Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Menulisnya, Panca Sila atau Pancasila?

1 Oktober 2014   22:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:45 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(foto: bukubukubekas.wordpress.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="(ilustrasi: metrotvnews.com)"][/caption] Tepat tanggal 1 Oktober ini, kita memperingati hari Kesaktian Pancasila. Sekaligus mengenang jasa para Jendral dan ajudannya yang (katanya) menjadi korban kekejaman PKI. Inti Hari Kesaktian Pancasila tentunya adalah mengingatkan kita pada ideologi dan dasar negara berupa Pancasila. Bahwasanya, tidak ada faham asing yang mampu menggoyang kesatuan NKRI dengan Pancasila. Ke lima sila dalam Pancasila yang menguatkan kepribadian orang Indonesia. Namun satu yang tiba-tiba muncul menjadi 'masalah' buat saya. Jika Pancasila memiliki lima sila, maka bukankah semestinya disebut Panca Sila? Karena jika secara literal kata numerikal Sansakerta 'panca' berarti lima, dan 'sila' adalah kaidah. Sehingga bukankah seharusnya Lima Kaidah, bukan Limakaidah? Sebenarnya sudah ada artikel di Kompasiana yang membahas hal ini. Namun lebih kepada sudut pandang politis. Menurut artikel yang ditulis oleh Joyodipuro ini, menyatakan penulisan Pancasila adalah 'kerjaan' rezim Orba. Di artikelnya, ia menulis bahwa rezim Orba memaknai Pancasila sebagai Ekaprasetya Pancakarsa (36 butir P4). Atau dalam pidato Bung Karno tanggal 30 September 1960 di Majelis Umum PBB 'To Build a New World', Pancasila diterjemahkan ke dalam The Five Principles. Intinya, adalah selama ini kita sudah salah kaprah menulis Pancasila. Seharusnya Panca Sila. (Selengkapnya di sini) Pancasila Bergerak pada Tataran Morfologis Bahasa Secara morfologis pembentukan bahasa (word formation), kata Pancasila atau Panca Sila keduanya adalah nomina majemuk. Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai compound noun. Dimana ada dua kata nomina atau benda (noun) yang ditumpuk demikian rupa untuk membentuk suatu nomina majemuk. Bisa dengan satu arti spesifik, contohnya kata keyboard. Atau juga dapat diterjemahkan perkata seperti post office. Dalam bahasa Inggris sendiri, ada tiga jenis cara penulisan untuk nomina majemuk, yaitu:

  1. Tipe Closed (tertutup) atau tipe dimana penulisannya tanpa menggunakan spasi, seperti keyboard, greenhouse, softball, dll.
  2. Tipe Hypenated (dengan strip) dimana penulisannya dengan menggunakan tanda strip atau hyphen (-) seperti mother-in-law, son-in-law
  3. Tipe Open (terbuka), atau penulisannya umumnya menggunakan spasi seperti attorney general, post office. (referensi: grammar.yourdictionary.com)

Sedang dalam Bahasa Indonesia sendiri hanya ada satu tipe kata nomina majemuk. Tipe yang paling umum adalah tipe open atau terbuka dengan dua kata yang dipisahkan oleh spasi. Namun dalam bahasa Indonesia, kemajjemukan lebih istimewa. Selain secara makna akan mengacu pada istilah khusus atau kiasan. Secara morfologis pula, ada tiga keistimewaan kata majemuk di Bahasa Indonesia:

  1. Ketaktersisipan. Di antara komponennya tidak dapat disisipi apa pun. Misalnya, angkat bicara merupakan majemuk karena tidak dapat disisipi apa pun. Bandingkan dengan alat negara yang merupakan frasa karena dapat disisipi dari.
  2. Ketakterluasan. Komponennya tidak dapat diafiksasi dan dimodifikasi, kecuali keseluruhan. Misalnya, kereta api tidak biasa dibentuk menjadi perkerataan api. Bentuk itu hanya dapat diperluas semua komponennya menjadi perkerataapian.
  3. Ketakterbalikan. Komponennya tidak dapat dipertukarkan. Misalnya naik daun tidak dapat dibalik menjadi daun naik tanpa mengubah maknanya. (sumber: Darnis di balaibahasa.kemendikbud.go.id)

Jadi, kata majemuk nomina Pancasila sendiri tidak ada rujukan secara morfologis. Karena sejauh yang saya fahami, tidak ada kata majemuk dalam Bahasa Indonesia yag bertipe Closed atau tanpa spasi. Sedang, bisa pula kata majemuk nomina Panca Sila adalah frasa, bukan lagi masuk kata majemuk. Walau secara makna, juga akan berarti Sila atau aturan yang berjumlah Panca atau lima. Sehingga, agak lebih 'tepat' secara morfologis untuk menulis Panca Sila ketimbang Pancasila. Sedang 'kekhasan' secara morfologis pada kata majemuk Pancasila, dapat juga dimaklumi. Pancasila, Bergerak Pada Tataran Simbol Entah siapa yang pertama menggabungkan kata Panca dan Sila menjadi paduan mejemuk tanpa spasi. Namun jika ditilik dari literatur yang ada, ada buku terbitan tahun 1964, ada yang buku yang berjudul Lahirnya Pantja-Sila. Ada sebuah strip atau hyphen (-) yang memisahkan kata Panjta (ejaan lama untuk Panca) dan Sila. Buku ini tak diketahui pasti penerbit dan tahun terbitnya. Tapi, "Kata Pengantar"-nya bertahun 1947. [caption id="" align="aligncenter" width="284" caption="(foto: bukubukubekas.wordpress.com)"]

(foto: bukubukubekas.wordpress.com)
(foto: bukubukubekas.wordpress.com)
[/caption] Kalau merujuk pada buku yang sama terbitan Departemen Penerangan RI pada 1964 yang berukuran buku saku, buku ini mengesankan terbitan pertama pidato Soekarno yang tanpa teks itu yang diterbitkan di Yogyakarta oleh Oesaha Penerbitan Goentoer pada 1947. Tapi, kalau memperhatikan ejaan dan tipografi judul di kulit mukanya serta perusahaan pencetaknya PT Grafica, Jakarta, buku ini sepertinya format lain dari buku ukuran saku yang terbit pada 1964 itu. Sehingga, terlihat jelas secara morfologis kata Pantja-Sila seperti kover buku terbitan 1964 diatas benar. Lalu bagaimana kata majemuk Pancasila yang sekarang umum ditemui? Secara simbolik tentunya kata majemuk Pancasila ini menyiratkan kekhususan atau keistimewaan Pancasila itu sendiri. Sehingga, penyatuan kata nomina majemuk Pancasila menyiratkan kesatuan lima sila menjadi satu. Dalam hal ini, Pancasila sendiri tidak bisa dipecah atau dibedakan menjadi lima sila masing-masing merujuk pada entitas tertentu. Sehingga, makna tanda-petanda yang muncul adalah Pancasila adalah lima sila yang menjadi satu yang tidak bisa lagi disebut lima. Walau secara entitas Pancasila adalah lima, tapi secara simbolik ia adalah kesatuan yang tidak bisa dipecahkan. Simbolisasi melekatkan kata 'sila' ke kata 'Panca' menjadikannya simbolisasi entitas majemuk. Dalam satu badan, terdapat ada lima entitas. Sehingga, kelima sila yang ada tidak bisa dan tdak pernah bisa saling melepaskan diri. Harapannya, bangsa Indonesia tetap satu dan utuh. Berprinsip satu dengan ideologi Pancasila. Walau hempasan ideologi asing terus menerus menggerus bangsa ini. Dan tanggal 1 Oktober ini adalah waktu kita berterima kasih pada para pahlawan yang telah memperjuangkan Pancasila. Selamat Hari Kesaktian Pancasila, Salam, Solo, 1 Oktober 2014 02:45 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun