Mohon tunggu...
Gillmar Betara
Gillmar Betara Mohon Tunggu... Freelancer - Kebun Komorebi

parenting, science, football

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Belajar ke Gondangdia

4 September 2023   23:58 Diperbarui: 5 September 2023   00:04 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Lain kali, kalau ke sini lagi, Ana mau telurnya," timpal A, sebutan kami untuk putri kami yang baru berusia 5 tahun.

"Kalau papa mau nyoba tumis pare sama kikilnya ah," sambutku. "Kalau mama apaan?"

"Mama kabita cumi hitamnya sama telur dadarnya. Haha," si mama menyahut

Saat itu kami sedang beranjak pulang setelah berkunjung ke Perpustakaan Jakarta di Taman Ismail Marzuki (TIM) di Cikini. Berangkat menggunakan KAI Commuter dari Stasiun Depok Baru dan biasanya kami turun di Stasiun Cikini untuk kemudian melanjutkan dengan berjalan kaki hingga ke TIM. Namun, untuk kali ini kami memutuskan untuk mencoba turun di Stasiun Gondangdia. Mencoba hal baru. Di usia yang kelimanya, biasanya putri kami sedang mencari stabilitas. Memilih hal-hal yang sudah biasa ditemui atau dilakukan (familiar) menjadi penanda utamanya. Cukup terkejut sesungguhnya saya saat A setuju untuk mengubah stasiun turun menjadi Stasiun Gondangdia.

Kami memiliki misi bersama juga masing-masing pada perjalanan kali ini. Menyambut hari proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 78, alih-alih merayakan dengan berpartisipasi di bermacam-macam lomba 17an, saya berpikir akan lebih mendidik jika kami mampu menalar lebih dalam apa itu peristiwa kemerdekaan. Pertanyaannya sederhana saja, kalau ada peristiwa kemerdekaan, berarti sebelumnya tidak merdeka. Apa itu yang membuat kita tidak merdeka? Pertanyaan ini membawa kami pada ide untuk menelusuri rempah-rempah asli nusantara.

Saya ingat betul, selama saya menempuh jenjang pendidikan formal, mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga saya meraih gelar magister di bidang sistem transportasi, narasi yang diberikan tentang latar belakang peristiwa kemerdekaan tidak pernah berubah. Para penjajah datang ke nusantara karena rempah-rempahnya. Narasi ini terus bersemayam di kepala saya. Tapi kemudian, saya mencoba untuk sedikit mengusiknya. Allhamdulillah A dan mamanya pun setuju dengan recana ini. Idenya adalah membuat peta jalur rempah nusantara yang menjadi incaran para penjajah di masa lalu. Artinya, kami perlu mencari buku tentang rempah-rempah nusantara untuk menjadi referensi kami. Pilihan jatuh pada Perpustakaan Jakarta di TIM.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Dahulu kala, saat A masih berusia 3 tahun, A pertama kali kami ajak menggunakan KRL. Saat itu tujuan kami adalah Kota Bogor. A bersama mamanya (saat itu saya tidak bisa ikut karena ada kegiatan) berangkat dari Stasiun Universitas Indonesia dan turun di Stasiun Bogor. Kemudian, A dan mamanya langsung berangkat lagi dari Stasiun Bogor kembali ke Stasiun Universitas Indonesia. Saya ingat betul, hari itu adalah salah satu hari yang ingin sekali saya ulang. Alasannya? Karena saya melewatkan momen pertama kali A menggunakan KRL dan terutamanya lagi adalah saya melewatkan momen dimana A yang super excited ketika menggunakan KRL.

"Ana suka naik KRL?" tanyaku saat A dan mamanya sudah kembali dari petualangannya

"Iyaaa," jawabnya dengan semangat, diiringi senyuman yang menghangatkan hati.

"Kapan-kapan mau naik KRL lagi?" tanyaku lagi.

"Mauuu!" jawabnya tanpa ada keraguan sedikit pun.

Ingat saat Lionel Messi akhirnya mengangkat trofi Piala Dunianya yang pertama dan mungkin terakhir di usianya yang ke 35 tahun setelah mengalami kekalahan di 4 pertandingan final yang diikutinya sebelum Piala Dunia ini? Seperti itulah kurang lebih yang saya rasakan saat itu. Rasa kemenangan setelah melalui dan menaklukan banyak kegagalan. Buah keberhasilan dari determinasi dan dedikasi dalam jangka waktu yang panjang.

Menggunakan KRL kelihatannya seperti hal yang remeh temeh. Tapi jika ditelusuri lebih dalam, ternyata tidaklah sesederhana yang banyak orang kira. Teringat ketika saya sedang dalam melakukan perjalanan menggunakan KAI Commuter Jabodetabek (kali ini saya sedang melakukan perjalanan sendiri). Saat itu posisi saya berdiri menghadap ke jendela kereta sehingga mudah bagi saya untuk mengamati beragam aktivitas yang terjadi di luar sana. Satu yang paling menarik saya saat itu adalah kemacetan lalu lintas yang terjadi. Saya (juga banyak orang lain) naik KRL dan mereka naik kendaraan pribadi. Ini aneh! Sungguh aneh! pikir saya sambil tertawa miris di dalam hati.

Semua orang paham betul menggunakan transportasi publik (dalam konteks ini adalah KRL) memberikan keuntungan yang jauh lebih besar relatif terhadap kendaraan pribadi. Menjadi tanda tanya buat saya ketika mendapatkan fakta bahwa total pengguna KRL tertinggi telah mencapai 1,2 juta penumpang dalam setahunnya. Angka ini tentu saja besar, namun tidak cukup besar karena berarti bahwa masih banyak penduduk Jabodetabek yang bukan pengguna KRL. Pertanyaannya adalah kenapa tidak semua orang menggunakan KRL? Bukannya semua orang paham betul bahwa KRL lebih baik (baca: cepat, murah, aman, nyaman) ketimbang kendaraan pribadi? Bahkan para ahli, praktisi, atau pemangku kebijakan, juga tidak semua menggunakan KRL padahal ilmu mereka tentang seluk beluk keuntungan dari moda transportasi publik ini sudah lebih dari istimewa?

Sebagai seorang magister dalam bidang sistem transportasi yang menempuh tujuh tahun masa studi saya, saya melahap berjuta materi tentang sistem transportasi. Bahwa transportasi publik adalah sistem yang lebih baik daripada sistem transportasi pribadi, itu pesan utamanya. Bahwa kerugian yang ditanggung negara akibat kemacetan, polusi, dan lain sebagainya yang membumbung tinggi mengikuti fungsi nonlinear adalah konsekuensi dari praktik sistem transportasi pribadi, telah menjadi fakta yang tidak terbantahkan. Fakta yang selalu diangkat dalam setiap diskusi transportasi. Bahkan ketika topik bahasan diskusinya pun bukan tentang itu, ada saja celah untuk mengangkatnya.

Bukan moda transportasi yang menjadi tolak ukur dalam sistem transportasi, melainkan orang atau penumpangnya. Atau muatannya ketika berbicara tentang sistem transportasi barang. Sebuah mobil dapat mengangkut sebanyak 3 hingga 7 orang tiap perjalanannya. Sebuah bus dapat mengangkut sebanyak 50 hingga 60 penumpang tiap perjalanannya. Tiap kereta dalam rangkaian KRL dapat mengangkut hingga 175 orang sehingga satu rangkaian KRL yang terdiri dari 10 kereta, dalam satu perjalanannya, bisa mengangkut hingga 1750 orang. Satu rangkaian KRL sebanding dengan 250 mobil kapasitas 7 penumpang. KRL (atau transportasi publik lainnya) mampu memindahkan orang dalam jumlah yang jauh lebih besar, waktu yang lebih singkat, emisi karbon yang lebih efisien, dan biaya yang jauh lebih mengundang senyum dibandingkan dengan kendaraan pribadi. Efisien, ekonomis, ramah lingkungan, kurang lebih fakta-fakta seperti ini yang selalu didengungkan. Murah, cepat, aman, nyaman, begitu bahasa awamnya.

Lebih jauh lagi, bahwa perilaku tiap-tiap pengguna transportasi dalam mengekspresikan pola preferensinya dianggap didasarkan pada sifat transitivitas matematis, ini juga jargon yang selalu diberi penekanan khusus. Setiap orang adalah logis dan orang yang logis diyakini mengikuti sifat transitivitas matematis, setiap orang akan memilih A lalu B lalu C ketika A memiliki nilai yang lebih baik daripada B dan B daripada C. Tapi nyatanya, walaupun A jauh lebih baik daripada C, banyak orang tetap memilih C. Bayangkan A adalah KRL, B adalah bus, dan C adalah kendaraan pribadi. Saat KRL lebih baik (baca: murah, cepat, aman, nyaman) daripada Bus dan Bus lebih baik daripada kendaraan pribadi, maka seharusnya semua orang memilih KRL. Secara lebih sederhana, karena seharusnya setiap orang adalah makhluk logis maka seharusnya setiap orang menggunakan KRL. Tapi nyatanya, kemacetan lalu lintas tetap terjadi. Artinya, banyak orang yang tetap memilih kendaraan pribadi.

Saya terhenyak sendiri saat menyimpulkan ternyata tidak semua orang logis. Termasuk juga saya. Saya seringkali bisa membuat seribu alasan untuk tidak menggunakan KRL, tapi seringkali kesulitan untuk menyebutkan satu alasan saja untuk menggunakannya. Bagaimana bisa seperti itu, itu pertanyaan saya. Ini pula lah yang mendasari kami untuk memperkenalkan KRL pada putri kami.

Dari sebelum A lahir, saya dan istri bulat dengan keputusan kami untuk menempuh pendidikan berbasis rumah (homeschooling). Ide inti (core idea) kami sederhana, pendidikan itu lahir dari dalam diri (intrinsik) yang juga dialami dan dihidupi, bukan hanya disebutkan, dituliskan, atau dibaca. Contohnya sesederhana ini, saya menyediakan sayur untuk anak saya bukan hanya karena para ahli medis mengatakan bahwa sayur itu baik untuk tubuh atau karena semua buku menyatakan bahwa sayur itu menyehatkan tubuh, tetapi karena memang kami suka makan sayur dan sayur selalu terhidang di setiap waktu makan kami sebagai pola makan harian dalam keluarga kami. Contoh lain lagi, buku. Kami menyediakan banyak buku untuk A juga membacakannya, bukan hanya karena kami ingin A bisa baca buku saja tetapi karena kami memang suka membaca buku. Kami mendorong A untuk belajar karena kami memang suka belajar, seperti itu konsep pendidikan berbasis rumah yang kami yakini dan amini.

Begitu juga dengan penggunaan transportasi publik. Kami mengajak A menggunakan KRL karena kami memang suka dan sering menggunakannya. Saya ingin memutus rantai ini sehingga saya perlu menjadikan KRL sebagai moda transportasi dalam perjalanan kami. menjadikan KRL menjadi bagian dalam kehidupan kami.

Segala teori, fakta-fakta di lapangan, dan pembuktian matematis tentang perilaku pengguna transportasi tidaklah memiliki makna ketika tidak dihidupi. Saya dibesarkan di lingkungan keluarga dan sosial yang memandang kepemilikan kendaraan pribadi sebagai pertanda status sosial. Menjadikan saya lebih cenderung pada kendaraan pribadi. Sedangkan kawan saya yang besar dalam lingkungan keluarga dan sosial yang berbeda 180 derajat dari saya justru keheranan melihat orang-orang (termasuk saya) yang sudah gelisah saja padahal baru tahap memikirkan harus menggunakan transportasi publik. Mungkin heran juga melihat tidak sedikit dari jajaran menteri (dan para pemangku kebijakan lainnya) yang tidak pernah menggunakan KRL untuk perjalanan komuternya.

Belajar memang tidak bisa hanya dari teori tetapi harus dialami bahkan dihidupi. Bagi kami keluarga homeschooler, perjalanan menggunakan KRL menjadi salah satu metode pembelajaran yang bisa kami alami langsung dan hidupi dengan menyenangkan. Gelar magister saya tidak ada gunanya ketika menggunakan KRL tidak menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Perjalanan KRL yang cepat, murah, aman, nyaman tidak bisa hanya di atas kertas, harus dialami dan dihidupi dengan hati senang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun