Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Dilema Makan Nasi Dalam Bakul

24 Agustus 2014   05:21 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:43 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="(foto: tummyteaser.blogspot.com)"][/caption] Pernah Anda makan di warung makan seperti SS (Serba Sambal)? Dimana menunya rata-rata pedas. Tentunya, harganya tidak menyiksa kantong. Namun, ada yang menurut saya kurang sreg dengan hati saat makan di warung makan seperti ini. Biasanya nasi disajikan dalam bentuk bakul. Bakul nasi yang cukup kecil dengan isi nasi yang lumayan banyak, menurut saya. Hal ini menjadi dilema buat saya. Bagi yang makan dengan rombongan mungkin nasi bakul menjadi pilihan tepat. Tapi bagi yang cuma datang berdua, nasi bakul menjadi dilema. Antara harus dihabiskan atau disisakan begitu saja di bakulnya. Menjadi sebuah pertanyaan saya, apakah nasi sisa di bakul dibuang atau dipindahkan ke bakul baru? Jika dibuang, maka banyak sekali sisa yang mungkin terbuang. Saya dan istri kadang hanya makan sedikit. Dan sisa nasi cukup banyak. Apakah nasinya ini nanti dibuang? Atau dipindah ke bakul baru untuk kemudian disajikan ke meja lain. Padahal, saya sudah membayar seluruh isi nasi bakul ini. Bisa saja sisa nasi saya dihangatkan kembali. Lalu disajikan kembali. Kalau dalam pandangan pedagang, hal ini menguntungkan. Bagaimana efesiensi budget dan efektifitas penyajian nasi menjadi optimal. Daripada menyajikan nasi per-piring. Lebih baik per-bakul. Jika per-piring nasi yang sudah terkena lauk pasti tidak bisa disajikan kembali. Jika dengan nasi bakul, yang makan cukup menggunakan centong untuk mengambil nasi. Nasi di bakul tetap bersih dan mungkin bisa disajikan kembali. Pernah saya mencoba mengkritik pengelola warung makan SS dengan menghubungi nomor HP yang disediakan. Isi pesan singkat saya hanya menanyakan kemana sisa nasi di bakul setelah saya makan dan tidak habis. Beberapa kali bertanya, tidak ada jawaban dari nomor yang disediakan. Entah sibuk atau enggan menjawab, tidak ada respon pasti dari pertanyaan sederhana saya. Tidak mau 'menyerah' pernah saya mencoba trik lain. Saya memesan nasi bakul untuk satu orang, namun pelayannya saya minta datangkan 2 piring. Karena saya tahu isi satu bakul cukup untuk saya dan istri. Sehingga, cukup piringnya saja yang ditambah. Namun, kata si pelayan jumlah piring menyesuaikan jumlah pemesan. Sehingga 2 piring untuk 1 bakul nasi untuk 2 porsi pula. Begitupun dengan 1 porsi bakul nasi. Akhirnya saya mengalah, pesan porsi untuk 2 orang. Kebijakan yang cukup 'aneh' buat saya. Kadang ketika datang nasi disajikan dalam bakul untuk saya dan istri ada yang terbersit. Apakah nasi yang hendak saya makan 'bekas' orang atau masih fresh. Karena saya tidak pernah tahu dibalik riuhnya dapur dan bejubelnya pesanan. Ada sesuatu yang mengganjal. Karena mungkin nasi ini tidak se-higienis yang terlihat. Bisa saja, orang yang hendak mengambil nasi bersin atau batuk di atas nasinya. Bisa saja nasi yang di bakul ini adalah nasi yang sempat diambil ke piring, namun di kembalikan. Atau kemungkinan lain. Akhirnya, dilema saya setelah makan dan menyisakan nasi di bakul pun muncul. Saya harus 'menghancurkan' nasi yang tersisa di bakul. Jadi, sisa buah atau sambal kadang saya masukkan ke dalam bakul. Lalu saya sedikit aduk-aduk agar terlihat bercampur. Mungkin terlihat aneh, namun saya cuma tidak ingin ada orang yang memakan nasi 'sisa' saya. Toh saya sudah membeli nasi di bakul ini sepenuhnya. Pernah saya 'kepergok' seorang pelayan melakukan penghancuran nasi ini. Saya sempat ditegur dan dilarang olehnya. Tapi saya bilang nasi di bakul ini hak saya. Ia lalu pergi begitu saja. Namun hal ini seperti menguatkan suatu hal. Jika memang nasi bakul sisa ini akan 'didaur ulang' untuk disajikan kembali. Kenapa pelayan harus menegur saya. Kalau ia tahu kalau saya sudah membeli nasi dalam bakul ini. Dan sampai sekarang, saat makan dengan model nasi bakul saya selalu melakukan 'penghancuran'. Seperti setelah memakai sebuah masker atau jarum suntik. Nasi itu saya labeli 'Single Use Only!' Walau dilema bertanya nasi di bakul ini bekas siapa. Setidaknya, nasi yang mungkin terkontaminasi saya tidak menular ke orang lain. Salam, Solo, 23 Agustus 2014 10:14 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun