Setelah kembali ke Surakarta, Burhan diangkat sebagai cucu angkat oleh Panembahan Buminoto, adik dari Pakubuwana IV. Pada tanggal 28 Oktober 1819, ia diangkat sebagai Carik Kadipaten Anom dengan gelar Mas Pajanganom. Dengan dukungan Panembahan Buminoto, kariernya mulai berkembang.Â
Namun, ketika Pakubuwana V naik takhta (1820--1823), karier Burhan mengalami hambatan karena adanya pergantian raja yang tidak menyukai pengaruh Panembahan Buminoto dan sering kali mengabaikan permintaan untuk menaikkan pangkat Burhan, hal ini menandai masa sulit bagi Burhan dalam lingkup.Â
Akan tetapi disisi lain, bersamaan dengan masa inilah Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra dan hubungannya dengan Pakubuwana VII (Panembahan Buminoto) juga sangat harmonis. Â
Dari Keahlian dan wawasan yang mendalam, beliau melahirkan banyak karya-karya yang mencakup beragam tema, mulai dari dongeng, lakon wayang hingga babad silsilah dan filsafat.Â
Selain itu, karyanya juga menyentuh aspek kesusilaan, kebatinan, ilmu kesempurnaan, primbon, dan ramalan. Dengan cakupan yang luas ini, ia memberikan kontribusi besar pada kesusastraan dan budaya Jawa.Â
Yang kemudian, beliau juga dianggap sebagai "peramal" atau visioner, melalui berbagai macam ilmu kesaktian dalam karya-karyanya yang menggambarkan kondisi sosial, moral, dan politik berdasarkan pengamatan dalam masyarakat pada zamannya, yang banyak di antaranya tetap relevan hingga masa kini.
Terdapat sembilan karya besar Ranggawarsita, yaitu Serat Hidayat Jati, Serat Ajidarma Tuwin, Serat Ajinirmala, Serat Suluk Sukmalelana, Serat Jaka Lodhang, Serat Jayengbaya, Serat Pawarsakan, Serat Kalatidha dan Serat Witaradya.Â
Khususnya, karya-karya seperti "Serat Kalatidha", "Serat Sabdatama", dan "Serat Jayabaya", tidak hanya berfungsi sebagai karya sastra tetapi juga sebagai kritik sosial dan spiritual terhadap kondisi masyarakat yang diwarnai oleh ketidakstabilan moral dan politik.Â
Dan yang paling terkenal yaitu "Serat Kalatidha", karyanya ini ditafsirkan oleh Ki Sumidi Adisasmita sebagai ungkapan kekecewaan sang pujangga (Ranggawarsita) terhadap situasi istana dan khususnya terhadap Susuhunan Pakubuwana IV.Â
Menurut interpretasi ini, Pakubuwana IV dikelilingi oleh para penjilat yang hanya peduli pada keuntungan pribadi mereka, tanpa memperhatikan dampak buruk yang ditimbulkan bagi orang lain, terutama rakyat.Â
Dalam karya nya tersebut Ranggawarsita memandang perubahan zaman sebagai siklus yang berulang: Katatidha (Keraguan), Kalabendu (Kehancuran), dan Kalasuba (Kemakmuran). Tiga era ini tidak hanya menggambarkan perubahan sosial tetapi juga menyoroti pergeseran nilai-nilai dan keutamaan moral dalam masyarakat.Â