Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengerjakan dengan Baik, Belum Tentu Hasilnya Baik

18 Juli 2014   18:18 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:58 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="402" caption="(ilustrasi: wikihow.com)"][/caption] Sesi komplain nilai saya buka selama seminggu untuk mahasiswa saya. Mahasiswa yang merasa nilainya kurang baik atau ada kesalahan mengoreksi atau menilai, silakan bertemu saya. Ada yang memang baik mau bertemu dan membahas kenapa nilainya jeblok. Ada juga yang bertanya tidak jelas. Dengan dalih waktu ujian 'merasa' menjawab dengan baik dan benar semua pertanyaan di UAS. Tidak cuma satu, tapi beberapa mahasiswa. Merasa mampu mengerjakan, namun hasil mengecewakan, mereka pun protes. Silakan saja, karena saya objektif menilai. Jika membutuhkan dokumen hasil UTS/UAS atau tugas-tugas yang saya rekap, saya bisa tunjukkan. Akhirnya ada yang ikhlas mendapat nilai jeblok. Ada pula yang setengah ikhlas. Mengerjakan atau menjawab dengan baik soal atau tugas akhir belum tentu mendapat hasil yang baik pula. Kenapa? Karena nilai akhir semester tidak ditentukan ujian saja, baik UTS maupun UAS. Ada aspek kehadiran, keaktifan, dan penyerahan tugas atau presentasi. Entah mengapa, banyak yang cenderung menyepelekan aspek-aspek selain nilai UTS/UAS. Saya lebih menyukai proses yang baik dan bukan produk yang baik. Saya sudah pesankan hal ini diawal pertemuan kuliah. Namun sayangnya, banyak yang masih berorientasi produk atau nilai. Kurang menghargai proses yang dirasakan. Jatuhnya, mereka hanya 'merasa' bisa menjawab. Padahal jawaban itu kkurang tepat atau salah. Lebih lagi jika proses mendapat nilai itu disepelekan. (Lihat artikel saya Menyepelekan, Gerbang Awal Kegagalan Mahasiswa). Saya masih ingat sebuah kiasan, A good planning, is half the battle. Yang saya amati, banyak mahasiswa mengikuti perkuliahan hanya sekadarnya saja. Ada tugas yang mengerjakan tugas. Ada presentasi yang menyiapkan presentasi. Dan ada ujian, ya menyiapkan diri untuk ujian. Tidak ada yang namanya, planning atau hal yang sudah direncanakan untuk didapat atau difahami. Haus akan ilmu tidak ada dalam cara mahasiswa memandang presentasi saya. Ada beberapa memang yang pintar dan penasaran. Namun, mayoritas banyak yang mengikuti materi kuliah, cukup mengekor saya atau temannya saja. Apa yang ilmu yang ingin didapat atau difahami saat kuliah. Atau bahkan, tidak ada bayangan sama sekali apa yang ingin diraih saat masuk jurusan yang dipilih. Entahlah? Atau dalam axioma Jawa dikenal, Ojo rumongso biso, naming biso rumongso. Harfiahnya berarti, jangan merasa kita bisa, tapi bisalah untuk merasa. Atau secara maknawi, merasa bisa berarti hanya mampu merasa, belum tentu mampu. Sedang bisalah merasa, lebih sebagai refleksi diri. Jika tidak bisa atau mampu, maka bercermin, kenapa saya tidak bisa. Harus ada yang perbaikan atau peningkatan diri di kemudian waktu. Sehingga rumongso biso lebih bersifat kompulsif dan imperatif. Sedang biso rumongso bersifat reflektif dan kuratif.  Dan ini, yang banyak terjadi dengan mahasiswa. Bukan hanya pada saya, pada dosen senior pun demikian. Mahasiswa banyak yang merasa bisa dalam satu makul. Ketika dapat nilai jeblok lalu dijelaskan kenapa demikian, mereka antara ikhlas dan tidak ikhlas. Nilai memang bukan segalanya, tapi kadang semuanya berdasar nilai. IPK bagus memang tidak menjamin kesuksesan setelah lulus. Namun kadang, nilai IPK menjadi dasar acuan dalam CV lamaran pekerjaan. Life skill dan soft skill-lah yang berperan banyak dalam hidup. Seberapa banyak sebenarnya ilmu dari bangku kuliah yang diterapkan di dunia karir? Tidak banyak. Namun jika menjadi profesi mengajar atau vokasional, tentunya ilmu dari bangku kuliah banyak terpakai. Betapapun baiknya nilai IPK atau transkrip, mereka hanyalah representasi kemampuan atau performance mahasiswa itu sendiri. Dibalik nilai A yang berjejer di transkrip, ada kompetensi yang harus dimiliki sang pemilik nilai A. Percuma nilai A, jika performance-nya jongkok. Memantaskan diri untuk mendapat nilai A, itu yang terbaik. Caranya. Persiapkan diri dan nikmati proses menuntut ilmu. Karena dengan 'menuntut' berarti ada aktifitas subjek. Berbeda dengan 'menerima' ilmu atau materi dari guru atau dosen. Jadi, sudahkah mahasiswa memantaskan diri mendapat nilai A? Salam, Solo, 18 Juli 2014 11:12 am

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun