"Sesungguhnya Mitch, begitu kita ingin tahu bagaimana kita mati, berarti kita akan belajar bagaimana kita harus hidup"
Judul: Selasa Bersama Morrie (Tuesday with Morrie)
Penulis: Mitch Albom (1997)
Halaman: 220 Hal
Sinopsis
Bagi kita mungkin ia sosok orangtua, guru, atau teman sejawat. Seseorang yang lebih berumur, sabar dan arif, yang memahami Anda sebagai orang muda penuh gelora, yang membantu Anda memandang dunia sebagai tempat yang lebih indah, dan memberitahu Anda cara terbaik untuk mengarunginya.
Bagi Mitch Albom, orang itu adalah Morrie Schwartz, seorang mahaguru yang pernah menjadi dosennya hampir dua puluh tahun yang lampau.
Barangkali, seperti Mitch, Anda kehilangan kontak dengan sang guru sejalan dengan berlalunya waktu, banyaknya kesibukan, dan semakin dinginnya hubungan antarmanusia.
Tidakkah Anda ingin bertemu dengannya lagi, untuk mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaan besar yang masih menghantui Anda, dan menimba kearifan guna menghadapi hari-hari sibuk Anda dengan cara seperti ketika Anda masih muda?
Bagi Mitch Albom kesempatan kedua itu ada karena suatu keajaiban telah mempertemukannya kembali dengan Morrie pada bulan-bulan terakhir hidupnya. Keakraban yang segera hidup kembali di antara guru dan murid itu sekaligus menjadi sebuah ''kuliah'' akhir: kuliah tentang cara menjalani hidup. Selasa Bersama Morrie menghadirkan sebuah laporan rinci luarbiasa seputar kebersamaan mereka.Â
Ngeracun
[hanya untuk orang-orang yang oke dengan spoiler]Â
I must say this is the first book that has made me shed tears, serius. Sesedih-sedihnya sebuah buku aku enggak pernah tau rasanya menangis karena buku, jadi aku mau tepuk tangan karena telah jadi buku pertama yang membuatku menangis tersedu-sedu dan galau seharian (padahal galau sehariannya didukung juga oleh selesainya membaca buku tentang tragedi politik 1965: "Kenangan Tak Terucap: Saya, Ayah, dan Tragedi 1965" di hari yang sama selesainya membaca Selasa Bersama Morrie).
Buku ini akan lama kusimpan di lemari dan enggak akan pernah kubaca lagi bagian akhirnya, karena bersedih akibat film/nonton video youtube/buku hanya akan merusak moodku seharian. I often got carried away my emotion after that. Sepertinya sudah banyak resensi dan ulasan tentang konten yang dibawakan buku ini, jadi aku akan bercerita tentang penyajian bukunya saja.
Mungkin banyak orang yang agak klinger dengan buku ini, ini fiksi atau nonfiksi?
Kalau secara kategori di goodreads, ini adalah nonfiksi, memoar dan biografi. Tapi kok aku lebih melihat ini seperti novel Laskar Pelangi atau Surat Kecil Untuk Tuhan ya? Diadaptasi dari kisah nyata namun diberi bumbu-bumbu khas novel. Jadi dalam pandanganku ini adalah sebuah novel fiksi yang diadaptasi dari kisah nyata.