Mohon tunggu...
Gina Magfirah
Gina Magfirah Mohon Tunggu... Lainnya - Book Reviewer

Seorang polymath yang cinta novel kelas menengah (bukan kelas berat).

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Review Bekisar Merah [Ngeracun]

29 Agustus 2021   15:04 Diperbarui: 29 Agustus 2021   16:49 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan yang cuma jadi manusia nomor dua, perhiasan lelaki, ga perlu pendidikan karena ujungnya urusan dapur, dan penilaian terhadap perawan tua ataupun janda. Di tahun 90-an pola pikir di luar dari itu semua masih sesuatu yang anomali, aku jadi bertanya-tanya apakah Ahmad Tohari diam-diam seorang feminis?

"Atau entahlah. Seorang priyayi Jawa, saya misalnya, memang tak mungkin mencuri harta tetangga. Tetapi harta negara? Atau, apakah mengambil uang negara bagi para priyayi itu salah? Bukankah nyatanya yang mengurus negara adalah para pejabat, yang yakin diri mereka adalah priyayi?"

Jadi selain alegori perempuan yang diibaratkan bekisar merah dan pejabat sebagai belantik, novel ini juga membahas tentang politik kotor di ranah orang-orang berdasi. Sangat tipikal Ahmad Tohari tentunya yang selalu penuh kritik terhadap pejabat di Indonesia dan notabene masih relevan hingga sekarang. 

Selain itu, ada karakter tambahan yang menjadi jembatan cerita yaitu Eyang Mus seorang tokoh agama disegani di Karangsoga. Eyang Mus ini unik, mengingat ia seorang yang rendah hati, membumi, nrimo (tentu saja) dan penuh perhitungan.

Seperti dulu dikatakan Eyang Mus di Karangsoga, hanya Gusti Allah yang memberi tanpa ngalap imbalan apapun. Sedangkan manusia? Bahkan seorang ibu sadar atau tidak, dalam berbagai cara dan bahasa sering menuntut kesetiaan anak sebagai imbalan jasa pengandungan, penyusunan dan kasih sayang yang diberikan.

Kanjat yang sangat plin-plan ini baru terdorong kalau ada yang menyuruh seperti Pardi dan Eyang Mus. Wah, kalau dapet lelaki seperti Kanjat ini aku sih sudah 'no' ya. 

Tapi ya Lasi ga punya pilihan lain selain Kanjat yang masih baik dari kecil hingga besar. Mereka sama-sama suka tapi karena Lasi yang sangat peduli penilaian warga desa dan sifat rendah dirinya, ia selalu menolak Kanjat. 

Ceritanya jadi terulur-ulur padahal mereka selalu punya kesempatan, cuma disia-siakan Lasi bahkan keburu Lasi dioper lagi ke Pak Bambung, rival sekaligus kawan Pak Handarbeni. Di fase Pak Bambung inilah puncak prahara Lasi dan meningkatnya intensitas cerita Kanjat-Lasi.

Ketika pendahuluan sudah terlalu panjang, akibatnya adalah ending yang terburu-buru. Padahal masih banyak yang bisa dikupas dari perjuangan cinta Lasi dan Kanjat. 

Bahkan menurutku perlu ada sudut pandang dari orang tua Kanjat dan masyarakat desa yang belum diekspos terhadap pernikahan mereka berdua. Jadi ketika dari klimaks menuju akhir masih banyak ruang kosong berisi pertanyaan. Sayang sekali. Tapi novel ini masih worth reading dan menjadi salah satu list wajib novel Ahmad Tohari karena kompleksitas ceritanya.

Dari 1-5 aku akan memberi 3.5.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun