Saya tidak ingin mengeneralisir semua supir bus mengemudi ugal-ugalan atau ngebut lalu celaka. Ada banyak pula faktor eksternal seperti pengendara lain yang lalai, infrastruktur jalan yang kurang baik, sampai usia bus yang uzur. Namun semua kemungkinan celaka akan lebih besar besar jika supir bus ugal-ugalan atau ngebut. Sebuah probabilitas yang mungkin tidak terlintas jika setoran, poin dan gengsi supir mengemuka. Dan saya fikir, semua supir bus faham akan resiko celaka jika mereka ngebut. Namun karena tekanan ekonomi dan komunitas bus, bisa saja semua resiko dianggap sepele. Belum lagi jika supir atau kernet bus memiliki tanggungan di rumah. Baik anak atau istri di rumah pasti tidak ingin ayahnya pulang tinggal nama. Atau orangtua atau sanak kerabat, tentu tak ingin anak atau saudaranya pulang namun diantar dengan ambulan.
Semua resiko negbut bisa berujung tragis jika faktor-faktor diatas mendukun celaka yang mungkin terjadi. Belum lagi jika dalam celakanya, bus tadi juga memakan korban jiwa. Baik penumpang bus sendiri atau pengguna jalan lain. Betapa nantinya keluarga yang ditinggalkan membawa stigma sosial tersendiri. Selain menjadi korban atas kelakuan ngebutnya yang ugal-ugalan, juga ia telah menghilangkan nyawa. Nyawa orang yang tidak bersalah atau malah hanya kebetulan saja melintas dan mendapat celaka dari bus mautnya. Jadi teringat ucapan rekan, "Orang kita itu jago ngebut di jalan raya. Tapi kalau di sirkuit kaya MotoGP pada kalah terus."
Salam,
Tangerang, 27 Desember 2014
03:27 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H