Mohon tunggu...
Zavry W. Zaid
Zavry W. Zaid Mohon Tunggu... lainnya -

Chairman/CEO at Human Paradigm Enlightemen Foundation (HPEF/YPPI).Freelancer now n then. Nothing more interesting than immortality. In between, just passing n away while looking for the better future of body, mind n soul. Positive thinking, open minded, forget the past n forgiveness for a glorious of humanities.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cerita Sukses, Seolah-olah, dan Ilmu Daripada

23 Mei 2011   13:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:19 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesungguhnya bila kita suka bangga pada semua benda milik kita, bukanlah wujud diri kita sesungguhnya. Bahkan nyawa yang melekat sepanjang hayat dikandung badan bukan milik kita. Semua terjadi dan tercipta karena berkat kehendak Tuhan (Allah). Sampai kini Tuhan masih diakui pemilik sah manusia-atributnya dan alam semesta. Kalau begitu sejatinya pencapaian hidup apa dan bagaimana  yang pantas menjadi kebanggaan manusia?

Cerita sukses suka membanggakan. Apakah sekedar menceritakan, apalagi berperan menjadi lakon cerita sukses. Manusia suka bangga karena merasa telah berhasil mendapat hasil sebagai akibat dari hasil pikiran, perkataan dan perbuatan sendiri. Faktor keberuntungan, peran kekuatan gaib, dan kontribusi orang lain tak lagi penting. Kebanggaan menunjukkan kebesaran dan suka hati, merasa bangga lalu berpuas diri.  Sering terjadi, karena terlalu sering membangga-banggakan diri, keluarga, jabatan dan harta yang dimiliki membuat manusia lupa diri. Bahkan lupa asali-asal muasal-, orang lain, alam semesta dan Tuhannya sendiri. Walau demikian,  sejak manusia mulai bisa bebas berpikir mencari jati diri, cerita sukses tetap dicari, dikaji, dipelajari, dipetik hikmahnya untuk ditiru dan diikuti, sayang tetap saja manusia tak menemukan diri sejati. Misalnya cerita sukses ada guru merasa bisa menarik komentar berjibun kompasianer karena berhasil memenuhi selera pasar. Mungkin ditiru para murid, karena guru kencing berdiri, murid kencing berlari, sayang hakekat jati diri ikut terkebiri.

Kebanyakan sifat manusia suka mencari dan membandingkan diri dengan hal-hal materi diluar diri pribadi. Mengukur keberhasilan diri dengan tolak ukur kesuksesan orang lain. Rumput tetangga selalu tampak lebih hijau dari rumput apa saja yang telah dianggap milik kita. Selalu menginginkan lebih dari apa yang telah ada pada kita. Sementara semua yang telah ada tak sepenuhnya dapat dinikmati, karena sibuk mencari yang lain pemuas dahaga. Pencarian panjang, seumur hidup tak bakal pernah terpenuhi, karena tak mencari dengan akal sehat dan hati nurani. Musuh terbesar hati nurani adalah keserakahan. Dan sungguh benar bahwa needs can be met, greeds never. Cerita sukses dapat memicu motivasi, tetapi Andalah pengambil kata putus setelah memilih yang terbaik bagi kemuliaan diri, manusia dan alam semesta sesuai kecerdasan otak unggul dan kebeningan hati nurani.

Bal tu'tsiruunal hayatad dun-yaa. Wal aakhiratu khairuw wa abqaa. Tetapi kamu (manusia) lebih mengutamakan kehidupan dunia. Padahal akhirat itu lebih baik dan kekal. (Q.87:16-17).

Dalam kefanaan hidup manusia, berlangsung kehidupan yang berlanjut dalam dunia seolah-olah.  Yang mutlak hanya Tuhan (Allah), karena satu-satunya kepastian hidup manusia adalah ketidakpastian (uncertainty). Dalam ketidakpastian hidup, banyak manusia tak menemukan jati diri. Akibatnya mulai berniat, berpikir, berkata dan berbuat dalam selubung diri palsu. Diri palsu menjalani hidup sehari-hari seolah-olah seperti manusia sejati. Bila dari atas tadi seolah terjadi reduplikasi, bukan berarti hiperbol, karena memang kali ini penulis sengaja. Lancar kaji karena diulang. Dengan sering mengulang kata-kata, tentu tak bakal membuat kita lupa lagi, tapi sadar diri.

Sedikit konkrit, dalam tatanan kehidupan dunia sehari-hari, banyak contoh perilaku seolah-olah dapat disimak. Misalnya; Setiap hari dalam berinteraksi sesama manusia, seolah-olah berlaku jujur dan ikhlas. Padahal kita sering berucap kata tanpa makna. Bersembunyi dibalik eufemisme, kita tak pernah lugas mengatakan fakta. Karena merasa rikuh, takut menyinggung dan merusak pertemanan dalam hubungan kerja atau dengan bos. Kita seolah-olah menyukai hal-hal yang sejujurnya tak sejalan dengan hati nurani. Dalam dunia kerja, terutama ketika lemahnya sistem administrasi dan birokrasi, seolah-olah kita semua telah sungguh bekerja. Namun ketika direnungkan dipikir-pikir ulang sesampai di rumah, ternyata hampa. Tak berkontribusi memberi hasil nyata, produksi apa yang tak memberi nilai tambah bagi sesama, kecuali gaji bagi diri dan keluarga plus upeti bila ada.

Dalam birokrasi sulit mencapai etos kerja efisien dan efektif. Pemangkasan birokrasi agar menjadi lebih mangkus dan sangkil melalui reformasi tak berhasil guna. Akibatnya, hampir semua birokrat menjalankan tugas dan fungsi birokratisme seolah-olah melayani rakyat. Pemerintahan kinipun menjadi seolah-olah menjalankan tugas dan fungsi dalam suatu sistem seolah-olah.  Kekuasaan dan kewenangan pemerintah mengatur ekonomi, sosial dan politik negara tak jelas keberpihakannya kepada siapa, hanya seolah-olah berpihak kepada rakyat. Sebenarnya di alam pragmatisme kini, tak jelas lagi sistem yang dianut pemerintahan, apakah oligarki, otokrasi, sosialis, kapitalis atau seolah-olah demokrasi? Boleh dikata kini elite penguasa adalah pemimpin yang seolah-olah memimpin. Dengan berperilaku seolah-olah, rakyat tak punya pemimpin teladan yang sejati. Seakan-akan memimpin negara dan pemerintahan untuk memakmurkan dan mencerdaskan bangsa. Padahal hanya memuaskan diri dan kroni sahaja.  Dampaknya, bermain angka menjadikan citra seolah-olah jadi cerita sukses.

Apabila tak ada kesungguhan niat ikhlas dan kesadaran tinggi dalam diri elite penguasa negeri, sulit mencapai kemuliaan hidup penuh rasa hormat yang khidmat.  Kemuliaan, kebajikan dan kehormatan dari umat, oleh umat, untuk umat. Sebelum diberi mandat menjadi elite penguasa, semua pemimpin berasal dari umat jua adanya. Hanya saja ketika kuasa telah diterima, umat pemberi kuasapun terlupa. Semua terjadi berkat ilmu daripada.

Kata daripada sangat dikenal dijaman orba. Secara salah kaprah Soeharto sangat sering mengucapkan daripada. Rakyatpun bingung membedakan makna kata, apakah yang dimaksud dari ataukah daripada. Tapi tak ada yang protes, kecuali Parto sempat menggunakan kata daripada sebagai pelaris acara komedi-nya. Sejak orang nomer satu jaman orba berkuasa selama tiga dasawarsa tanpa jeda menggunakan daripada, semua ikut daripada. Hanya kini makna daripada sebagai preposisi untuk menyatakan perbandingan lebih dimaknai sebagai kompensasi. Dalam kaitan ini, kompensasi berarti hasil pencarian kepuasan dalam suatu bidang untuk memperoleh keseimbangan dari kekecewaan atau pengimbang ketidak berhasilan di bidang lain.

Dalam komunikasi di akar rumput sering terucap; daripada nganggur tak bekerja, berusahalah apa saja; daripada tak makan, terpaksalah meminta-minta; daripada terus merugi, saya berhenti dagang nasi. Biasa juga terjadi pada komunitas yang lebih mandiri, misalnya; daripada sunyi sepi sendiri, saya karaokean sampai pagi; daripada bekerja makan ati, saya buka usaha mandiri; daripada tidak dapat sama sekali, lumayan bisa hasil dari sikut kanan-kiri;  daripada ditilang polisi, saya ajak damai aja lagi. Mungkin banyak lagi contoh penggunaan kata daripada sebagai kompensasi kekecewaan terhadap suatu situasi. Karena terlalu sering dipakai itulah maka disebut "ilmu daripada". Semua hanya diselesaikan melalui kata kunci daripada, simsalabim, bereslah sudah.

Tentu saja akan menjadi tidak sehat dan tepat kalau kita terbiasa hidup dalam dunia kompensasi. Karena  kalau demikian adanya kita tak pernah bersungguh-sungguh sepenuh hati mencari solusi tuntas setiap permasalahan yang kita hadapi. Kita hanya akan berputar dari suatu kompensasi ke kompensasi yang lain. Kita terjebak dalam pelarian dari satu masalah ke permasalahan lain. Kita tidak berangkat dari kesadaran diri untuk wujudkan yang terbaik dari otak unggul yang cerdas dengan hati nurani. Bayangkan kalau terjadi pada level yang lebih tinggi. Misalnya; bikin isue baru sebagai pengalih perhatian, daripada masalahnya membesar tak terkendali; bantah dulu sambil terus melobi, daripada duluan ketahuan media nanti; katakan yang baik-baik saja biar dusta, daripada kehilangan citra; biar saja bersikap tak tegas, daripada kongsi lepas; dstnya..dstnya daripada dsbnya..dsbnya.

Kalau benar begitu adanya, maka cerita sukses yang seolah-olah dengan menggunakan ilmu daripada pasti akan menimbulkan sesat pikir bagi anak bangsa. Agar tak sesat berkepanjangan, marilah kita hidup dalam realita dunia nyata, meninggalkan visualisasi dunia citra. Bangkitkan kesadaran bersama, cerdaskan otak unggul agar bisa hidup makmur, kreatif, produktif dan bahagia. Semoga wujud dalam tempo segera dan sesingkat-singkatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun