Masih hangat berita tentang Presiden Republik Indonesia Joko Widodo yang menggaungkan benci produk asing secara terbuka. Betul, upaya meningkatkan brand produk dalam negeri memang perlu dilakukan karena kita tahu mereka menopang perekonomian negara dan beberapa kali melakukan "penyelamatan gemilang" dari krisis.
Tapi, penggunaan kalimat "benci produk asing" itu adalah sebuah kesalahan fatal dan perlu dikoreksi lagi untuk kedepannya. Apalagi, beliau adalah (suka-tidak suka) representasi negara nomor satu yang setiap ucapan akan menjadi sebuah kebijakan.
Saya sepakat dengan perkataan dari Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio yang dilansir dari Kompas, bahwa perkataan Jokowi tersebut bisa membahayakan hubungan Indonesia dengan negara tetangga. Tapi, bagi saya ngga cuma itu aja.
Perkataan Jokowi dan jiwa nasionalismenya itu juga bisa membuat penanganan Covid-19 ini ngga selesai-selesai.
Kok bisa?
Sebentar, kembali kita ulas sedikit tentang apa itu nasionalisme.
Nasionalisme punya banyak definisi dan kita pun juga punya definisinya sendiri yang (mungkin) tergambarkan pada pendapatnya Friedrich Hertz dalam bukunya "Nationality in History and Politics". Beliau menggambarkan nasionalisme ke dalam empat hal, antara lain:
- Keinginan untuk mencapai kesatuan nasional yang terdiri dari kesatuan sosial, politik, ekonomi, agama, kebudayaan, komunikasi, dan solidaritas.
- Keinginan untuk mencapai kemerdekaan dan kebebasan nasional sepenuhnya, artinya bebas dari campur tangan asing atau dominasi dari negara lain di dalam negaranya.
- Keinginan untuk negaranya bisa mandiri, unggul, dan punya ciri khas yang menonjol.
- Keinginan untuk ingin lebih unggul dibandingkan negara lain untuk prestise dan kehormatan.
Loh ini definisinya bagus-bagus, terus bahayanya dimana?
Bahayanya ada di dalam pepatah “semua yang berlebihan itu tidak baik” (kalau berlebihan uang baik ngga ya?)
Ilustrasi Vaksin Covid-19 - Sumber: Pexels.com
Vaksin adalah kunci
Indonesia saat ini menerima banyak vaksin. Kita harus apresiasi kesigapan Menteri Luar Negeri Ibu Retno Marsudi dalam melakukan "safari vaksin" sehingga banyak perusahaan dari berbagai negara bersedia memenuhi kebutuhan vaksin Indonesia.
Lalu "entah apa yang dipikirkan" muncul sebuah pernyataan benci produk asing yang dikemukakan oleh orang nomor satu di Indonesia hingga beberapa duta besar mempertanyakan maksud dari pernyataan tersebut
Saya khawatir pernyataan nasionalis beliau ini akan menjadi "mulutmu harimaumu dan harimau untuk masyarakat"
Saya khawatir nasionalisme membuat program vaksinasi terhambat:
1. Dikhawatirkan akan lahir kelompok anti-vaksin yang didorong oleh motif anti produk-asing dan memilih untuk menunggu vaksin milik Indonesia karya Bio Farma. Padahal, vaksinasi ini adalah tindakan yang genting-penting dan harus segera dilaksanakan untuk mencapai herd immunity atau kekebalan imun sebanyak 70 persen penduduk. Kecintaan masyarakat Indonesia terhadap negaranya sudah tidak perlu diragukan lagi tapi saya khawatir kecintaan akan memakan banyak korban kalau dibawa ke arah benci produk asing. Ditambah, masyarakat Indonesia sangat sigap dengan namanya aksi boikot produk asing dan sensitif dengan isu impor.
2. Dikhawatirkan banyak negara yang belum mendapatkan vaksin, khususnya negara-negara yang mengalami keterbelakangan secara ekonomi. Saya berharap pemerintah dan masyarakat "tidak rakus" dalam menggunakan vaksin. Ini yang disebut nasionalisme vaksin, artinya negara akan stok sebanyak-banyaknya vaksin untuk kebutuhan warga negaranya, padahal masih banyak negara yang membutuhkan. Kalau negara lain tidak mampu mencapai herd immunity, dampaknya ya pandemi ini ngga kelar-kelar dan bisa jadi berjilid-jilid juga di Indonesia. Apalagi sekarang varian vaksin bertambah, seperti N438K dan B117 yang lebih cepat menular.
Pesan-pesan
Percaya deh, saat ini ngga ada negara yang sepenuhnya memakai produk dalam negeri dan tidak ada produk asing.
Ada kok, Korea Utara.
Petinggi Korea Utara TVnya impor dari Tiongkok. Tidak bisa dipungkiri, kita saat ini masuk ke dunia yang saling-terkoneksi, begitupun juga dengan negara. Meskipun ada negara yang terlihat tertutup, nyatanya ya melakukan aktivitas impor-ekspor juga.
Kalaupun ingin tetap mempertahankan nasionalismenya, lebih baik jangan dipakai untuk membenci produk asing tapi dipakai untuk memenuhi kebutuhan dan keselamatan masyarakat.
Di masa pandemi Covid-19 ini hendaknya tunda dulu keinginan untuk menjadi lebih unggul, lebih baik kita status quo dulu dan bisa bertahan hidup
Seperti kata Ketua WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus:
"Prioritas pertama haruslah memvaksinasi beberapa orang di semua negara, daripada semua orang di beberapa negara"
Kalau kata saya, Giovani Yudha:
"Pakai vaksin untuk sesuai kebutuhan bukan untuk keinginan"
"Nasionalisme bagus kalau porsi dan penempatannya pas"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H