Apa yang dialami oleh Ali bukanlah fiksi, melainkan sebuah kenyataan yang belum terselesaikan.
Michelle Leighton,seorang chief dari organisasi buruh internasional atau ILO, mengatakan:
"Pekerja migran sering menghadapi ketidaksetaraan perlakuan di pasar tenaga kerja, termasuk dalam hal upah, akses ke pekerjaan dan pelatihan, kondisi kerja, jaminan sosial, dan hak serikat pekerja. Mereka memainkan peran mendasar di banyak ekonomi."
Khusunya dalam hal upah, tak jarang pekerja migran mengalami upah yang tertunda, upah yang tidak dibayar, pemutusan hubungan kerja secara paksa, pemulangan tanpa menerima tunjangan akhir masa kerja, keterlambatan akses ke keadilan mengenai upah, pemotongan gaji secara sewenang-wenang.
ILO menyebutkan bahwa pekerja migran rata-rata berpenghasilan hampir 13 persen lebih rendah daripada pekerja nasional di negara-negara berpenghasilan tinggi.Â
Kondisi ini diperparah dengan adanya pandemi Covid-19, sebagai contoh ada di Korea Selatan sendiri.
Dilansir dari The Hankyoreh, pada pertengahan April 2020, seorang pekerja Bangladesh di sebuah pabrik tekstil di Siheung, Provinsi Gyeonggi, dipaksa untuk mengatakan bahwa dirinya setuju untuk cuti tanpa bayaran di perusahaan ini karena kesulitan keuangan yang disebabkan oleh wabah virus corona. Â
Alhasil pekerja tersebut dia tidak menerima upah apa pun selama tiga bulan.
Para pekerja migran Indonesia pun juga mengalami hal yang sama.Â
Pada Mei 2021, Migrant Care melakukan survei terhadap para pekerja migran Indonesia dan diperoleh hasil bahwa 20 persen pekerja migran tidak digaji dan tidak bisa mengirimkan uang kepada keluarga. Bahkan ada yang bekerja 11 tahun dan belum digaji.
Apa penyebab para pekerja migran mengalami perlakuan demikian?