Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dampak 'Mental Proyek' Pejabat Kampus yang Merusak

22 Desember 2014   19:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:43 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="522" caption="(ilustrasi: barnorama.com)"][/caption] Hampir selalu terulang model proyek pelatihan seperti ini. Dimana para pejabat kampus sibuk membuat program, dosen dan manajerial yang belum tentu paham, yang harus menjalankan. Selama prosesnya, tidak ada supervisi. Ujung-ujungnya, dosen merasa rugi karena ketidakjelasan administratif. Mulai dari honor yang tidak jelas turunnya. Sampai mahasiswa yang mengikuti program yang nilai dan konversi pada makul tertentu tidak jelas juntrungannya. Mereka pun berkeluh kesah pada kami sebagai dosen program tersebut. Dan penuh kebingungan pula, kami coba menenangkan hati mereka. Agar tidak ada kekecewaan yang semakin menumpuk dan perih. Mental proyek pejabat kampus sepertinya lebih berbahaya dari mental proyek pejabat pemerintahan. Jika mental pejabat pemerintahan misalnya, merugikan negara dengan jumlah uang yang digelapkan. Atau pun hasil dari proyek yang jauh dari pagu budgeting yang wah dan mewah. Sedang di kampus, pejabat atau otoritas kampus memberi dampak yang bukan hanya materil. Kadang kepada sisi humanis dan edukatif, selain pula sisi administratif. Membuat satu program biasanya dadakan alias ujug-ujug ada. Yang kemudian berwenang adalah orang-orang yang berada dalam lingkaran 'kekuasaan' di kampus. Lalu dengan beberapa kali bertemu dengan semua pihak yang terlibat. Dijalankanlah program tersebut. Dengan sumber belajar seadanya, program yang ditujukan ke mahasiswa biasanya dipoles agar rapih. Walau secara manajemen, semua rapuh dan tidak jelas secara administratif. Selama program berjalan, supervisi atau monev jarang dilakukan. Dosen yang terlibat pun biasanya akan mengajar dan hadir. Walau beberapa yang bingung apa tujuan dan seperti apa langkah dan indikator apa untuk mencaai tujuan yang dimaksud. Pokoknya, semua diculke (dilepas begitu saja, Jawa). Yang penting program berjalan atau sampai pada target pertemuan. Ada pula dosen oke-oke saja karena mendapat bayaran. Namun akan mlongo (bingung, Jawa) saat ktidakjelasan honor. Atau saat ditanya mahasiswa tentang luaran (output), penilaian (assessment) bahkan manfaat (benefit) dari program atau proyek yang diadakan. Pihak Dirugikan, Antara Nrimo dan Mlongo Pihak yang dirugikan banyak dengan proyek asal buat ini. Selain secara hirarkis, dosen sebagai pihak yang menggerakkan program atau proyek ini terkena imbasnya. Selain bingung atas kejelasan dan kemanfaatan program yang dibuat. Ada pula beban moral kepada mahasiswa, jika proyek tersebut terkait pelatihan mahasiswa atas ketrampilan tertentu. Mahasiswa biasanya akan tetap diajarakan ketrampilan yang dimaksud. Walau secara desain pembelajaran, tidak ada dsar kuat indikator yang ingin dicapai. Hanya kadang secara garis besar mahasiswa harus mendapat skor TOEFL/IELTS sekian. Walau secara tahapan pencapaian pembelajaran, tidak ada dokumentasi tertulis akan hal ini. Mahasiswa saya fikir bisa dan siap diberikan satu pokok bahasan serta output yang diinginkan. Mereka siap karena biasanya pula mereka membayar atas satu program yang dibuat. Karena sudah membayar, mereka pun biasanya akan mencari imbal balik atas apa yang mereka sudah bayarkan. Dalam sisi ekonomi, tentulah tidak ada orang yang ingin rugi atas satu barang atau jasa yang telah dibayarkan. Sayangnya, pada saat menjalani program, baik dosen yang terlibat dan mahasiswa akan menemui kesulitan administratif. Mulai dari absensi kehadiran yang tidak jelas. Ada juga program yang dijalankan telat dari jadwal semula. Sampai hasil atau luaran satu program pelatihan yang tidak bisa dikonversi ke dalam transkrip kuliah. Walau dulu, manajemen program berjanji hal administratif ini dapat dijalankan. Tapi janji hanya sekadar janji. Saat mahasiswa dan dosen terus bertanya dan berharap dengan kejelasan program. Pejabat atau koordinator program akan banyak berdalih ini-itu. Yang terjadi adalah, model birokrasi pingpong ala pejabat tidak bertanggung jawab. Mahasiswa saat mau mengkonversi, atau menuntut nilainya, mereka akan dipingpong pejabat terkait. Mereka akan terus diputar-putar sampai akhirnya mereka jenuh dan bosan, lalu menyerah. Dosen akan terus dijanjikan honor yang tertunda lama dan tidak jelas. Lalu, beberapa dosen hanya bisa saling berkoordinasi sendiri demi program berjalan baik. Sebaik-baiknya dan sekreatif mungkin akan membuat program (seolah-olah) berjalan rapih. Karena semua hal berdiri pada dasar yang tidak kokoh dan manajerial yang rapih dan runut. Yang diinginkan para pejabat kampus, yang penting program berjalan. Uang sudah masuk dan semua membayar, silahkan sebisa mungkin program berjalan. Dalam istilahnya, pejabat hanya sekadar nge-bosi. Salam, Tangerang, 22 Desember 2014 12:01 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun