Seperti yang dilakukan pendiri Muhammadiyah dahulu. Berdiri melayani dan menguatkan umat, walau berbeda cara dan upaya. Dan terus menerus tradisi ini dijaga. Yang menjadikan Muhammadiyah, menurut saya, kuat dan kokoh dalam pendiriannya. Dan pula apresiatif dalam melihat keragaman pandangan politik warganya sendiri. Warga Muhammadiyah bebas dan diapresiasi mendalami prinsip politiknya. Walau secara tidak sadar, pandangan itu diwarnai kehidupan ber-Muhammadiyah. Dan seperti ada yang mengoyang-goyang kokohnya fondasi Muhammadiyah. AR mencoba menggoyang netralitas Muhammadiyah. Sebagai tokoh dituakan dan dihormati di Muhammadiyah, AR seolah menjadikan netralitas nisbi. Ada yang tidak jelas dalam pilihan warga Muhammadiyah berpolitik. Ada kecenderungan pembangkangan atas pimpinan Muhammadiyah. Seorang anak kini menodong sang ayah. Umur belum setua sang ayah, kini si anak melawan apa kata sang ayah. Dan dengan tulus, saya harap tidak ada namanya perpecahan dalam tubuh Muhammadiyah. Monggo pak AR dan pak DS berunding dan menelurkan kebijakan yang benar-benar bijak. Perlu adanya konfrontasi, konfirmasi dan resolusi yang maslahat untuk masalah yang belum menjadi masalah ini. Salam, Solo 27 Mei 2014 10:11 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H