Mohon tunggu...
Gilig Pradhana
Gilig Pradhana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

adalah aktivis Muhammadiyah yang mengidamkan pendidikan yang revolusioner. Dulunya pernah menjadi Kepala SMK di Jember, kini mengikuti pelatihan guru di Hyogo University of Teacher's Education, Jepang. Punya rumah di www.gilig.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

BNPT: Mengajari Anak Mengaji dan Shalat Adalah Bentuk Radikalisasi

17 Juni 2015   15:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:39 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, menyatakan bahwa saat ini sudah tidak ada lagi yang namanya radikalisme dalam agama.

Dalam sebuah seminar bertajuk “Radikalisme Agama dalam Perspektif Global dan Nasional,” di Auditorium Harun Nasution, UIN Syarif Hidayatullah Kamis lalu, Irfan juga mengatakan bahwa pada dasarnya semua agama mengajarkan para pemeluknya untuk menjadi radikal.

Radikalisasi itu saya kira sebuah upaya pemberian pemahaman secara komprehensif,” ucapnya.

Jadi menurut Irfan, Radikal di sini, menurutnya, berarti memiliki pemikiran yang sistematis dan obyektif dalam beragama. Irfan juga mengatakan jika Radikalisme merupakan sebuah cara agar pemeluk agama bisa memahami agamanya, misalnya saja mengajarkan anak-anak mengaji dan salat.

Irfan juga menyebut istilah radikal dan terorisme, menurutnya, kedua hal tersebut tidak benar karena menjadikan agama sebagai prioritas atau hegemoni.

“Itu karena menjadikan agama atau ideologi sebagai hegemoni,” ucapnya.

Beberapa waktu lalu, istilah radikalisme sempat menjadi bahan perbincangan setelah beberapa website berbau Islam diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika atas rekomendasi drai BNPT. Pemblokiran dilakukan dengan alasan website menyebarkan faham radikal.

Saya sengaja kutipkan penuh berita dari website sharia.co.id supaya pembaca bisa memahami maksud judul di atas. 

Setelah sekian lama masyarakat luas dipengaruhi oleh media massa dengan standar yang bias. Di satu sisi media banyak melabeli aktivitas kekerasan yang dilakukan sekelompok umat beragama dengan tindakan radikalisme (bukan paham) namun di sisi lain aktivitas kekerasan yang dilakukan oleh partai atau aparat kepolisian (khususnya Densus 88) tidak dikaitkan dengan label yang sama. Pelabelan yang terus-menerus ini mengendap di citra masyarakat, sehingga banyak yang mewacanakan pencegahan radikalisasi agama, menyimpang dari makna "radikal".

Langkah klarifikasi BNPT ini bak menjilat ludah sendiri mengingat program deradikalisasi justru dicanangkan oleh BNPT sendiri saat mengusulkan pembangunan pusat deradikalisasi di Kompleks International Peace and Security Center (IPSC), Sentul, Bogor, Jawa Barat. Sehingga wajar jika masyarakat banyak yang tidak menerima.

Tentu saja langkah BNPT untuk menjernihkan pemahaman masyarakat mengenai radikalisme tidak boleh berhenti di sini saja. Masih banyak kebingungan masyarakat yang mempertanyakan standar pelabelan, seperti "terorisme", dan juga standar operasi, seperti pembunuhan terduga teroris yang jelas-jelas mengangkangi asas praduga tak bersalah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun