Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Tiga Elemen Pengecoh pada Iklan Produk Kosmetik

31 Januari 2015   05:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:04 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi: dailymail.co.uk)

[caption id="" align="aligncenter" width="437" caption="(foto: becuo.com)"][/caption] Siapa yang tidak suka melihat iklan produk kosmentik di televisi? Sengaja atau tidak sengaja terlihat saat menyaksikan satu acara di TV, iklan kosmetik mampu setidaknya menarik mata kita. Baik itu wanita atau pria, iklan produk kosmetik seperti memiliki 'sihir' tertentu. Bukan masalah feminisme yang akan coba saya angkat. Dimana permasalahan perempuan sebagai objek dalam iklan tersebut, hanya menjadi salah satu fondasi iklan produk kosmetik. Dan fokus feminisme mungkin akan lebih banyak dibahas dengan nada lebih sinis. Dan, bukan itu yang akan saya coba uraikan. Namun lebih kepada 'banalitas' yang dikemas dengan visualisasi kreatif yang berbeda. Sederhananya, sama-sama lemper tapi ada lemper yang dibungkus memakai alumunium foil bukan lagi daun pisang. Hanya butuh observasi yang jeli melihat isi dibalik alunium foil tersebut. Yang isinya adalah ketan dengan isi ayam atau abon, alias lemper. Saya bukan seorang pengamat periklanan atau media televisi secara spesifik. Namun observasi ini hadir karena mencoba mengurai makna, kenapa iklan produk kosmetik glamor dan indah. Kenapa harus selalu wanita cantik yang dipampang di iklan produk kosmetik? Kenapa mudah sekali kita, wanita dan pria, melihat atau sekadar menengok iklan produk kosmetik? Ada hal yang sama yang menjadi dasar produk kosmetik. Entah itu bedak, body lotion, shampoo, sabun dan semacamnya, semua memiliki satu dasar, yaitu lust (angan-angan). Dan untuk membangun lust ini agar mengena dan 'meracuni' fikiran kita. Ada tiga elemen dasar yang saya perhatikan dari produk iklan kosmetik. Sehingga, ketiga elemen ini membangun lust ala iklan produk kosmetik dengan baik. 1. Beauty Tentunya ini elemen dasar iklan produk kosmetik, yaitu beauty (kecantikan). Karena kebanyakan iklan produk kosmetik, mungkin hampir semua, diperuntukkan untuk perempuan. Maka kecantikan seorang perempuanlah yang juga menjadi trigger (pemancing) agar lust terbangun dalam fikiran. Secara subtle (tersembunyi) pengiklan produk kosmetik, ingin setiap perempuan yang menonton berfikir untuk bisa cantik seperti artis yang muncul dalam iklannya. Dan seolah tanpa perintah untuk memahami makna ini, diam-diam gambaran perempuan cantik si artis sudah masuk ke dalam fikiran bawah sadar. [caption id="" align="aligncenter" width="315" caption="(ilsutrasi: gopixpic.com)"]

(ilsutrasi: gopixpic.com)
(ilsutrasi: gopixpic.com)
[/caption] Dengan kata lain, memajang perempuan yang sudah cantik menjadi bintang produk kosmetik juga sami mawon alias percuma. Coba kita lihat salah satu produk iklan kosmetik. Pasti dibintangi oleh model perempuan yang memang sudah cantik wajahnya, sudah putih dan cerah kulitnya, dan sudah bagus rambutnya. Kenapa harus membintangi iklan produk shampoo anti ketombe? Masa iya model atau penyanyi secantik Anggur C. Sasmita ketombean. Tak lain, beauty yang ditampilkan adalah salah satu elemen pembangun lust. Memakai shampoo yang diiklankan Anggur C. Sasmita, maka bisa seindah rambut Anggur. 2. Obscurity Elemen kedua, adalah obscurity atau ketidak jelasan. Dalam hal ini, bukan pada bintang iklan produk kosmetiknya. Namun lebih kepada tagline atau slogan dari iklan produk ksmetik itu sendiri. Secara naif, ketidak jelasaan pemaknaan ini disembunyikan dengan apik dengan 'visualisasi kreatif' ala iklan produk kosmetik. Karena sejatinya, penyebutan slogan produk kosmetik memang benar. Namun karena faktor visualisasi kreatif yang begitu tricky (lihai), penonton pun tergiring memiliki lust dengan elemen obscurity ini. Contoh nyata dari obscurity ini adalah penggunaan kata 'tampak' pada produk kosmetik. Atau lebih 'frontal' seperti kata anti-aging alias melawan penuaan. [caption id="" align="aligncenter" width="444" caption="(ilustrasi: dailymail.co.uk)"]
(ilustrasi: dailymail.co.uk)
(ilustrasi: dailymail.co.uk)
[/caption] Iklan produk hand-body lotion misalnya, dengan gamblang menulis "Membuat kulit tampak putih". Iklan produk kosmetik memang 'jujur' dalam hal ini. Yang namanya tampak, tentunya tidak membuat kulit menjadi putih. Putih memang menjadi sebuah kompleksi kulit idaman perempuan iklim tropis. Karena lotion ini memang tidak membuat kulit menjadi putih. Pengecohnya, tentunya kalimat-kalimat sugestif lain. Belum lagi bintang iklan yang cantik. Belum lagi tulisan samar, kecil dan hampir tidak dibaca di layar TV tentang 'penelitian' satu produk kosmetik. Yang tentunya tidak ingin diketahui pemirsa TV penelitian apa? Semua memicu lust jika kata-kata yang obscure ini membuat pengguna produknya, menjadi seperti yang tampak di iklan. 3. Masculinity

[caption id="attachment_394200" align="aligncenter" width="508" caption="(ilustrasi: gettyimage.com)"]

142267806345212050
142267806345212050
[/caption] Dan elemen terakhir untuk mendukung lust dari dua elemen diatas adalah masculinity. Lho kok ada pria atau maskulinitas dalam elemen lust? Tentunya ini yang menjadi penguat lust yang muncul dari sebuah produk kosmetik. Trigger atau pemicunya tentunya seorang perempuan membutuhkan dan menginginkan cinta seorang pria. Dan pengiklan produk kosmetik sangat sadar hal ini. Muncullah sosok pria dalam iklan produk kosmetik. Hal ini memicu alam bawah sadar perempuan. Jika memakai produk dari bintang iklan yang cantik, dengan kalimat sugestif membuat cantik, plus ada pria ganteng yang (pura-pura) naksir atau tertarik, maka lengkaplah lust. Hampir semua produk kosmetik 'menyelipkan' sosok pria dalam iklannya. Misalkan produk lip-gloss dengan perempuan ABG yang tidak PeDe saat seorang lelaki mendekatinya. Lalu setelah menggunakan produk R-A, si perempuan ABG langsung PeDe. Teman-teman lelakinya pun langsung mengantri mengajaknya kencan. Suatu hal yang tidak mungkin terjadi di dunia nyata tentunya. Namun karena iklan produk kosmetik ini ingin menyasar lust dari pemakai produknya, Maskulinitas menjadi faktor pendorong melengkapi beauty dan obscurity untuk mencapai lust. Dan tiga elemen banal ini dikemas berulang kali dengan 'kreatif' untuk memicu angan-angan pemirsa TV. Hanya membutuhkan wajah (beauty) yang baru, kata-kata yang catchy (obscure) dan pria yang tampan (masculine), maka angan-angan atau merasa cantik (lust) pun bisa tercipta. Dengan tidak sadar (subtle) pemirsa disisipkan pesan-pesan dari ketiga elemen ini. Maka, entah pada waktu di masa depan ada keinginan untuk mencoba produk iklan yang pernah dilihat di TV. Dan dengan lust yang sudah 'tertanam', perasaan menjadi si bintang iklan produk kecantikan pun muncul. Salam, Solo, 30 Januari 2015 10:52 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun