[caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="(ilustrasi: metrotvnews.com)"][/caption] Tepat tanggal 1 Oktober ini, kita memperingati hari Kesaktian Pancasila. Sekaligus mengenang jasa para Jendral dan ajudannya yang (katanya) menjadi korban kekejaman PKI. Inti Hari Kesaktian Pancasila tentunya adalah mengingatkan kita pada ideologi dan dasar negara berupa Pancasila. Bahwasanya, tidak ada faham asing yang mampu menggoyang kesatuan NKRI dengan Pancasila. Ke lima sila dalam Pancasila yang menguatkan kepribadian orang Indonesia. Namun satu yang tiba-tiba muncul menjadi 'masalah' buat saya. Jika Pancasila memiliki lima sila, maka bukankah semestinya disebut Panca Sila? Karena jika secara literal kata numerikal Sansakerta 'panca' berarti lima, dan 'sila' adalah kaidah. Sehingga bukankah seharusnya Lima Kaidah, bukan Limakaidah? Sebenarnya sudah ada artikel di Kompasiana yang membahas hal ini. Namun lebih kepada sudut pandang politis. Menurut artikel yang ditulis oleh Joyodipuro ini, menyatakan penulisan Pancasila adalah 'kerjaan' rezim Orba. Di artikelnya, ia menulis bahwa rezim Orba memaknai Pancasila sebagai Ekaprasetya Pancakarsa (36 butir P4). Atau dalam pidato Bung Karno tanggal 30 September 1960 di Majelis Umum PBB 'To Build a New World', Pancasila diterjemahkan ke dalam The Five Principles. Intinya, adalah selama ini kita sudah salah kaprah menulis Pancasila. Seharusnya Panca Sila. (Selengkapnya di sini) Pancasila Bergerak pada Tataran Morfologis Bahasa Secara morfologis pembentukan bahasa (word formation), kata Pancasila atau Panca Sila keduanya adalah nomina majemuk. Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai compound noun. Dimana ada dua kata nomina atau benda (noun) yang ditumpuk demikian rupa untuk membentuk suatu nomina majemuk. Bisa dengan satu arti spesifik, contohnya kata keyboard. Atau juga dapat diterjemahkan perkata seperti post office. Dalam bahasa Inggris sendiri, ada tiga jenis cara penulisan untuk nomina majemuk, yaitu:
- Tipe Closed (tertutup) atau tipe dimana penulisannya tanpa menggunakan spasi, seperti keyboard, greenhouse, softball, dll.
- Tipe Hypenated (dengan strip) dimana penulisannya dengan menggunakan tanda strip atau hyphen (-) seperti mother-in-law, son-in-law
- Tipe Open (terbuka), atau penulisannya umumnya menggunakan spasi seperti attorney general, post office. (referensi: grammar.yourdictionary.com)
Sedang dalam Bahasa Indonesia sendiri hanya ada satu tipe kata nomina majemuk. Tipe yang paling umum adalah tipe open atau terbuka dengan dua kata yang dipisahkan oleh spasi. Namun dalam bahasa Indonesia, kemajjemukan lebih istimewa. Selain secara makna akan mengacu pada istilah khusus atau kiasan. Secara morfologis pula, ada tiga keistimewaan kata majemuk di Bahasa Indonesia:
- Ketaktersisipan. Di antara komponennya tidak dapat disisipi apa pun. Misalnya, angkat bicara merupakan majemuk karena tidak dapat disisipi apa pun. Bandingkan dengan alat negara yang merupakan frasa karena dapat disisipi dari.
- Ketakterluasan. Komponennya tidak dapat diafiksasi dan dimodifikasi, kecuali keseluruhan. Misalnya, kereta api tidak biasa dibentuk menjadi perkerataan api. Bentuk itu hanya dapat diperluas semua komponennya menjadi perkerataapian.
- Ketakterbalikan. Komponennya tidak dapat dipertukarkan. Misalnya naik daun tidak dapat dibalik menjadi daun naik tanpa mengubah maknanya. (sumber: Darnis di balaibahasa.kemendikbud.go.id)
Jadi, kata majemuk nomina Pancasila sendiri tidak ada rujukan secara morfologis. Karena sejauh yang saya fahami, tidak ada kata majemuk dalam Bahasa Indonesia yag bertipe Closed atau tanpa spasi. Sedang, bisa pula kata majemuk nomina Panca Sila adalah frasa, bukan lagi masuk kata majemuk. Walau secara makna, juga akan berarti Sila atau aturan yang berjumlah Panca atau lima. Sehingga, agak lebih 'tepat' secara morfologis untuk menulis Panca Sila ketimbang Pancasila. Sedang 'kekhasan' secara morfologis pada kata majemuk Pancasila, dapat juga dimaklumi. Pancasila, Bergerak Pada Tataran Simbol Entah siapa yang pertama menggabungkan kata Panca dan Sila menjadi paduan mejemuk tanpa spasi. Namun jika ditilik dari literatur yang ada, ada buku terbitan tahun 1964, ada yang buku yang berjudul Lahirnya Pantja-Sila. Ada sebuah strip atau hyphen (-) yang memisahkan kata Panjta (ejaan lama untuk Panca) dan Sila. Buku ini tak diketahui pasti penerbit dan tahun terbitnya. Tapi, "Kata Pengantar"-nya bertahun 1947. [caption id="" align="aligncenter" width="284" caption="(foto: bukubukubekas.wordpress.com)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H