Sebenarnya anda tidak saya harapkan untuk membaca hingga ke bagian ini karena pastinya sudah dapat menangkap maksud perumpamaannya, namun baiklah kalau masih perlu saya jelaskan bagaimana analogi ini menjelaskan pacaran sebagai sebuah kemaksiatan.
Pacaran kerap menggunakan alasan sebagai sarana untuk saling mengenal, namun aktivitas yang ada di dalamnya hampir selalu adalah berdua-duaan, berpegangan tangan, saling merayu dan bertutur kata mesra yang mana semua itu dilarang dalam agama Islam, yang mengajarkan kepada manusia cara memuliakan wanita. Karena dilarang, maka melanggarnya ibarat membuka bungkus, yang wajar kita temui membuka bungkus coklat itu hanya berhak dilakukan oleh orang yang sudah membayar harganya.
Kemudian, pacaran juga ditutup-tutupi dengan alasan tidak berbuat yang aneh-aneh, yang tentu saja jika dibandingkan dengan standar Barat. Pacaran cuma untuk menunjukkan status bahwa keduanya sedang menjajagi satu-sama lain. Sementara semua orang tahu, bahwa status itu hanya ada dua: belum menikah atau sudah menikah. Sebagaimana di toko pun status itu: Belum membeli coklat atau sudah membeli coklat. Bukankah cukup aneh kalau ada orang yang belum membeli coklatnya namun berani membawanya keluar toko? Sama anehnya bila ada pemuda yang melum menikahi putri anda namun berani membawanya keluar jalan-jalan?
Bila telah kehilangan rasa aneh kepada kemaksiatan yang dilakukan terang-terangan, generasi kita telah dihinggapi budaya yang menjijikkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H