Kekuatan Hukum Perjanjian Kawin yang dibuat Anak yang Belum Dewasa Sebelum Menikah
Â
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di dalamm praktik, sebelum melangsungkan perkawinan, sering sekali ditemui pasangan membuat perjanjian kawin terlebih dahulu. Namun, bagaimana apabila perjanjian tersebut dibuat oleh anak di bawah umur?
Perjanjian Kawin adalah perjanjian antara pasangan suami istri yang mengatur tentang hal-hal yang ingin diperjanjikan, sebagai contoh yaitu perjanjian yang mengatur mengenai pemisahan harta.
Adapun ketentuan batas usia untuk melangsungkan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan di dalam Pasal 47 ayat (1) "Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya". Sementara di dalam Pasal 330 Kitab UUH Perdata menyatakan: "Seseorang dianggap sudah dewasa jika sudah berusia 21 tahun atau sudah sudah menikah." Pasal tersebut mengharuskan bahwa seseorang dinyatakan cakap dalam melakukan perbuatan hukum harus terlebih dahulu berusia 21 tahun atau sudah menikah dan di dalam Kompilasi Hukum Islam, batas usia sekurang-kurangnya 19 tahun untuk laki- laki dan 16 tahun untuk perempuan untuk dapat melangsungkan perkawinan.
Apabila membahas masalah harta dalam perkawinan, maka pada dasarnya harta yang didapat selama perkawinan menjadi harta bersama. Dalam Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa:
- Kekayaan masing-masing yang dibawanya ke dalam perkawinan itu dicampur menjadi satu.
- Persatuan atau pencampuran harta itu sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan dengan suatu persetujuan antara suami-istri. Harta persatuan itu menjadi kekayaan bersama dan apabila terjadi perceraian, maka harta kekayaan bersama itu harus dibagi dua, sehingga masing-masing mendapat separuh.
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan juga membahas mengenai harta perkawinan, yang menyebutkan bahwa:
- Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
- Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Perjanjian perkawinan atau yang sering disebut perjanjian pra nikah adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh calon suami atau istri secara otentik dihadapan notaris yang menyatakan bahwa mereka telah saling setuju dan mufakat untuk membuat pemisahan atas harta benda mereka masing-masing dalam perkawinan, dengan ditandatanganinya perjanjian pra nikah tersebut, maka semua harta mereka, baik harta yang mereka bawa sebelum menikah, maupun harta yang diperoleh setelah menikah, akan tetap menjadi milik masing-masing. Demikian juga halnya dengan hutang dari masing-masing pihak, akan tetap menjadi tanggung jawab dari pihak yang memiliki hutang tersebut.
Merujuk pada Pasal 29 ayat (1) yang menyebutkan bahwa perjanjian pra nikah harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan, pada umumya seorang yang belum dewasa (minderjaring), apabila hendak melakukan suatu perbuatan hukum harus diwakili oleh orang tua atau walinya.
Menurut pendapat J. Satrio, seorang yang belum dewasa dianggap cakap untuk membuat perjanjian perkawinan dengan syarat:
- Telah memenuhi syarat untuk melakukan perkawinan.
- Harus dibuat dengan bantuan (bijstand), atau didampingi oleh orang yang berwenang untuk memberikan izin kawin.
- Dalam hal perkawinan memerlukan izin hakim, maka konsep perjanjian perkawinan harus mendapat persetujuan pengadilan.
Begitu juga dengan aturan yang terdapat di dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan "Suatu perjanjian dikatakan sah apabila perjanjian tersebut telah memenuhi syarat sah nya suatu perjanjian, yakni kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal", sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.