[caption id="attachment_393567" align="aligncenter" width="587" caption="(ilustrasi: ifremer.fr)"][/caption]
Memperhatikan beberapa minggu ini, Kompasiana semakin riuh. Serupa riuh-rendah pra dan paska Pilpres 2014 lalu, Kompasiana membuat Kompasianer (silent atau 'gaduh') bergelut opini. Terutama isu yang menjadi topik pilihan Kompasiana yaitu Cicak VS Buaya Jillid II. Dimana kekisruhan politik dan kepentingan bergesekan dan memicu kebingungan massal. BG yang ditetapkan tersangka persis setelah penunjukkannya sebagai Kapolri seolah membakar sekam dendam di jerami konflik KPK-Polri era Bibit-Chandra. Kriminalisasi KPK oleh (oknum) Polri kembali mengudara. Bedanya, BG memiliki beking 'kuat'. Dan diduga merekalah yang membuat Jokowi 'besar' sampai saat ini. Dilema Jokowi pun mendera. Membela pemberantasan korupsi atau memberi 'jatah' Kapolri demi 'nyonya besar' dan oligarkinya.
Kompasiana pun padat dengan tulisan menyoal kisruh KPK-Polri. Kompasianer 'pembela' Jokowi berkilah dan bersilat agar (katanya) junjungannya tidak disalahkan. Dan para penggiat kebencian di Kompasiana pun serasa orgasme dengan kisruh ini. Isu pemakzulan dan 'penggoblokan' kepada Presiden ditulis panjang kali lebar kali tinggi. Semua isi Kompasianer tulisan saling berbenturan. Apalagi setelah ada penangkapan Waketu KPK, Bambang Widjojanto (BW) oleh pihak Kepolisian. Seolah menyulut membakar isu kriminalisasi KPK yang mulai terbangun. Bahkan ada isu 'bumi-hangus' KPK, setelah Waketu KPK lain, Adnan Pandu Praja juga akan ditangkap polisi. Tak lupa Ketua KPK, akan pula dicokok Kepolisian.
KompasianaTV, adik kandung Kompasiana pun menjadi sorotan publik saat isu KPK-Polri diangkat ke media televisi. Semua mata menyaksikan dan semua telinga mendengarkan dengan seksama. Selain konsep opini warga, termasuk Kompasianer, disiarkan secara live. Kompasianer yang memilih pseudonim juga terwakili dengan diangkat artikelnya di KompasianaTV. Sebuah momentum yang klop bagi KompasianaTV mengudara. Tentunya konflik KPK-Polri ini bukan yang diharapakan ada dan berlarut-larut. KompasianaTV yang mengambil topik konflik ini berada dalam highlight. Sesuatu yang baru, yaitu opini warga biasa, tentunya ingin publik dengar. Saat semua sudah mungkin muak dengan komentar pengamat yang gamang dan partisan. KompasianaTV mendapat tempat tepat di hati publik.
Kompasianer kawak dan mumpuni yang sudah sejak lama beredar di Kompasiana dengan tulisannya muncul di KompasianaTV. Sebuah kebanggaan bisa melihat para penulis hebat ini langsung. Dan komentar mereka tidak jauh berbeda dengan pemikiran dan artikel yang mereka buat. Terutama menyoal politik yang semakin kalut tersandera dengan konflik KPK-Polri ini. KompasianaTV setidaknya sudah tiga kali mengangkat topik 'panas' ini. Mulai dari kisruh pengangkatan sepihak Kapolri baru 19 Januari 2015 lalu. Dan sampai tadi malam, 26 Janauri 2015 topik KompasianaTV masih berkutat sekitar konflik KPK-Polri ini. Topik yang menjadi 'honey pot' media. Tentunya, Kompasiana dan KompasianaTV terkena imbasnya.
Imbasnya bagi Kompasiana.com dan KompasianaTV tentunya, Kompasianer menjadi kiblat opini politik. Setelah publik cukup lama dan jengah dengan komentar dan opini para pengamat politik. Publik tentunya ingin mendengar warga biasa (dan tentunya cerdas), berkomentar menyoal konflik politik yang ada. Kalau diamati, artikel yang bersinggungan langsung dengan topik KPK-Polri laris manis dikunjungi. Serupa artikel ngeri-ngeri sedap masa Pilpres 2014 lalu. Banyak hits dan komentar tentunya membuat Kompasianer semakin gegap gempita. Walau sebenarnya, Kompasianer yang berkomentar di kanal politik itu-itu saja. Namun, komentar inilah yang menjadi parameter. Dengan dikomentari nyiyir dan pedas, apakah Kompasianer minder dan pilih menjadi silent comment reader. Atau malah menderu mempertahankan isi tulisannya.
Suara Kompasianer dalam KompasianaTV pun semakin keras lantang terdengar gaungnya. Seolah tulisan yang berisi pemikiran bergema mengisi fikiran publik dengan KompasianaTV. Pamor Kompasiana.com mungkin saja mengalahkan media mainstream. Seperti pembuat artikel Rumah Kaca Abraham Samad yang kini diburu polisi. Dan ada dugaan yang membuat adalah elit PDI-P. Sorotan publik pada Kompasiana.com, KompasianaTV dan tentunya Kompasianer 'mengalihkan dunia' gaya opini berpolitik. Jika mau diungkap secara lebay, opini politik warga biasa adalah opini politik utama. Seolah mensibolisasi aksiom "vox populi vox dei", the voice of people is the voice of god.
Langkah tepat mengudaranya Kompasiana plus Kompasianer plus momentum kisruh politik KPK-Polri ini memang tiada yang menduga. Namun, nama Kompasiana(ers) pun turut serta di dalamnya. Kiblat opini politik mungkin saja bergeser ke depannya. Dari para pengamat yang cenderung 'membosankan'. Kini menjadi opini warga biasa, diwakili Kompasianer. Barang tentu, opini warga biasa tidak menjamin validitas dan hand-on experience para penggiat politik, atau para politisi dan pengamat. Opini warga biasa adalah opini kejujuran dan keresahan. Jujur karena mereka mencintai Indonesia dengan cara mereka. Resah karena banyak elit dan pengamat politik malah kadang membuat publik bingung.
Walau opini warga biasa adalah apa yang mereka tahu di permukaan saja. Namun secara substantif opini inilah yang mencerminkan rasa cinta kepada Indonesia. Walau naif dan mungkin 'tidak berbobot' bagi elit dan pengamat politik. Namun yang warga opinikan tentunya bukan berisi motif partisan atau penuh kepentingan satu golongan. Sederhananya, opini warga bukan pesanan atau titipan pihak tertentu. Tentunya tidak menyangkal pula ada warga biasa yang kadang analisanya lebih tajam dan ciamik dari elit atau pengamat politik kawak. Tengok juga artikel saya Kompasianer dan Tantangannya (ke Depan).
Salam,
Solo, 27 Januari 2015