Mohon tunggu...
Gina Magfirah
Gina Magfirah Mohon Tunggu... Lainnya - Book Reviewer

Seorang polymath yang cinta novel kelas menengah (bukan kelas berat).

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Review "Selasa bersama Morrie" [Ngeracun]

14 Januari 2021   23:18 Diperbarui: 14 Januari 2021   23:32 2919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sesungguhnya Mitch, begitu kita ingin tahu bagaimana kita mati, berarti kita akan belajar bagaimana kita harus hidup"

Judul: Selasa Bersama Morrie (Tuesday with Morrie)
Penulis: Mitch Albom (1997)
Halaman: 220 Hal

Sinopsis

Bagi kita mungkin ia sosok orangtua, guru, atau teman sejawat. Seseorang yang lebih berumur, sabar dan arif, yang memahami Anda sebagai orang muda penuh gelora, yang membantu Anda memandang dunia sebagai tempat yang lebih indah, dan memberitahu Anda cara terbaik untuk mengarunginya.

Bagi Mitch Albom, orang itu adalah Morrie Schwartz, seorang mahaguru yang pernah menjadi dosennya hampir dua puluh tahun yang lampau.

Barangkali, seperti Mitch, Anda kehilangan kontak dengan sang guru sejalan dengan berlalunya waktu, banyaknya kesibukan, dan semakin dinginnya hubungan antarmanusia.

Tidakkah Anda ingin bertemu dengannya lagi, untuk mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaan besar yang masih menghantui Anda, dan menimba kearifan guna menghadapi hari-hari sibuk Anda dengan cara seperti ketika Anda masih muda?

Bagi Mitch Albom kesempatan kedua itu ada karena suatu keajaiban telah mempertemukannya kembali dengan Morrie pada bulan-bulan terakhir hidupnya. Keakraban yang segera hidup kembali di antara guru dan murid itu sekaligus menjadi sebuah ''kuliah'' akhir: kuliah tentang cara menjalani hidup. Selasa Bersama Morrie menghadirkan sebuah laporan rinci luarbiasa seputar kebersamaan mereka. 

Ngeracun

[hanya untuk orang-orang yang oke dengan spoiler] 

I must say this is the first book that has made me shed tears, serius. Sesedih-sedihnya sebuah buku aku enggak pernah tau rasanya menangis karena buku, jadi aku mau tepuk tangan karena telah jadi buku pertama yang membuatku menangis tersedu-sedu dan galau seharian (padahal galau sehariannya didukung juga oleh selesainya membaca buku tentang tragedi politik 1965: "Kenangan Tak Terucap: Saya, Ayah, dan Tragedi 1965" di hari yang sama selesainya membaca Selasa Bersama Morrie).

Buku ini akan lama kusimpan di lemari dan enggak akan pernah kubaca lagi bagian akhirnya, karena bersedih akibat film/nonton video youtube/buku hanya akan merusak moodku seharian. I often got carried away my emotion after that. Sepertinya sudah banyak resensi dan ulasan tentang konten yang dibawakan buku ini, jadi aku akan bercerita tentang penyajian bukunya saja.

Mungkin banyak orang yang agak klinger dengan buku ini, ini fiksi atau nonfiksi?

Kalau secara kategori di goodreads, ini adalah nonfiksi, memoar dan biografi. Tapi kok aku lebih melihat ini seperti novel Laskar Pelangi atau Surat Kecil Untuk Tuhan ya? Diadaptasi dari kisah nyata namun diberi bumbu-bumbu khas novel. Jadi dalam pandanganku ini adalah sebuah novel fiksi yang diadaptasi dari kisah nyata.

Well, semua orang boleh mendebat ini, hanya masalah preferensi kategori saja. And by the way, jangan bingung karena cover buku best seller ini sudah ganti berkali-kali saking seringnya dicetak ulang. Asalkan judulnya sama, aku rasa itu masih bukunya Mitch Albom dengan isi yang sama persis.

Jadi buku ini dibuat seakan-akan kita sedang mengikuti berada di masa kuliah, ada penuturan kurikulum, silabus, materi 'perkuliahan' sampai di akhir yaitu wisuda. Tentu saja ini pendekatan yang berbeda dari sebuah buku. Mitch merupakan seorang mahasiswa yang disukai Prof. Morrie Schwartz saat kuliah Jurusan Sosiologi di Universitas Brandeis dan mereka punya panggilan akrab yaitu 'coach' dan 'player'.

Namun sayangnya setelah lulus Mitch sibuk dengan dunianya dan tidak pernah menemui profesornya lagi sampai enam belas tahun kemudian ia melihat Morrie masuk ke dalam acara Nightline milik Ted Koppel. Faktanya Morrie memang ada di acara itu ya, so it's basically real. Kita bisa temukan Morrie asli di youtube acara Nightline.

Barulah pertemuan-pertemuan Mitch dengan Morrie dimulai setiap selasa, diiming-imingi kuliah terakhir dengan mata kuliah 'kehidupan' sebelum Morrie meninggal karena penyakit ALS.

Setiap pertemuan yang dibuat kurang lebih telah merangkum setiap aspek kehidupan manusia. Mulai dari percintaan, keluarga, uang, emosi, kematian, budaya. Yah persahabatan tidak dibuat jadi judul tersendiri, tapi aku bisa baca itu semua melalui persahabatan Morrie dan Mitch.

"Dan cinta adalah sesuatu yang membuat kita tetap hidup, bahkan setelah kita mati."

Buku ini tidak hanya dilengkapi oleh cerita tentang setiap pertemuan Morrie dan Mitch, tapi juga ada tentang legenda, kisah-kisah kecil yang dibuat Morrie, kehidupan Morrie sebelumnya dan juga kilas balik Mitch saat ia masih di perkuliahan bersama Professor. Alurnya bisa dibilang maju-mundur.

Morrie bisa masuk ke hati pembaca semua karena ia benar-benar menghayati setiap detik dalam hidupnya, bukan yang asal 'lewat' saja. Nasihat dan teguran dia soal hidup itu adalah benar karena dia memang telah melalui itu semua. Ia mengajar melalui pengalaman jadi aku percaya dengan apa yang dikatakan Morrie.

Bagian favoritku adalah di bagian keluarga, terutama tentang anak. Mitch sendiri punya keraguan tentang pernikahan dan memiliki anak, sehingga dalam kesempatan ini ia minta pendapat Morrie tentang anak. I feel related to it, karena aku tau benar rasanya seperti yang dibilang Morrie.

"Pengalaman mempunyai anak tidak ada bandingannya. Tidak ada yang sepadan menggantikannya. Kita tidak dapat menggantikannya dengan seorang pacar. Kalau kita ingin merasakan tanggung jawab sepenuhnya kepada sesama manusia, dan belajar mencintai serta menjalin ikatan yang sedalam-dalamnya, tidak ada cara lagi selain mempunyai anak."

Mitch juga menceritakan tentang proses bertambah parahnya penyakit yang menggerogoti Morrie sehingga semakin dekatlah ajal Morrie. Kematian memang menakutkan, apalagi kalau kita punya kalender yang bisa menunjukkan kapan kita akan meninggalkan dunia ini.

Kalau membaca buku ini aku harap enggak ada yang menganggap bahwa ini adalah buku yang mempersiapkan kematian --yah bisa jadi juga-- tapi akan lebih baik kalau kita bawa perspektif untuk belajar tentang esensi untuk hidup itu apa.

What we should do to make the best in our lives, bukan tentang materi dan pencapaian yang kita ingin dapatkan, tapi tentang bersikap seharusnya dalam menjadi manusia. Kesalahan yang harus dihindari, memberi perhatian terhadap hal-hal kecil ataupun bersikap penuh terhadap diri sendiri tanpa ada kepalsuan.

-Enam belas tahun lalu saat wisuda- Ia (Morrie) bertanya apakah kami akan terus berhubungan, maka tanpa ragu-ragu aku menjawab, "Tentu saja." Ketika melepas pelukannya, kulihat ia menangis.

Dari 1-5 aku akan memberi 4.8

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun