Mohon tunggu...
Giovani Yudha
Giovani Yudha Mohon Tunggu... Freelancer - Gio

Sarjana HI yang berusaha untuk tidak jadi Bundaran

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Tips dari yang Jatuh Tiga Kali: SNMPTN, SBMPTN, dan UM

31 Maret 2021   16:05 Diperbarui: 1 April 2021   01:28 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jatuh tiga kali - Sumber: Doug Mills/The New York Times nytimes.com

Belum lama ini, siswa-siswi sekolah menengah atas (SMA) maupun kejuruan (SMK) menerima informasi mengenai pengumuman SNMPTN. Tak lama juga, Kompasiana menjadikan topik tersebut sebagai topik pilihan dan sama seperti topik pilihan pada umumnya, penulis diajak untuk menuliskan cerita terkait topik yang sudah disediakan. 

Ketika SNMPTN dijadikan ToPil, saya tersanjung dengan tulisan-tulisan yang dikirimkan, mulai dari suka-duka, sukses-gagal, dan tips-tips. Bagi saya, tulisan-tulisan tersebut bukan hanya sekadar rentetan huruf tapi ada makna yang berdampak positif terhadap adik-adik kita yang berjuang meraih perguruan tinggi. 

Apa dampak positifnya?

1. Mereka tidak lagi merasa sendirian. 

2. Mereka jadi tahu masih banyak jalan yang bisa ditempuh setelah gagal di SNMPTN.

3. Mereka jadi tahu apa yang membuat gagal dan belajar dari kegagalan tersebut.

Tiga hal ini sepele tapi mampu membuat mereka menganggap bahwa gagal di SNMPTN bukanlah "akhir dari kehidupan"

Baca juga: Kenapa Gereja (Selalu) Jadi Target Bom?

Oiya, saya dan Joe Biden punya pengalaman yang mirip dalam kehidupan loh, yaitu jatuh sebanyak tiga kali. Perbedaannya terletak di balik makna jatuhnya.

Kalau Joe Biden kan jatuh saat naik pesawat kepresidenan Air Force One ketika hendak melakukan kunjungan ke Atlanta. Nah kalau saya jatuhnya karena gagal ketika di tiga seleksi perguruan tinggi negeri: SNMPTN, SBMPTN, dan Ujian Mandiri (UM). Iya benar, sama-sama memalukan diri sendiri.

Bersyukurnya sudah bekerja sekarang. Sama seperti kalian dan mayoritas pelajar SMA/SMK di Indonesia, saat itu saya menjadikan swasta adalah pilihan cadangan dan negeri pilihan pertama, tapi apa daya swasta adalah jalannya karena negeri bukan untuk saya. 

Waktu itu saya merupakan siswa dari salah satu SMA Negeri yang katanya "favorit" di Jakarta Timur. Kalau boleh jujur-jujuran, saya pengennya masuk SMA swasta yang ada di Jakarta Selatan karena dari TK sampai SMP sekolah swasta Katolik. 

Tapi saat itu kondisi perekonomian keluarga tidak mendukung, bapak jadi bapak rumah tangga, ibu jadi kepala sekolah yang gajinya underrated dan tak kunjung naik setelah puluhan tahun mengabdi, ditambah kakak saya kuliah di swasta. Jadi pilihannya ya saya mengalah dulu. Jika, banyak yang senang keterima di SMA negeri tapi tidak dengan saya karena yaaa ini bukan keinginan tapi langkah menjaga keharmonisan keluarga. 

Setelah diterima, saat itu ada tes untuk menentukan jurusan IPA/IPS dan hasil tesnya menunjukkan kalau saya cocok di jurusan IPA. 

Lagi-lagi tidak sesuai keinginan karena saya pengennya IPS. Ada sih kesempatan untuk pindah jurusan tapi melihat pergaulan dan stigma tentang "anak-anak IPS" di sekolah membuat saya pilih legowo untuk di IPA.

Awal-awal masuk, saya sempat mengalami culture dan religion shock karena ternyata sangat berbeda dengan sekolah swasta Katholik, tapi ya lama-lama bisa beradaptasi juga.

(ini ceritanya panjang, mari kita langsung fokus sesuai judul saja)

Sebenarnya, sedih sih kalau diingat-ingat lagi, tapi gapapa saya akan coba berbagi.

Ilustrasi kursi perguruan tinggi negeri - Sumber: pexels.com
Ilustrasi kursi perguruan tinggi negeri - Sumber: pexels.com

SNMPTN

Selama SMA bisa dibilang saya lumayan secara akademik maupun non-akademik. Nilai rapot saya bisa bikin orangtua senyum dan saya sempat terpilih sebagai perwakilan sekolah di OSN pelajaran Biologi dan juga aktif ikut lomba paduan suara tingkat provinsi maupun nasional. Alhasil, jerih payah saya ini berbuah tiket daftar SNMPTN. 

Mengetahui kabar ini, saya mencari sendiri informasi terkait universitas yang ingin dipilih dan juga berkonsultasi dengan wali kelas, guru BK, alumni, dan tentunya orangtua. Ternyata eh ternyata, antara hasil mencari dan konsultasi saling bertabrakkan. 

Hasil pencarian membawa saya untuk daftar perguruan tinggi negeri (PTN) di Yogyakarta sementara hasil konsultasi adalah PTN di Malang atau Depok.

Asli ini bikin bingung karena saya sudah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan PTN di Yogyakarta tapi secara peluang memang yang di Malang atau Depok lebih besar karena katanya....

Semakin banyak alumni kuliah di PTN tersebut semakin besar peluang adik tingkatnya kuliah di sana juga

Tapi saat itu hati mengalahkan otak karena saya capek hidup tidak sesuai keinginan. Tekad pun bulat, saya mengabaikan arahan konsultasi dan mengikuti arahan hati untuk daftar PTN di Yogyakarta. Orangtua pun akhirnya meng-iya-kan keinginan saya.

Hari pendaftaran tiba, tertera tiga pilihan jurusan dan universitas. Tanpa berpikir panjang, saya pun memilih jurusan-jurusan yang "berbau biologi" dan semua pilihan saya arahkan ke PTN di Yogyakarta.

Selagi menunggu, saya ikut bimbel dibiayai oleh mbah saya untuk persiapan SBMPTN, jaga-jaga kalau ngga keterima apalagi pilihan saya ini tidak disarankan. Oiya, alasan mbah mau membiayai bimbel ini karena beliau setuju kuliah di Yogyakarta dan senang kalau cucunya bisa tinggal "ngancani" mbahnya.

Tak ketinggalan nih, saya juga melakukan satu hal seperti manusia pada umumnya, yaitu mendekatkan diri pada Tuhan kalau ada maunya. Jadi selama menunggu hasil SNMPTN, saya intensif belajar dan berdoa supaya balance, hehe.

Tiba hari pengumuman dan hasil menunjukkan warna merah untuk keinginan alias tidak diterima di SNMPTN. Menyerah? Nanti dulu, masih penasaran.

SBMPTN

Ilustrasi SBMPTN - Sumber: cnnindonesia.com
Ilustrasi SBMPTN - Sumber: cnnindonesia.com
Saya pun kembali mengejar keinginan dengan mengikuti jalur SBMPTN. Pihak-pihak yang memberikan konsultasi seakan-akan bilang ke saya "tuh kan ngeyel sih" dan kembali menyarankan untuk kuliah di Malang atau Depok saja. 

Apakah pilihan saya berubah?

Tidak.

Saya lebih intensif lagi belajarnya dengan mengikuti kelas tambahan bimbel dan suka nebeng ke kelas lainnya kalau ada pelajaran yang masih belum paham. 

Titik kelemahan saya saat itu adalah pelajaran Fisika dan Matematika karena sulit sekali memahami angka dan segala macam rumusnya itu. Selain meningkatkan intensitas belajar, saya juga meningkatkan intensitas berdoanya lagi-lagi supaya balance.

Saat pendaftaran dibuka, kali ini saya mencoba suatu tindakan yang "katanya" memperbesar peluang diterima. Tindakan tersebut adalah

Memilih lokasi test yang satu domisili dengan pilihan universitas. Terlihat mitos, tapi apa salahnya mencoba.

Mendekati hari SBMPTN, pergilah saya ke Yogyakarta dan diajak oleh kakak untuk menilik dari dekat kampus impian beserta tempat-tempat tongkrongan sekitarnya. Kakak saya juga menunjukkan rekomendasi "kos-kosan" (kalau) saya sudah resmi menjadi mahasiswa di sana. 

Indah rasanya bermimpi, bukan?

Tak ketinggalan, saya juga intensif berdoa dengan berkunjung ke tempat wisata rohani sekaligus ke makam untuk minta restu dari almarhum-almarhumah. Keduanya ini dilakukan karena "katanya" dapat meningkatkan keberhasilan.

Hari SBMPTN tiba, persiapan dari aspek ilmu dan rohani sudah matang, termasuk jasmani juga karena sebelum test saya sarapan di warmindo.

Tampak meyakinkan persiapan saya dan saat mengerjakan pun saya tidak mengalami hambatan yang berarti. Tapi lagi-lagi diumumkan...

Saya tidak diterima. Menyerah? Hampir, tapi coba dulu deh jalur terakhir.

Ujian Mandiri (UM)

Ilustrasi Ujian Mandiri - Sumber: IDNTimes.com
Ilustrasi Ujian Mandiri - Sumber: IDNTimes.com
Capek kan lihat cerita kegagalan saya? Apalagi saya yang merasakan.

Di titik ini saya dengan yakinnya berpikir "ayo coba lagi siapa tahu hoki" sambil muka-muka desperate belum dapat kuliah. Saya juga memiliki pemikiran bodoh seperti ini sebagai pendukung keyakinan saya:

"Pesaingnya kan udah berkurang, peluang keterima besar nih" Bodoh kan?

Saya benar-benar kehilangan akal sehat demi tercapainya keinginan. Orangtua tetap mendukung tapi saya yakin dalam hatinya "wes sakarepmu" 

Saya pun persiapkan dengan baik lagi, mulai dari belajar sampai coba-coba cari soal UM tahun lalu biar tau polanya seperti apa sampai berdoa intensif lagi dan hasilnya tetap sama.

Tidak diterima. Tetelestai (Sudah Selesai)

Epilog

Begitulah cerita perjalanan saya jatuh sebanyak tiga kali dan sebagai orang yang gagal, saya akan membagikan tips-tips apa yang harus dipersiapkan selama masa tiga seleksi tersebut (jarang-jarang kan orang gagal tapi bagi tips):

1. Jangan jadi orang yang "tidak tahu kalau dia tidak tahu", 

Artinya kalian jangan sampai ngga tau apa-apa dan parahnya kalian ngga tau kalau ngga tau apa-apa. Carilah informasi terkait tiga hal tersebut jangan cuman jadwal buka-tutup pendaftaran, lokasi tes, dan persyaratan. 

Kalian harus menganggap bahwa tiga seleksi ini sebagai permainan/game strategi di mana kalian antusias mencari informasi-informasi tentang cara, pola, dan strategi untuk menang. Poin-poin ini yang menurut saya kalian harus tau:

a. Kelemahan dan kelebihan diri kalian di pelajaran apa, ini supaya bisa tahu mana yang harus dimaksimalkan dan harus diperbaiki plus strategi yang digunakan saat menjawab soal.

b. Tipe-tipe soal yang sudah atau akan keluar di ujian dan coba dikerjakan

c. Kenali lebih dalam terkait universitas dan program studi yang kamu pilih

Sekarang sumber pembelajaran banyak kok, baik yang konvensional maupun modern. Jadi, bisa lah ya

2. Belajar terima kegagalan

Seringkali kita fokus pada mental pantang menyerah dibandingkan menerima kegagalan. Padahal kalau menurut saya, siap menerima kegagalan itu penting banget. 

Dengan menerima kegagalan, kita jadi lebih bijak dalam mengambil keputusan antara "mana yang bisa diperjuangkan" dan "mana yang tidak bisa" sehingga membuat kita lebih menjadi manusia yang rasional. 

Orang-orang yang ngga bisa menerima kegagalan itu dampaknya fatal loh, salah satunya bunuh diri dan bertindak di luar akal sehat. Kasusnya tidak sedikit, bisa kalian klik di sini (1), (2), (3).

Masalah menerima kegagalan ini emang sulit diselesaikan karena ada beberapa faktor yang menekan sehingga sulit untuk menerimanya:

a. Faktor Orangtua dan Diri Sendiri: Ada orangtua dan kalian yang pengen masuk PTN karena permasalahan ekonomi dan ada juga yang demi prestige alias biar lebih terpandang dibandingkan keluarga, tetangga, atau teman lainnya.

b. Faktor Perguruan Tinggi: Swasta mahal-mahal (PTN sebenarnya hampir kayak swasta juga lama-lama biayanya)

c. Faktor Dunia Kerja: Beberapa perusahaan yang masih menggunakan "reputable university" yang bermakna PTN dalam proses lamaran kerja untuk calon pegawai/karyawannya. 

Kalau motivasi saya ikut PTN memang saat itu adalah ekonomi karena kakak waktu itu juga masih kuliah, kalau prestige ngga sih, keterima di PTN juga ngga akan membuat story dan feed Instagram saya jadi banyak. 

3. Jadi rasional, jangan hilang akal

Kalau memang masih mampu berjuang ya monggo tapi jangan sampai itu merusak kesehatan diri kalian sendiri baik secara mental maupun fisik. Gagal tidak sepenuhnya gagal kok, dari gagal itu secara tidak sadar kualitas diri kalian meningkat. 

Bagi saya, proses bisa mengkhianati hasil tapi tidak ada proses yang sia-sia untuk kehidupan kalian. 

4. Jangan paksa rencana Tuhan ikutin rencana kamu

Ini yang seringkali terjadi, padahal udah rajin berdoa atau ibadah tapi ngga dikabulkan oleh Tuhan. Abis itu, ketika gagal kalian marah-marah ke Tuhan dan bertanya-tanya kepada doanya tidak dikabulkan. Padahal bisa jadi ada rencana Tuhan yang lebih baik dan tidak kamu duga-duga sebelumnya atau tidak sesuai dengan rencana kamu.

“Intelligence is a very valuable thing. And usually, it comes far too late.” - Alfie Solomons, Peaky Blinders

Baca juga Tips Menjadi Pemimpin Ideal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun