Mohon tunggu...
Gina M C Tyas
Gina M C Tyas Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis konten filantropi

Belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rambu

18 Februari 2014   18:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:42 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Masih..”

“Masih?”

“Ternyata masih..”

“Hm?”

Supardjo masih memandang keluar melalui jendela, lalu mematikan putung di tangannya yang tinggal seukuran dua ruas jari manis sebelum lanjut bicara.

“Masih akan terjadi, awan panas dan beberapa gempa susulan”

“Bagaimana Bapak tahu?”

“Membaca,”

“Hm?”

Kali ini Bagyo benar-benar heran, ia tak memahami perkataan mertuanya itu. “Sudah sampai di mana perjuanganmu?”

“Perjuangan Pak?”

“Ya, per-ju-ang-an” Supardjo menekan setiap potongan kata.

“Hahaha, kampanye maksud Bapak? Ya begitulah Pak, beberapa desa sudah saya datangi, sumbangan ke masjid-masjid, sedikit bantuan ke warung makan pinggir jalan,”

Tak ada suara yang mengisi udara, hening beberapa detik sejak kalimat terakhir yang Bagyo lontarkan.

“Ngomong-ngomong, apa maksud Bapak membaca?”

“Karena Dia telah menuliskan takdir. Setiap kejadian di muka bumi ini punya tanda, rambu-rambu.   Tapi sebagian orang kurang peka atau enggan memperhatikan.”

“Bapak belajar dari mana ilmu itu?” Bagyo masih -heran dengan arah pembicaraan mertuanya. Hampir sepuluh tahun ia mempersunting anak perempuan lelaki itu, tapi karakter Supardjo yang dingin belum mampu ia pelajari.

“Ilmu? Aku iki wong ndeso, sekolahku ndak tinggi.. O.. atau maksudmu aku berguru terhadap sesuatu? Pernahkah kaumelihatku mandi dengan  kembang tujuh rupa di bawah bulan purnama? Atau pergi ke puncak gunung untuk bertapa?”

Tersungging senyum enggan di wajah Supardjo, sesaat setelah memandang wajah menantunya itu ia mengambil pigura foto mendiang istrinya yang tergeletak di meja. Pingiran kayunya agak rusak, seperti terbakar, semua kacanya tertutup debu. Sebenarnya bukan hanya kaca pigura itu. Semua ruangan di rumah itu, semua rumah di desa itu tertututup debu.

Sepuluh hari lalu awan panas sempat melanda desa tempat keluar Supardjo tinggal. Walau desa mereka bukanlah yang paling menderita. Tidak ada rumah yang rusak parah. Hanya debu, lebih tepatnya abu setebal lima senti menyelimuti hampir setiap bagian rumah di desa tersebut, Kawahmati, sembilan kilo meter dari puncak Ijen.

Supardjo masih memandangi pigura di tangannya, sesekali ia meniup kaca pigura tersebut. Mengusir debu-debu yang enggan pergi.

Dua belas hari, dan aku meninggalkanmu begitu saja... gumammnya dalam hati pada pigura itu.

Awalnya Supardjo dan Bagyo hanya ingin mengetahui keadaan rumah setelah dua belas hari di tinggal. Sebenarnya Badan Meteorologi dan Geofisika setempat belum mengizinkan warganya kembali ke rumah, bukan hanya Supardjo dan Bagyo yang nekat “menengok” rumah mereka, beberapa penduduk di desa itu pun demikian.

“Tak ada guru terbaik selain alam” datar, singkat dan mengambang. Ia menoleh ke luar jendela, keelokan Ijen masih menggoda, sedikit lebih centil karena berkerudung segumpal wedhus gembel.

Bagyo mengernyitkan dahi. Semakin menjadi  bingung di kepalanya. “Menurut Bapak, kira-kira sampai kapan bencana ini akan terus berlanjut?”

“Bencana? Ini pesta nduk.. gunung meletus, gempa bumi, longsor, banjir.. semua ini pesta. Hikhikhik” tawa Supardjo tersendat, terhalang nikotin yang menumpuk di dadanya, nyaris terdengar seperti penyedot debu yang rongsok.

“Apa membaca yang bapak maksud adalah membaca masa depan?”

“Apa kamu percaya ramalan?”

“Sebenarnya tidak” nampaknya Bagyo ragu-ragu menjawab pertanyaan itu.

“Ya memang, sebagian orang terkadang salah menafsirkan. Istilah ini sudah dinodai oleh orang-orang nakal yang hanya ingin meraih keuntungan. Semua orang punya persepsi yang berbeda-beda, terserah mereka mau mengarahkannya kemana. Ramalan memang mungkin tidak ada, tapi bagaimana menurutmu dengan membaca?”

“Membaca? Membaca yang bagaimana maksud Bapak?”

Supardjo menarik napas sebelum lanjut bicara, “Setiap yang hidup di muka bumi ini sudah dituliskan garis takdirnya, garis itu tidak pernah lurus, terlalu banyak persimpangan, dan kita harus memutuskan memilih persimpangan yang mana. Setiap garis punya hubungan dengan garis-garis lain. Jadi, seharusnya kita tahu dan peka, mana garis yang telah kita pilih dan mana ujungnya.”

“Lalu bagaimana dengan takdir?”

“Tsakdir sebenarnya adalah bagian dari garis yang kita pilih. Jika ada tiga garis di hadapanmu, maka setiap garis kehidupan punya jalan cerita yang berbeda jika kamu memilih garis pertama, maka apapun yang terjadi adalah sebuah keputusan. Semuanya telah disediakan olehNya, kita hanya tinggal memilih.”

“Jadi menurut Bsapak, apakah saya akan berhasil menjadi anggota legislatif nanti?”

Supardjo tertawa sebentar lalu terdiam. Ia meletakkan pigura bergambar istrinya ke meja.

“Menurut mu?”

Bagyo menggeleng, “Aku tidak tahu..”

“Karena kau tak bisa merasakannya, tak bisa membaca!” Supardjo agak ketus.

“Kau masih belum mengerti juga Bagyo? Sudah aku bilang, dalam hidup ini sudah digariskan. Kita bukan bermain ular tangga, bahwa nasib bergantung pada angka dadu. Hidup ini sudah jelas, sangat jelas. Petunjuknya terpampang, jalannya sudah ditunjukan. Takkan ada manusia yang tersesat, hanya mereka yang terkadang membuat ribet diri mereka sendiri, membingungkan diri mereka sendiri.

Setiap yang akan terjadi pada diri kita pasti akan ada tandanya, peringatan, rambu-rambu. Apa yang terjadi pada dirimu sebenarnya kau yang tahu. Walau.. terkadang sebagian kecil orang juga bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain. Namanya firasat. Jiwamu sudah menyadarinya lebih dulu dari pada pikiranmu. Itulah hidup, terkesan jelimet.”

Bagyo semakin pusing mendengar ceramah bapak mertuanya itu. Tapi seketika ada rasa yang tak dapat ia hindari. Ia tak yakin dengan dirinya, ia punya firasat bahwa ia tak akan terpilih menjadi anggota legislatif.

Ah tidak-tidak.. ia mencoba membuang pikiran negatif itu.

“Pak, bukankah itu bentuk pesimistis? Dan bukannya kita harus berprasangka positif erhadap Tuhan? Karena, katanya kehendak Tuhan sesuai prasangka hambanya,”

“Bedakan antara pesimistis dengan firasat. Jiwa itu jujur Bagyo, dia tahu seutuhnya bagian dari ragamu. Pesimis adalah bentuk akal-akalan akalmu.”

Bagyo merenungkan perkataan itu.

“Tadi apa katamu? Tuhan berkehendak sesuai prasangka hambanya? Iya itu benar. Tapi Tuhan manakah yang kaumaksud? Uangmu kah yang kau tuhankan? Atau perasaan-perasaan orang-orang yang kau beri sumbangan yang kautuhankan?

Terkadang konsep Tuhan seakan tidak jelas di mulut manusia. Ah tidak-tidak.. memang seharusnya Tuhan tak dikonsepkan. Biarkan Dia menjadi zat yang tunggal tanpa tersentuh. Aku tak yakin bahwa Tuhan yang kaumaksud adalah Tuhan yang sebenarnya, karena selama ini yang kau andalkan hanya uang dan perasaan manusia. Kau mengambil simpati orang-orang dengan uang yang kaupunya. Berharap mereka memilihmu nanti.”

Bagyo merasa dipukul oleh ucapan mertuanya yang kedengaran semakin melantur. “Kau terlalu ambil pusing Bagyo, apakah kau akan balik modal atau tidak, seharusnya nikmati dulu pesta pembuka ini..”

“Lagi-lagi pesta, aku tak paham Pak? Pesta yang mana?”

“Apa kau menganggap bahwa menjadi pemimpin itu sebuah profesi? Atau sebuah sistem dagang yang bisa kauambil untung dan hitung-hitung ruginya? Apa soal gengsi dan sok adu intelektualitas? Berapa uang yang akan kamu keluarkan untuk membeli sebuah jabatan? Satu? Sepuluh? Ada dua lima milyar?

Apa kau tidak merasa Bagyo, bahwa fenomena-fenomena yang kau anggap bencana ini sebenarnya adalah pesta, pesta pembuka sebelum pesta yang sebenarnya akan digelar. Gunung meletus, banjir, longsor, gempa bumi sebenarnya adalah pesta. Pesta pembuka dari alam untuk  menyambut pemimpin baru. Sebenarnya mereka ingin berbicara, tapi seperti yang aku bilang tadi, jarang manusia yang peka. Termasuk kau Bagyo. Jarang pemimpin-pemimpin itu yang peka. Katanya republik ini demokrasi, sadarkah kau Bagyo bahwa tidak hanya penduduknya yang ingin menyuarakan pendapat.

Alam di republik ini pun ingin bersuara, sanggupkah para orang-orang yang mencalonkan diri sebagai penguasa menyelesaikan ini semua? Sanggupkah mereka menjawab tantangan bahwa ada satu peristitiwa yang bukan bersumber dari manusia? Sanggupkah mereka menjawab tantangan Tuhan? Aku tahu ini bukan soal pemilihan nabi baru, ini cuma sebuah perjalanan sederhana pembuktian seberapa jauhkah manusia-manusia mempertanggungjawabkan garis-garis kehidupan yang telah mereka pilih untuk menjadi seorang pemimpin, Dia mungkin masih sayang dengan bangsa ini karena setidaknya memberikan peringatan kepada para calon-calon yang akan menjalankan kekuasaan lewat beberapa peristiwa bencana alam.

Sudah, jangan diambil pusing, nanti copot kepalamu. Ambil saja hikmahnya dari semua pesta ini. Setelah gunung meletus alam ini jadi kaya, lebih subur, pasir dan bebatuan yang dimuntahkan bisa dimanfaatkan. Setelah banjir, gempa bumi dan longsor pun akan ada hikmahnya, pintar-pintar kita membaca semua rambu dariNya.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun