Edward Coke (1552--1634) beliau merupakan seorang ahli hukum, hakim, dan anggota parlemen Inggris yang memiliki kontribusi besar dalam membentuk prinsip-prinsip dasar hukum Inggris. Pemikirannya menjadi landasan bagi pengembangan konsep negara hukum (rule of law) dan sistem peradilan yang melindungi hak-hak individu. Beliau menjunjung tinggi sistem common law, yang beliau percayai bahwa common law melindungi kebebasan individu dari kekuasaan absolut monarki.
Dalam salah satu kontribusi intelektualnya yang paling signifikan, Edward Coke memperkenalkan konsep penting dalam hukum pidana, yaitu "actus non facit reum nisi mens sit rea". Frasa Latin tersebut merupakan salah satu prinsip fundamental dalam hukum pidana yang berarti, "suatu tindakan tidak menjadikan seseorang bersalah kecuali disertai dengan niat jahat."
Prinsip actus non facit reum nisi mens sit rea merupakan salah satu pilar utama dalam hukum pidana yang berfungsi sebagai penyeimbang antara perlindungan hak individu dari hukuman yang tidak semestinya dan penegakan keadilan untuk masyarakat. Prinsip ini menegaskan bahwa sebuah tindakan tidak dapat dianggap sebagai tindak pidana hanya berdasarkan perbuatannya semata, melainkan harus dilihat pula niat atau kesadaran di balik tindakan tersebut.
Artikel ini akan mengkaji lebih lanjut terkait apa itu konsep actus reus dan mens rea, mengapa penting dalam menangani kasus korupsi, dan bagaimana implementasinya dalam sistem hukum Indonesia.Â
What: Teori Actus Reus dan Mens Rea
Actus Reus merujuk pada tindakan nyata atau perilaku yang melanggar hukum. Pembuktian actus reus adalah langkah pertama yang krusial dalam menegakkan hukum dan memberikan keadilan, karena tanpa bukti yang cukup, tidak ada dasar untuk memproses kasus tersebut lebih lanjut. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa tindakan pelaku benar-benar dapat dibuktikan melalui penyelidikan yang transparan dan sah. Contoh nyata adalah pejabat negara yang menggunakan dana publik untuk kepentingan pribadi.
Contoh nyata actus reus dalam kasus korupsi dapat dilihat pada seorang pejabat negara yang menyalahgunakan kewenangannya untuk keuntungan pribadi. Misalnya, seorang pejabat tinggi yang mengarahkan penggunaan dana negara untuk proyek yang tidak dibutuhkan, atau menerima suap sebagai imbalan untuk memberikan kontrak kepada pihak tertentu. Dalam kedua situasi ini, tindakan yang dilakukan oleh pelaku seperti menerima suap, mengalihkan dana publik, atau mengatur proyek.
Mens Rea adalah elemen niat atau kesadaran pelaku saat melakukan tindak pidana yang mengacu pada keadaan mental pelaku yang menunjukkan bahwa mereka dengan sengaja dan sadar melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Dalam kasus korupsi, pembuktian adanya mens rea merupakan langkah krusial, karena untuk dapat mempertanggungjawabkan suatu tindakan pidana dari seseorang sangat ditentukan dari adanya niat jahat (mens rea), setelah itu untuk memastikan bahwa pelaku benar-benar bertanggung jawab atas tindakannya, dan tidak hanya sekadar karena kelalaian atau ketidaksengajaan.
Dalam hukum pidana Inggris, Mens Rea atau niat jahat dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama berdasarkan tingkat kesadaran dan kehendak pelaku terhadap akibat dari perbuatannya. Klasifikasi ini digunakan untuk menentukan tingkat tanggung jawab pelaku dan beratnya hukuman yang pantas diberikan. Ketiga jenis mens rea tersebut adalah:
Intention (Niat Sengaja) adalah jenis mens rea yang mencerminkan tingkat kesadaran dan kehendak yang paling tinggi. Dalam kategori ini, pelaku dengan sengaja melakukan suatu tindakan dengan tujuan utama dengan menyadari menimbulkan akibat tertentu. Akan tetapi di balik itu tidak menjadi keraguan mengenai niat pelaku, karena mereka secara sadar melaksanakan perbuatan tersebut dengan tujuan melanggar hukum atau menyebabkan kerugian.
Recklessness (Kecerobohan) adalah bentuk mens rea yang lebih rendah dari niat sengaja, di mana pelaku tidak berniat langsung untuk menghasilkan akibat tertentu, tetapi mereka menyadari bahwa tindakan mereka berisiko menyebabkan bahaya atau kerugian. Meskipun memahami adanya potensi risiko, pelaku tetap melanjutkan perbuatannya tanpa menghiraukan atau mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin timbul.
Negligence (Kelalaian) merupakan bentuk mens rea dengan tingkat kesadaran terendah, di mana pelaku gagal untuk bertindak sesuai dengan standar kewaspadaan yang wajar, yang kemudian mengakibatkan kerugian atau bahaya bagi orang lain. Meskipun pelaku mungkin tidak menyadari bahwa tindakannya dapat menimbulkan risiko, kelalaiannya dianggap tidak dapat diterima dan tidak dapat dimaafkan.
Why: Pentingnya Actus Reus dan Mens Rea dalam Menangani Kasus Korupsi
- Menjamin Keadilan Hukum
Dengan pembuktian adanya actus reus dan mens rea, sistem hukum dapat memastikan bahwa hukuman hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar melakukan tindakan kriminal dengan kesadaran penuh dan tujuan untuk merugikan negara. Tanpa kedua elemen ini, seseorang mungkin tidak dapat dianggap bertanggung jawab secara pidana, meskipun tindakannya telah menyebabkan kerugian. - Memperjelas Tanggung Jawab Pelaku
Kedua elemen ini berperan penting dalam membedakan antara tindakan yang dilakukan dengan sengaja atau secara ceroboh, dibandingkan dengan perbuatan yang terjadi tanpa kesadaran atau niat tertentu. Sebagai contoh, dalam tindak pidana korupsi, mens rea menunjukkan apakah pelaku bertindak dengan niat buruk untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu, atau hanya bertindak tanpa menyadari bahwa perbuatannya melanggar hukum. - Mencegah Kesewenang-wenangan dalam Penegakan Hukum
Memastikan keberadaan actus reus dan mens rea sebelum menjatuhkan hukuman membantu mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dalam proses penegakan hukum. Penegakan hukum yang adil hanya dapat dicapai apabila kedua elemen ini terpenuhi, sekaligus memastikan bahwa pelaku korupsi tidak lolos dari tanggung jawab meskipun mereka mencoba menghindar.
How: Actus Reus dan Mens Rea Implementasinya Dalam Sistem Hukum Indonesia.
Dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, konsep actus reus maupun mens rea diakui sebagai elemen penting. Hukum ini diperjelas pada Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku yang dengan sengaja menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri dapat dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Di Indonesia, Kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya menjadi salah satu skandal besar yang terungkap pada tahun 2018. Namun, skema korupsi ini diketahui sudah berlangsung selama beberapa tahun, yaitu sekitar 2008 hingga 2018. Proses hukum terhadap kasus ini berlangsung intensif pada tahun 2019 setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kejaksaan Agung melakukan penyelidikan lebih dalam.Kasus korupsi ini melibatkan kerugian negara hingga triliunan rupiah. Dengan analisis kasus ini menggunakan konsep Actus Reus (tindakan fisik yang melanggar hukum) dan Mens Rea (niat atau kesadaran kriminal) membantu memahami elemen-elemen penting dalam pembuktian tindak pidana korupsi yang terjadi, sebagai berikut:
- Actus Reus dalam Kasus Jiwasraya
Dalam kasus ini, actus reus mencakup berbagai tindakan ilegal yang dilakukan oleh pelaku, seperti:
- Manipulasi Investasi: Para terdakwa mengalihkan dana investasi Jiwasraya ke saham-saham "gorengan" yang memiliki risiko tinggi tanpa pertimbangan profesional, sehingga mengakibatkan kerugian negara.
- Penyalahgunaan Wewenang: Manajemen Jiwasraya secara sengaja memanfaatkan posisi mereka untuk mengambil keputusan investasi yang bertentangan dengan prinsip kehati-hatian dan regulasi pengelolaan keuangan dalam industri asuransi. Mereka mengabaikan standar operasional dan ketentuan yang dirancang untuk melindungi dana nasabah, dengan mengarahkan investasi ke instrumen keuangan berisiko tinggi tanpa melalui proses analisis yang memadai. Tindakan ini tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga menunjukkan ketidakpedulian terhadap dampak jangka panjang yang merugikan perusahaan dan para pemegang polis.
- Pemberian Suap: Dugaan adanya pemberian imbalan kepada pihak-pihak tertentu untuk memperlancar investasi yang merugikan Jiwasraya. Tujuan dari pemberian suap ini adalah untuk mendapatkan persetujuan atau meloloskan keputusan investasi yang tidak sesuai dengan prinsip kehati-hatian, seperti pengalihan dana ke saham-saham "gorengan" atau instrumen keuangan berisiko tinggi. Praktik ini tidak hanya mempercepat eksekusi investasi bermasalah, tetapi juga menyulitkan pengawasan dan kontrol internal karena adanya kompromi dalam sistem akuntabilitas perusahaan.
Tindakan-tindakan ini merupakan bentuk actus reus yang nyata, karena secara langsung melibatkan perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian negara.
- Mens Rea dalam Kasus Jiwasraya
Konsep Mens Rea dalam kasus ini merujuk pada niat atau kesadaran kriminal dari pelaku saat melakukan tindakan-tindakan tersebut. Beberapa indikasi mens rea dalam kasus ini antara lain:
- Kesadaran Akan Risiko:Â Para pelaku, yang merupakan pejabat tinggi dan pengelola investasi, memiliki pengetahuan dan keahlian yang cukup untuk menyadari bahwa investasi pada saham-saham berisiko tinggi dapat merugikan perusahaan. Namun, mereka tetap melanjutkan tindakan tersebut demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
- Motif untuk Memperkaya Diri: Terdakwa diketahui menerima keuntungan pribadi dari skema investasi yang dijalankan, baik dalam bentuk uang maupun aset lainnya. Hal ini menunjukkan adanya niat jahat untuk menguntungkan diri sendiri meskipun tahu tindakannya melanggar hukum.
- Kesengajaan Menyalahgunakan Jabatan:Â Penggunaan wewenang secara tidak sah oleh para terdakwa menunjukkan bahwa mereka dengan sengaja memanfaatkan posisinya untuk menjalankan skema korupsi ini.
Pada akhirnya, proses hukum ini melibatkan serangkaian persidangan yang intensif, dengan tuntutan pidana berat terhadap para pelaku, termasuk hukuman penjara seumur hidup untuk beberapa terdakwa utama. Melalui penanganan yang tegas dan komprehensif, kasus Jiwasraya juga menjadi pengingat bagi masyarakat akan pentingnya akuntabilitas dan integritas dalam mengelola dana publik. Dengan harapan mampu mencegah terulangnya skandal serupa di masa mendatang dan memperbaiki kepercayaan publik terhadap institusi keuangan negara. Â
Daftar Pustaka
Njoto, D. (2019). BAB I. Retrieved from ukdc.ac.id: http://repositori.ukdc.ac.id/584/2/Bab%20I%20%26%20Bab%20II.pdf
Yunianto, T. K. (2020, Januari 21). Kejaksaan Beberkan Tiga Poin Pelanggaran Hukum Tersangka Jiwasraya. Retrieved from katadata.co.id: https://katadata.co.id/berita/nasional/5e9a4990240ed/kejaksaan-beberkan-tiga-poin-pelanggaran-hukum-tersangka-jiwasraya
Prasetyo, Ekky Aji., Sahuri Lasmadi., Erwin. 2024. Pertanggungjawaban Pidana Dan Penerapan Mens Rea Dalam Tindak Pidana Intersepsi Di Indonesia. Jurnal Hukum Responsif, 15 (2), 303-304.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H