Ketika datang masanya umat manusia mulai menapak memasuki abad fitan, maka tak ada lagi nilai-nilai virtue dalam sikap dan perilaku. Tak jelas lagi beda antara makna kata benar-salah; berani-takut; kehormatan (mendapat hormat)-kemaluan (mendapat malu); pahlawan-pengkhianat; percaya-dusta; realita-visual/citra, dst-dstnya.
Abad fitan, berarti manusia berada dalam abad yang sangat dipenuhi karut marut perkataan dan perbuatan penodaan merugikan, karena tidak memberi manfaat bagi kemajuan dan kemuliaan hidup manusiawi. Manusia, terutama elite penguasa saling menjelekkan, menelanjangi dan tidak menghargai kehormatan diri sendiri dengan menafikan bahkan menyerang martabat dan kehormatan lawan atau orang lain antara sesamanya.
Contoh konkrit dipertontonkan secara kasat mata saling silang awut awutan benar-salah versi masing-masing di newsTV. Misal, antar elite partai penguasa PD Â versus MN, dan kini cukup menarik versi Ketua MK vs mantan hakim MK setelah sebelumnya awut awutan benar-salah versi Sekjen MK vs MN dan BC-KPK vs Polri. Ada juga acara dengar pendapat dengan dewan yang menyatakan diri terhormat tapi tak jarang berlaku tak terhormat kepada diri sendiri dengan sikap-perkataan melecehkan akal sehat konstituen, rakyat dan pemirsa newsTV. Hasilnya yang nyata adalah; Â kalah jadi arang, menang jadi abu. Rakyat tinggal bengong jadi saksi mata, bosan dan lalu bersikap apatis. Hilang pula kepercayaan kepada elite penguasa. Kok iyaya teganya, selalu rakyat jadi korban. Padahal tanpa ada kepercayaan-trust dari rakyat sesungguhnya sudah tak ada makna pemimpin dimata rakyat.
Fitan adalah jamak dari kata fitnah yang telah merasuk dalam aliran darah menjadi daging, otak, pikiran, sikap dan perilaku sehari-hari manusia. Menjadi kebiasaan yang merusak moral dan mental manusia sehingga kehilangan nilai-nilai virtue, keunggulan moral, kebenaran, kebajikan, kejujuran, keikhlasan dan kemuliaan. Cilakanya kebiasaan hidup tanpa nilai virtue itu, tanpa sadar atau mungkin dengan penuh kesadaran oleh predatory global elite, dipaksa untuk diwariskan kepada generasi penerus. Generasi gaduh dan rapuh yang terus berupaya tetap kreatif dan produktif meraih masa depan secara radikal, parsial,  atau pasif bahkan apatis. Contoh teladan para pendahulu, -elite penguasa kini-, lebih banyak berbentuk tingkah laku yang tak layak mereka tiru.
Abad fitan muncul karena dipicu oleh semangat westernisasi era modernisasi dan globalisasi salah kaprah.  Kini pasca reformasi, semua umat manusia Indonesia mendewa-dewakan dan bermimpi hidup berkelimpahan materi tak peduli halal-haram lagi. Hidup bermewah-mewah, hedonis dan berlomba-lomba konsumtif pamer kuasa jabatan dan uang. Tak soal dari mana asal muasal perolehan materi; apakah hasil korupsi, dagang murni atau dagang hati nurani, jual jasa sebagai ahli atau jual diri, yang penting terus menerus mengakumulasi materi. Menumpuk  harta sambil tak lupa menambah anak bini, seperti contoh beberapa petinggi, -termasuk pak wali-, entah empat cukup atau masih perlu tambah lagi. Bingung bagaimana bisa mengurus negeri, bila mengatur diri dan anak bini masih terus merugi. Konon lagi mencerdaskan, memakmurkan dan memberi manfaat bagi anak negeri. Benar-benar posisi petinggi yang paradoks dengan aspirasi rakyat. Absurd tak nyambung akal sehat.
Modernisasi dan globalisasi salah kaprah, karena melulu bertumpu pada kapitalisme dan materialisme sambil elite bersikap perilaku demokrat ambigu. Berdemokrasi sambil bertahan dalam gaya aristokrat dan (neo) feodalisme. Kapitalisme sudah semestinya menjadi paham usang karena gagal menyejahterakan sekaligus membahagiakan warga bangsa dan negara yang menganut mempraktekkannya. Kapitalisme mempraktikkan pasar bebas (free market mechanism) bahkan amat sangat liberal. Yang terjadi adalah pencurian secara legal atas beban kerugian si miskin untuk keuntungan orang kaya yang berinvestasi bebas risiko. Tak peduli dengan azas kesetaraan dan keadilan (free and fair market mechanism), akibatnya hanya menciptakan a predatory global elite. Segelintir elite global yang memangsa dan menghisap kekayaan masyarakat sampai kering kerontang. Pada akhirnya yang terjadi adalah penjajahan ekonomi secara masal terhadap kaum dhuafa yang lemah dan papa.
Kini sedang trend lagi dengan ragam nama, aneka peristiwa kumpulkan dana secara massa, tersedot dan terhisap pada kuasa elite bandar/agen/panitia/penyelenggara. Dulu mulai dari gebunya orang minang, jualan saham pendirian media, badan amal zis, dana bagi kaum dhuafa sampai kepada danasonic, mlm, beberapa yayasan, bahkan arisan warga dan sejenisnya, sulit ditelusuri ada nilai virtue jangka panjangnya. Karena tampak, Â banyak yang lenyap berurusan dengan aparat hukum atau didemo anggotanya atau tak jelas lagi aktivitasnya. Tapi kini muncul lagi pengumpulan dana secara massa dengan pola yang mirip sama. Besarnya unsur spekulasi bagi penyetor dana, mengingatkan kembali pada teman sejenis seperti YAMAnya Ongko dan SDSB dijaman baheula. Ketika itu orba masih amat sakti berjaya dengan kuasa penuh bergaya otoriter melakukan pembenaran apa saja maunya penguasa. Heran juga bila kini katanya, -apa sungguhan ataukah tidak-, ada pula yang berkata rindu pada orba. Masa pembungkaman paksa otak/pikiran kok dirindukan? Betul-betul terperangkap paradoks nan absurd.
Pola pengumpulan dana secara massa paling parah tentu saja melalui mekanisme pasar bebas yang dianut kapitalisme. Â Imran N Hosein menyebutnya sebagai riba-based economic atau ekonomi berbasis riba, predatory capitalism atau legalized theft menurut Prof. Richard Falk (Princeton University). Â Sesungguhnya terjadi adalah pemiskinan masal karena pusat perputaran kekayaan dan uang terbatas pada orang kaya yang semakin kaya. Sementara si miskin yang tak punya akses keuangan yang cukup, tetap miskin dan semakin bertambah miskin. Demi tuntutan perut-sekitarnya dan keluarga, tak malu untuk menghamba lalu menjadi budak orang kaya di negeri sendiri atau mancanegara. Itulah bentuk penjajahan ekonomi yang menciptakan perbudakan modern.
Peter Drucker sejak 20 tahun lalu telah menulis Post Capitalist-Society. Masyarakat pasca kapitalis layak muncul, setelah runtuhnya kapitalisme karena memberi dampak terjadi kebangkrutan moral; politik, ekonomi, sosial dan budaya.  Pergeseran terjadi dengan bergerak menuju masyarakat berpengetahuan. Melalui knowledge society, pemerintah bersama partisipasi warga dengan integritas penuh, menuju pembentukan individu terdidik dan pribadi berkarakter. Tujuan yang selaras pembukaan dan batang tubuh konstitusi kita, cerdas dan makmurkan bangsa. Itu sudah semestinya menjadi prioritas elite penguasa negeri, mendidik rakyat agar cerdas dan makmur. Terutama supaya tidak  ada lagi spirit dan suara-suara yang membodohkan agar membungkam paksa ala orba.
Materialisme adalah paham yang dianut oleh orang-orang yang selalu bertumpu pada realitas material, harta benda, wadah fisik semata-mata. Secara sadar atau tidak sadar, para pelaku materialisme telah mendewakan realitas material, dengan menyangkal dan mengabaikan realitas apapun yang ada nyata dibalik realitas material. Mungkin yang tampak secara fisik, terlihat di permukaan lebih mudah dijangkau dan diakses secara konkrit. Sementara adanya realitas lain  beyond, jauh melampui atau dibalik realitas material tak gampang ditilik tajam.
Kata-kata cerdas, pikiran, jiwa, hati nurani, benar, jujur, ikhlas, damai dan bahagia yang menunjukan keunggulan moral, kebajikan dan kemuliaan hidup manusia adalah kondisi realitas yang melampaui realitas material. Semua realitas material yang superfisial, -sebatas permukaan- saja, sudah semestinya mengacu realitas nilai virtue. Dengan meninggalkan nilai-nilai virtue itu dan hanya bertumpu pada realitas material, maka sesungguhnya manusia telah menjerumuskan dirinya dan generasi penerusnya memasuki abad fitan. Hanya kesadaran dan keinsafan diri untuk mau dan mampu menggunakan kecerdasan pikiran/logika selaras garizah ilahiah yang mampu mencegah kebangkrutan moral dan perbudakan negeri ini. Keluar dari lumpur kubangan abad fitan.