Mohon tunggu...
Gina Magfirah
Gina Magfirah Mohon Tunggu... Lainnya - Book Reviewer

Seorang polymath yang cinta novel kelas menengah (bukan kelas berat).

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Review Bekisar Merah [Ngeracun]

29 Agustus 2021   15:04 Diperbarui: 29 Agustus 2021   16:49 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Ensiklopedia Sastra Indonesia Kemdikbud

"...Mungkin karena, ya itu, mereka seperti kamu, takut dibilang sok moralis. Mereka lebih suka memilih hanyut dalam arus kecendrungan pragmatis."

Judul: Bekisar Merah & Belantik

Penulis: Ahmad Tohari (1993)

Halaman: 312 Hal

Sinopsis

Bekisar adalah unggas elok, hasil kawin silang antara ayam hutan dan ayam biasa yang sering menjadi hiasan rumah orang-orang kaya. Dan, adalah Lasi, anak desa yang berayah bekas serdadu Jepang yang memiliki kecantikan khas—kulit putih, mata eksotis—membawa dirinya menjadi bekisar di kehidupan megah seorang lelaki kaya di Jakarta, melalui bisnis berahi kalangan atas yang tak disadarinya.

Lasi mencoba menikmati kemewahan itu, dan rela membayarnya dengan kesetiaan penuh pada Pak Han, suami tua yang sudah lemah. Namun Lasi gagap ketika nilai perkawinannya dengan Pak Han hanya sebuah keisengan, main-main.

Hanya main-main, longgar, dan bagi Lasi sangat ganjil. Karena tanpa persetujuannya, Pak Han menceraikannya dan menyerahkannya kepada Bambung, seorang belantik kekuasaan di negeri ini, yang memang sudah menyukai Lasi sejak pertama melihat wanita itu bersama Handarbeni. Lasi kembali hidup di tengah kemewahan yang datang serba mudah, namun sama sekali tak dipahaminya. Apalagi kemudian ia terseret kehidupan sang belantik kekuasaan dalam berurusan dengan penguasa-penguasa negeri.

Di tengah kebingungannya itulah Lasi bertemu lagi dengan cinta lamanya di desa, Kanjat, yang kini sudah berprofesi dosen. Mereka kabur bersama, bahkan Lasi lalu menikah siri dengannya. Namun kaki-tangan Bambung berhasil menemukan mereka dan menyeret Lasi kembali ke Jakarta. Berhasilkah Kanjat membela cintanya, dan kembali merebut Lasi yang sedang mengandung buah kasih mereka?

Ngeracun

[hanya untuk orang-orang yang oke dengan spoiler]

Awalnya aku sudah su'udzon dengan buku Bekisar Merah ini, karena ketika selesai membacanya, pikiranku langsung berkecamuk dengan ceritanya menggantung begitu saja. Ini tentu saja akan berakibat pada penilaianku yang jelek pada buku ini. Ah, ternyata aku membaca cetakan lama. 

Memang seharusnya aku tabayyun dulu. Jadi Bekisar Merah ini merupakan cerita bersambung di Harian Kompas pada tahun 1993 silam dan diterbitkan menjadi sebuah buku setelahnya. Untuk cetakan sekarang sama halnya dengan Ronggeng Dukuh Paruk - Jantera Biang Lala - Lintang Kemukus Dini Hari, Bekisar Merah sudah digabung dengan Belantik. 

Aku selalu menyukai karya Ahmad Tohari walau dengan beberapa catatan tentunya, taste beliau dalam pemilihan diksi dan cerita yang unik membuat karya beliau selalu otentik. Beliau selalu punya tempat tersendiri di hati penggemar.

Bermula di Desa Karangsoga, kehidupan masyarakat penyadap nira yang melarat dengan dinamika norma sosialnya. Karangsoga yang masih murni dan klenik ini diceritakan sebagai desa yang masyarakatnya nrimo ing pandum, akrab dengan mitos, stigma wanita dan norma kesopanan tinggi. 

Yah, seperti desa di Jawa pada umumnya. Adalah Lasi seorang blasteran Jepang-Jawa yang dari dulu hidup susah walaupun cantik, sering dirundung waktu kecil, suami yang sakit bahkan diselingkuhi dan juga jadi mainan para pejabat. Kisah hidup Lasi dengan Darsa si penyadap nira, suaminya ini lumayan panjang, dan menurutku terlalu bertele-tele untuk sebuah pendahuluan. 

Seharusnya cerita dengan Darsa ini bisa lebih pendek, memang ini merupakan cara Ahmad Tohari untuk menjelaskan kemiskinan struktural masyarakat Karangsoga. Padahal berdasarkan sinopsis, seharusnya inti cerita adalah tentang Lasi yang hanya menjadi perhiasan dan pajangan para pejabat dan perjalanan hidupnya di Karangsoga dan Jakarta.

Wewarah: "Dulu Ayah sering bilang, agar bisa hidup tenang, orang harus selalu eling dan nrimo ing pandum, tidak ngumbar kanepson atau mengumbar keinginan."

Kemudian ada Kanjat yang menjadi hero untuk si heroine, Lasi, seorang teman masa kecil Lasi yang lebih muda. Cerita cinta mereka ini lebih kepada memberantas stereotipe, seorang janda tidak berpendidikan dan lebih tua yang menyukai perjaka berpendidikan dan anak Pak Tir yang kaya raya. 

Sungguh pemikiran Ahmad Tohari yang melampaui zaman. Kanjat disini juga menjadi pemuda desa yang nrimo, banyak galau dan bingungnya dibanding aksi. 

Tapi salut dengan semangat tinggi Kanjat yang ingin memperbaiki kesejahteraan para penyadap nira di desanya dengan ilmu yang dimiliki. Ini juga menjadi salah satu cerita menarik yang disuguhkan penulis.

Setelah dikhianati oleh Darsa, barulah masuk ke inti cerita yaitu pelarian Lasi ke Jakarta. Si gadis desa lugu nan bodoh ini kaget dengan kerasnya kehidupan Jakarta, karena itu ia senang ketika bertemu dengan Bu Lanting yang mau membantunya bertahan hidup di Jakarta. 

Tapi ternyata Bu Lanting hanya ingin menjual Lasi ke para pejabat. Bu Lanting ini diperlihatkan sebagai perempuan yang 'pintar cari duit' dan ga mikirin hal lain selain duit.

"...Kamu mungkin juga tidak tahu bahwa sesungguhnya lelaki kurang tertarik, atau malah segan terhadap perempuan yang terlalu cerdas apalagi berpendidikan terlalu tinggi. Bagi lelaki, perempuan kurang pendidikan dan miskin tidak jadi soal asal dia cantik. Apalagi bila  si cantik itu penurut... Sebabnya, kamu cantik dan diharapkan bisa menjadi boneka penghias rumah dan kamar tidur."

Karena lugu dan ga punya pendirian, Lasi ikut saja apa kata Bu Lanting dan bahkan menganggapnya teman. Semua yang baca pasti agak kesal dengan sifat Lasi ini, seakan-akan Lasi ini ga punya apa-apa selain kecantikannya. Apalagi setelah jadi istri Pak Handarbeni yang sebenarnya baik kepada Lasi, tapi ya brengsek juga secara pekerjaan dan menilai perempuan. 

Aku bisa melihat novel ini secara keseluruhan adalah penggambaran seorang wanita di desa, yang sudah seharusnya setiap stereotipe dan stigma harus diberantas. 

Perempuan yang cuma jadi manusia nomor dua, perhiasan lelaki, ga perlu pendidikan karena ujungnya urusan dapur, dan penilaian terhadap perawan tua ataupun janda. Di tahun 90-an pola pikir di luar dari itu semua masih sesuatu yang anomali, aku jadi bertanya-tanya apakah Ahmad Tohari diam-diam seorang feminis?

"Atau entahlah. Seorang priyayi Jawa, saya misalnya, memang tak mungkin mencuri harta tetangga. Tetapi harta negara? Atau, apakah mengambil uang negara bagi para priyayi itu salah? Bukankah nyatanya yang mengurus negara adalah para pejabat, yang yakin diri mereka adalah priyayi?"

Jadi selain alegori perempuan yang diibaratkan bekisar merah dan pejabat sebagai belantik, novel ini juga membahas tentang politik kotor di ranah orang-orang berdasi. Sangat tipikal Ahmad Tohari tentunya yang selalu penuh kritik terhadap pejabat di Indonesia dan notabene masih relevan hingga sekarang. 

Selain itu, ada karakter tambahan yang menjadi jembatan cerita yaitu Eyang Mus seorang tokoh agama disegani di Karangsoga. Eyang Mus ini unik, mengingat ia seorang yang rendah hati, membumi, nrimo (tentu saja) dan penuh perhitungan.

Seperti dulu dikatakan Eyang Mus di Karangsoga, hanya Gusti Allah yang memberi tanpa ngalap imbalan apapun. Sedangkan manusia? Bahkan seorang ibu sadar atau tidak, dalam berbagai cara dan bahasa sering menuntut kesetiaan anak sebagai imbalan jasa pengandungan, penyusunan dan kasih sayang yang diberikan.

Kanjat yang sangat plin-plan ini baru terdorong kalau ada yang menyuruh seperti Pardi dan Eyang Mus. Wah, kalau dapet lelaki seperti Kanjat ini aku sih sudah 'no' ya. 

Tapi ya Lasi ga punya pilihan lain selain Kanjat yang masih baik dari kecil hingga besar. Mereka sama-sama suka tapi karena Lasi yang sangat peduli penilaian warga desa dan sifat rendah dirinya, ia selalu menolak Kanjat. 

Ceritanya jadi terulur-ulur padahal mereka selalu punya kesempatan, cuma disia-siakan Lasi bahkan keburu Lasi dioper lagi ke Pak Bambung, rival sekaligus kawan Pak Handarbeni. Di fase Pak Bambung inilah puncak prahara Lasi dan meningkatnya intensitas cerita Kanjat-Lasi.

Ketika pendahuluan sudah terlalu panjang, akibatnya adalah ending yang terburu-buru. Padahal masih banyak yang bisa dikupas dari perjuangan cinta Lasi dan Kanjat. 

Bahkan menurutku perlu ada sudut pandang dari orang tua Kanjat dan masyarakat desa yang belum diekspos terhadap pernikahan mereka berdua. Jadi ketika dari klimaks menuju akhir masih banyak ruang kosong berisi pertanyaan. Sayang sekali. Tapi novel ini masih worth reading dan menjadi salah satu list wajib novel Ahmad Tohari karena kompleksitas ceritanya.

Dari 1-5 aku akan memberi 3.5.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun