Latar Belakang
Kota Yogyakarta merupakan ibukota Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), telah menjadi tujuan wisata yang sangat diminati para wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Seiring dengan perkembangan zaman, maka kota ini pun berkembang dengan berbasis pariwisata yang berlandaskan kebudayaan yang sangat kental dan khas. Pariwisata andalan dari kota ini berpusat di sepanjang Jalan Malioboro. Kawasan Jalan Malioboro merupakan tujuan utama wisata di kota ini yang menjadi pusat ketertarikan tersendiri, kawasan ini merupakan landmark Kota Yogyakarta yang tidak pernah sepi oleh wisatawan. Selain itu, Malioboro merupakan kawasan dengan nilai ekonomis yang menjadi tumpuan dalam menghidupi banyak masyarakat. Tak luput juga kawasan parkir di sekitar Jalan Malioboro tersebut.
Tempat parkir merupakan salah satu sarana penting pada suatu pusat perbelanjaan, perkantoran, penjual, dan juga menjadi sarana yang diberikan oleh pemda demi memenuhi kebutuhan dari masyarakat serta wisatawan. Tanggal 4 April 2016 lalu, mulai diadakannya kawasan pedestrian di Malioboro dan relokasi parkir, keputusan relokasi parkir Malioboro ke Taman Parkir Abu Bakar Ali terkesan terburu-buru. Dampak yang akan dirasakan para juru parkir Malioboro mampu diprediksi dengan mudah, sarana parkir yang baru dirasa merugikan bagi sebagian oknum di kawasan Malioboro seperti para pedagang kaki lima, juru parkir maupun wisatawan luar daerah. Pro dan kontra makin mewarnai perkara relokasi parkir Malioboro. Berbagai pihak memperdebatkan masalah tersebut.
Tua dan muda ikut menanggapi problematika tersebut. Lahan parkir Abu Bakar Ali dianggap kurang efektif, berdasarkan akses parkir yang sulit dan membingungkan. Serta adanya keluhan dari pedagang paruh baya di kawasan Malioboro mendapati kesulitan jauhnya area parkir dan aksesnya yang menanjak. Dengan adanya fakta nyata sekarang yang merelokasi area parkir menjadikan juru parkir kehilangan setengah dari pendapatannya, dikarenakan kurangnya minat pengguna jasa parkir untuk menggunakan area parkir yang baru dan relatif jauh aksesnya. Dalam buku Dasar-dasar Rekayasa Transportasi, Khisty dan Lall (2005), mengatakan ,“Sebagai salah satu kegiatan kota yang rumit, parkir memperebutkan ruang parkir, baik parkir di badan jalan maupun di luar badan jalan. Idealnya, seorang pengguna kendaraan bermotor ingin mendapatkan parkir persis di depan tempat yang dituju, untuk menghindari yang bersangkutan berjalan kaki.” Kesenjangan ini akses ini pun bisa mengurangi minat wisatawan jika tidak disikapi dengan benar.
Pembahasan
Kawasan parkir di jalan Malioboro sendiri telah dilegalkan menurut Perda No. 18 tahun 2009 tentang penyelenggaraan perparkiran yang berlaku di pemda, dan sarana parkir ini selain menjadi bentuk interaksi sosial juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar, karena pemda memberikan kebebasan akan sistem yang berlaku di sarana parkir. Dalam hal ini Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melakukan pengaturan lebih konkrit terkait parkir sekitar Jalan Malioboro, Perda No. 19 tahun 2009 tentang Retribusi Pelayanan Parkir. Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah DIY, ini tentunya telah direncanakan dengan memikirkan dan mempertimbangan segala sesuatu yang akan terjadi dikemudian hari.
Negara Indonesia yang berdasarkan hukum, yang tercantum pada Undang-Undang Dasar 1945 pada ketentuan pasal 1 ayat (3). Dasar inilah yang harus dipatuhi oleh suatu kenegaraan, terlebih lagi Negara Indonesia yang memandatkan penyelenggaraan pemerintahan atas Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah berdasarkan Asas Desentralisasi. Asas desentralisasi merupakan asas yang dianut didalam penyelenggaraan otonomi daerah. Tentunya peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah harus berkeadilan, berkemanfaatan, dan berkepastian. Pada dasarnya dengan dikeluarkan peraturan terkait kawasan perpakiran Malioboro ini akan menimbulkan berbagai dampak pada berbagai kalangan masyarakat.
Suatu kawasan parkir adalah kebutuhan umum yangmendasar bagi para pengguna transportasi pribadi. Seperti yang disampaikan olehMenurut Hobbs (1995), “penyediaan tempat-tempat parkir menjadi bagian yangtidak bisa dipisahkan dalam perencanaan transportasi. Karena lalu lintas menujusuatu tempat tujuan dan setelah mencapai tempat tersebut kendaraan harus diparkir,sementara pengendaranya melakukan berbagai urusan, misalnya keperluan pribadi,keperluan umum, rekreasi, dan sebagainya.Peraturan Daerah ini diikuti dengan realisasi pembangunan lahan parkir yang baru di Jalan Abu Bakar Ali. Pemerintah DIY yang tentunya ingin mewujudkan keteraturan di sekitar tepi jalan malioboro hanya ingin menciptakan tata kota yang rapi di sekitar malioboro, yang tentu saja para jukir diharapkan dapat bekerja seperti biasa dengan perpindahan ini. Namun pelaksanaan dan realisasi ini memang terjadi pro dan kontra, termasuk dalam penulisan dan pengamatan dari penulis sendiri.
Dari data yang tercatat, terdapat 150 Jukir yang menggantungkan hidupnya di kawasan parkir Jalan Malioboro. Harapan dari juru parkir seandainya rencana tersebut akan diimplementasikan Pemerintah Kota Jogjakarta adalah adanya ruang bagi juru parkir untuk terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan penataan kawasan parkir baik secara personal dengan juru parkir maupun secara kelembagaan dengan paguyuban. Mengingat inilah substansi dari pembangunan yang semestinya menempatkan juru parkir tidak saja sebagai objek namun juga subjek yang turut menentukan. Pada tahap berikutnya, lokasi relokasi yang memiliki nilai ekonomis sama dengan kawasan Malioboro, sosialisasi lebih dini adalah harapan yang dikemukakan untuk dijadikan pijakan kebijakan. (Kelompok Peduli Juru Parkir (Pokduljukir) Kota Yogyakarta)
Atas hasil pembahasan tersebut ada sejumlah hal yang mutlak dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta terkait rencana penataan kawasan parkir Malioboro :
1. Memperjelas konteks penataan tata kota yang lebih bersih.
2. Sosialisasi alasan penataan kawasan parkir.
3. Diperlukan adanya keterlibatan Juru Parkir maupun paguyuban dalam proses perencanaan pelaksanaan.
4. Variasi Pendekataan kepada Juru Parkir sesuai dengan sikap yang muncul terhadap rencana Relokasi.
5. Mencari lokasi Relokasi kawasan Parkir dengan nilai ekonomis dan sebanding.
6. Komunikasi yang lebih intensif dengan paguyuban Juru Parkir.
Kesimpulan
Permasalahan di sekitar Malioboro ini tak hanya dihadapi oleh juru parkir saja, tetapi juga berdampak terhadap berbagai kalangan masyarakat, seperti pedagang kaki lima, para pejalan kaki, dan lain-lain terkait penghidupan banyak orang. Memang dalam kenyataan secara peraturan dan kenyataan yang terjadi pada masyarakat selalu terjadi benturan, yang memang dalam permasalahan parkir malioboro ini harusnya melibatkan berbagai pihak terkait, salah satunya adalah aspirasi dari kalangan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada kawasan Jalan Malioboro. Niat baik Pemerintah Yogyakarta memang seharusnya mendapat apresiasi.
Karena relokasi parkir merupakan salah satu bentuk pengelolaan pariwisata Kota Budaya tersebut. Namun, perdebatan mengenai kesejahteraan para juru parkir belum menemukan titik terang. Tidak dapat dipungkiri, lahan parkir di sepanjang Malioboro telah menjadi gudang nafkah bagi para juru parkir. Kelanjutan masa depan para juru parkir masih dipertaruhkan. Pengurangan tenaga kerja pasti akan terjadi. Sedangkan pemerintah belum juga menemukan solusi yang pas untuk para juru parkir.