Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Saya Jadi Tidak Enak Sama Pak Prabowo?

21 Juli 2014   04:48 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:45 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="420" caption="(ilustrasi: lifehacker.com)"][/caption] Jujur saya agak tidak enak dengan pak Prabowo Subianto. Pada penghujung Pilpres ini, beliau seringkali saya minta untuk legowo. Media mainstream pun meminta beliau legowo. Tokoh publik dan politisi pun ramai-ramai meminta beliau untuk legowo. Dan, saya pun menikmati band wagon effect, 'memaksa' pak Prabowo untuk bisa legowo. Saya menjadi tidak enak dan malah agak kikuk sendiri. Siapa saya buat pak Prabowo? Kenal saja tidak. Lihat dan salaman langsung saja tidak pernah. Saudara sedarah juga bukan. Gurunya juga bukan. Hanya penulis kroco yang menikmati dan mengamati fenomena sosial yang ada. Penulis kacangan yang bukan siapa-siapa diantara para penulis hebat di Kompasiana. Bahkan para penulis di Indonesia ini. Legowo, sebuah kata umum yang asalnya dari bahasa Jawa. Dengan padanan dalam bahasa Indonesia, yang berarti lapang dada, mau bersabar dan juga menerima. Media ramai-ramai menggunakan kata legowo sebagai bentuk efisien dari istilah lapang dada. Begitupun sebagai efesiensi dan attention gatherer pada headline sebuah berita. Apalagi, dengan sosok Jokowi sebagai orang Solo tulen. Juga sebagai 'media darling', semua kata berbau atau berkonotasi ke-Solo-an atau ke-Jawa-Jawa-an akan disukai publik. Seolah atau terkesan, dengan kata legowo tadi, melekat citra atau imaji Jawa-nya Jokowi dalam setiap berita atau opini tentang Pilpres 2014 ini. Dan, di penghujung Pilpres ini, semua ramai-ramai meminta (bahkan saya rasa memaksa) pak Prabowo untuk bisa legowo. Kenapa saya tidak enak terus memaksa Prabowo untuk bisa legowo. Selain alasan, siapa sih saya buat pak Prabowo. Legowo saya rasa harus datang dari dalam diri pak Prabowo sendiri. Legowo seharusnya adalah 'drive' atau niat yang muncul dari hati nurani terdalam. Legowo, tidak sama sekali dipaksakan. Ia harusnya muncul dari seorang yang dewasa dan sudah banyak makan asam garam dalam kehidupannya. Apalagi, pak Prabowo telah makan banyak asam garam dunia militer dan politik. Ia adalah ksatria dalam medan perang yang pernah ia lalui. Ia pun seorang negarawan dengan pengalaman puluhan tahun di dunia politik dan pembangunan Indonesia. Dan menurut saya, mudah dan tidak berat memunculkan rasa legowo dari dalam hati beliau. Sering dikecewakan pimpinan militer saat dahulu. Atau merasa ditipu oleh para politisi yang pernah ia temui. Legowo sudah pak Prabowo praktikkan dari dahulu. Buktinya, ia tetap berjiwa militer dan kuat sifat kenegarawaannya saat didaulat menjadi Capres. Juga, siapa sih saya meminta pak Prabowo untuk legowo. Saya yakin, saran atau wejangan untuk legowo harus datang dari orang-orang yang pak Prabowo hormati. Jendral atau purnawirawan rekan dalam ranah militer dahulu, mungkin lebih pantas menasehati beliau untuk legowo. Atau saudara tertua dalam keluarga, atau adik dan kakak dari pak Prabowo untuk bisa menyarankan untuk bisa legowo. Bisa juga, penasehat politik atau rekan politisi yang dihormati pak Prabowo dalam koalisinya, untuk menasehati agar legowo. Saya yakin, kata-kata mereka lebih bisa dan mau didengar. Daripada kata atau 'paksaan' saya untuk beliau agar legowo pada penghujung Pilpres 2014 ini. Jadi, saya sebagai orang biasa dan bukan siapa-siapa untuk pak Prabowo cukup menanti legowo beliau. Ya, saya cukup menunggu. Buat apa saya banyak berkoar-koar atau kritik untuk pak Prabowo, toh sudah banyak dan jumud. Saya yakin, beliau pun sudah membaca atau dikabari. Saya cukup menunggu. Dan tetap, dalam saya menunggu, saya tetap mendoakan beliau yang terbaik. Terbaik sebagai ksatria yang cukup legowo menerima hasil RC KPU 22 Juli. Dan terbaik sebagai putra bangsa setelah Pilpres nanti. Untuk sama-sama membangun Indonesia. Dan, tidak saya paksakan beliau untuk legowo. Saya hanya tulus mendoakan. Karena Tuhan punya kuasa membolak-balikkan hati. Salam damai, Solo 20 Juli 2014 09:34 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun