Karakterisitik Semar
Semar merupakan simbol dualitas manusia yang menggambarkan dua sisi keberadaan: sisi bawah yang mewakili aspek kemanusiaan biasa dan sisi atas yang melambangkan aspek suci atau kenabian. Hal ini bisa dipahami melalui konsep double hermeneutika, yaitu kemampuan memahami dan menafsirkan makna secara mendalam dari dua sudut pandang sekaligus baik sebagai manusia biasa maupun sebagai utusan Tuhan (nabi/rasul). Dualitas ini mencerminkan pandangan Jawa tentang keseimbangan dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin yang baik harus mampu menyeimbangkan kekuatan dan kelemahan, keras dan lembut, serta duniawi dan spiritual. Hal tersebut dibuktikan:
1. Semar secara Fisik Gambar, bukan laki-laki bukan perempuan, tangan kanan ke atas, kiri kebawah; tua sekaligus anak-anak; tertawa dan menangis/ matanya mengalir air mata, posisi duduk sekaligus berdiri; dalam dialog wayang ketawa sekaligus menangis;
2. Semar Memiliki kulit Hitam, Simbol Bumi, atau Tanah, sebagai Teguhan paling teguh, dan diam. Diapapun menerima semuanya; paling kuat adalah Tanah, dibandingkan Air, api, air, tapi tidak pernah sombong, dan angkuh, walaupun memiliki semuanya; selalu memberi terbaik tanpa pamrih. Selalu berbuat terbaik dan paling baik, sifat wangsa tanah/bumi. Semar adalah simbolik manusia yang mampu menerima realitas, bahkan meta realitas, tanpa kategori (suwung ing pamrih). Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe.
3. Semar dan Simbol Kuncung 8 (delapan), memilik kategori-kategori seperti tidak lapar, tak pernah ngantuk, tidak jatuh cinta, tidak bersedih, tidak merasa cape, tidak menderita sakit,  tidak kepanasan, dan tidak kedinginan; (tidak dipengaruhi oleh diluar dirinya mirip kaum Stoa). Tidak artinya mampu mengendalikan dengan baik; 8 kuncung ini membuat semar Sakti;
4. Posisi Semar; Dewa Kemangungsaan; dewa sebagai manusia, bukan manusia tapi ngaku jadi dewa. Ini adalah simbol pemimpin NKRI (sifat dewa yang merakyat). Kedua implikasinya adalah Krisna vs  Siwa;  maka orang Jawa/Nusantara, atau  Siwa Buddha, dan Hindu  Siwa disebut Batara Guru. Atau ajaran Siwa-Buddha adalah campuran agama Hindu dan Buddha di Indonesia. Pada zaman Majapahit agama Siwa dan Buddha berpadu menjadi satu, dan ini bisa dilihat dalam beberapa karya sastra antara lain Kakawin Sutasoma dan Kakawin Arjunawijaya; Siwa disebut dewa Bhairawa;
Semar juga menekankan Semboyan Manunggaling Kawula Gusti yang menggambarkan keadaan batin seorang hamba yang merasa sangat dekat dan penuh cinta kepada Tuhan, sehingga ia merasa seolah-olah menyatu dengan-Nya. Ini bisa diibaratkan seperti besi yang menyatu dengan api meskipun berbeda, setelah menyatu, mereka tak bisa dipisahkan. Keadaan ini terjadi ketika seorang hamba mencontoh sifat-sifat Tuhan yang telah diberikan oleh Sang Pencipta. Namun, penyatuan ini bukan berarti bahwa seorang hamba menjadi Tuhan hanya karena meniru sifat-sifat-Nya, melainkan ia bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan. Menyatu dengan Tuhan berarti harus menjadi umatnya yang menerapkan sifat-sifat Tuhan untuk membedakan yang baik dan buruk, serta memahami apa yang harus kita lakukan dan apa yang perlu dihindari sesuai perintah-Nya.
Semar memiliki Kata-kata utama yang menggambarkan makna yang dalam, sepertiÂ
Mbregegeg (jangan diam), Semar mengajarkan bahwa seseorang sebaiknya selalu aktif dan terus bergerak menghadapi tantangan, tidak bersikap pasif atau menyerah pada keadaan.
Ugeng-ugeng berarti "berusaha untuk lepas." Ini menggambarkan pentingnya terus berjuang dan mencari jalan keluar dari kesulitan, menunjukkan bahwa seseorang harus memiliki tekad untuk membebaskan diri dari hal-hal yang menghambat.
Hmel-hmel: Mengacu pada "mencari segala sesuatu yang baik dalam hidup." Semar mengajarkan bahwa hidup sebaiknya diisi dengan usaha mencari kebaikan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Sak Ndulit: Diartikan sebagai "hasilnya sedikit." Pesan ini menyiratkan bahwa hasil dari upaya mungkin tidak selalu besar, tetapi tetap dihargai dan dianggap penting karena didapat dengan kerja keras dan kejujuran.
Langgeng: Bermakna "hasilnya baik dan bertahan lama." Semar menekankan bahwa meskipun hasil dari usaha mungkin kecil, jika diperoleh dengan cara yang benar dan jujur, hasil itu akan memberikan manfaat yang langgeng dan berkelanjutan.
Secara keseluruhan, kelima kata utama ini menggambarkan bahwa ajaran Semar tentang pentingnya terus berusaha, mencari kebaikan, menghargai hasil sekecil apapun, dan memastikan bahwa tindakan dilakukan dengan jujur agar manfaatnya bisa dirasakan dalam jangka panjang.
Adapun  latar belakang yang mendukung kuat dari interpretasi kata utama, yaitu tiga doktrin ajaran Semar yang mengandung prinsip-prinsip penting yang berfungsi sebagai pedoman moral dan etika dalam kehidupan.
1. Ojo Dumeh (Jangan Mentang-mentang):
Doktrin ini menekankan agar seseorang tidak bersikap sombong atau merasa superior hanya karena memiliki kekuasaan, kemampuan, atau kelebihan tertentu. Hal ini mengingatkan untuk menghindari sikap Adigang, Adi Gung, Adi Guna (keangkuhan karena kekuatan, kebesaran, dan kepandaian). Ajaran ini mengajak orang untuk bersikap rendah hati dan tidak memanfaatkan kelebihan mereka secara sewenang-wenang.
2. Eling (Ingatlah):
Ajaran ini mengingatkan pentingnya kesadaran diri dalam berbagai aspek kehidupan. Seseorang harus selalu ingat pada Tuhan, asal-usul, agama, usia, orang tua, serta kematian, dosa, dan kebaikan yang telah dilakukan. Ini adalah refleksi untuk hidup dengan kesadaran penuh agar tindakan selalu sesuai dengan nilai-nilai moral dan spiritual.
3. Waspodo (Kehati-hatian):
Doktrin ini mengajarkan untuk selalu bersikap hati-hati dalam bertindak, bersikap, dan berbicara. Kehati-hatian dan ketelitian diperlukan agar seseorang tidak terjerumus ke dalam masalah atau melakukan kesalahan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Waspada berarti memperhatikan segala tindakan dengan penuh tanggung jawab.
Pemimpin yang memiliki prinsip Eling lan Waspada berarti selalu ingat dan berhati-hati dalam setiap tindakannya, serta mampu bersikap teliti dan menguasai pengetahuan mendalam, termasuk kemampuan memahami situasi sebelum hal itu terjadi (weruh sadurung winarah). Selain itu, ajaran Ojo Dumeh mengingatkan untuk tidak bersikap sombong atau merasa hebat tanpa alasan yang jelas.
4. Ojo Gumunan (jangan mudah terkagum-kagum) dalam hal apapun, Prinsip ini mengajarkan pemimpin agar tidak gampang terpesona atau terpengaruh oleh sesuatu yang mungkin terlihat luar biasa, namun belum terbukti substansinya. Sikap ini membantu pemimpin untuk tetap objektif dan tidak terbawa emosi berlebihan dalam mengambil keputusan.