Pendahuan
Krisis Suriah, yang dimulai pada tahun 2011, merupakan salah satu konflik yang paling mengerikan pernah terjadi di abad ini. Berawal dari protes damai, konflik ini berkembang menjadi perang saudara dengan berbagai pihak domestik dan internasional. Perang ini tidak hanya mengubah Suriah, tetapi juga mengubah stabilitas di seluruh Timur Tengah. Di balik peperangan yang berlangsung lebih dari sepuluh tahun inim ada banyak variabel yang memengaruhi politik internal Suriah, perubahan dalam aliansi geopolitik, dan konsekuensi luas dari krisis tersebut.
Latar Belakang konflik
Faktor-faktor yang beragam, termasuk ketidakpuasan sosal, ekonomi, dan politik, serta ketegangan internasional yang semakin meningkat, menentukan awawl Krisis Suriah, yang dimulai pada tahun 2011. Sejak Presiden Bashar al-Assad mengambil alih kekuasaan pada 10 Juli 2000, setelah ayahnya, Hafez al-Assad, reformasi di Suriah belum berjalan, meskipun ada potensi perbaikan. Ketidakpuasan direspon oleh pemerintahan Assad dengan penindasan, pembatasan kebebasan politik, dan penggunaan kekuatan militer untuk mengatasi demonstrasi. Setelah sejumlah anak muda ditangkap dan dipenjara karena menulis slogan anti-pemerintah, protes di kota Daraa dimulai pada 2011, memicu demonstrasi di berbagai kota besar. Pemerintah menanggapi dengan kekerasan, dan demonstrasi yang awalnya damai berubah menjadi pemberontakan bersenjata
Selain ketidakpuasan di dalam negeri, krisis ini diperburuk oleh faktor-faktor internasional. Negara-negara besar dan kekuatan regional seperti Rusia dan Iran mendukung Assad, sementara AS, Turki, dan negara-negara Teluk mendukung kelompok oposisi. Selain itu, konflik ini meningkatkan ketegangan sektarian antara Sunni dan Syiah; negara-negara Sunni seperti Arab Saudi dan Qatar mendukung oposisi, sedangkan Iran dan Hizbullah mendukung Assad. Ketidaksepakatan ini, bersama dengan ketidakmampuan komunitas internasional untuk membuat kebijakan yang konsisten, memperburuk keadaan dan menimbulkan ketegangan geopolitik yang signifikan. Konflik telah mengubah struktur politik dan sosial Suriah, mengganggu stabilitas wilayah, dan menyebabkan krisis pengungsi yang signifikan.
Dimensi Geopolitik Krisis Suriah
Krisis Suriah bukan hanya konflik di dalam negeri; itu juga menjadi medan pertempuran bagi berbagai kekuatan internasional dan regional yang memiliki berbagai tujuan. Rusia dan Iran adalah dua kekuatan utama di dunia yang mendukung pemerintah Bashar al-Assad. Dengan tujuan mempertahankan kekuatan geopolitiknya dan mempertahankan pangkalan militernya di Laut Mediterania, seperti Tartus dan Hmeimim, Rusia melihat Suriah sebagai sekutu strategis di Timur Tengah. Selain itu, dukungan Rusia terhadap Assad berfungsi sebagai cara untuk mengimbangi pengaruh Barat, terutama Amerika Serikat, yang terlibat dalam konflik tersebut. Untuk mempertahankan dominasinya di Timur Tengah dan mencegah ancaman terhadap stabilitas global, Rusia menggunakan keberadaannya di Suriah sebagai bagian dari strategi lebih luas.
Selain itu, Iran sangat dekat dengan Suriah. Bagi Iran, Suriah adalah sekutu politik dan bagian dari jaringan aliansi Syiah di wilayah tersebut, termasuk kelompok Hizbullah di Lebanon dan milisi Syiah di Irak. Iran tidak hanya memberikan dukungan militer, tetapi juga memastikan bahwa pengaruhnya tetap di Suriah, yang dianggapnya penting untuk melawan ancaman dari negara-negara Sunni seperti Arab Saudi dan untuk mempertahankan keseimbangan kekuatan di Timur Tengah. Bashar al-Assad berada di Suriah untuk memperkuat pengaruhnya di negara tersebut dan mengamankan jalur pasokan logistik untuk mendukung sekutunya.
Sebaliknya, Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya, termasuk Prancis dan Inggris, terlibat dalam konflik ini dengan tujuan utama untuk menggulingkan rezim Assad. Mereka berusaha mengurangi pengaruh Iran yang semakin kuat di Suriah dengan mendukung kelompok oposisi yang mereka anggap lebih moderat dan demokratis. Meskipun demikian, AS juga berpartisipasi dalam memerangi kelompok teroris seperti ISIS, yang muncul di tengah kekacauan yang ditimbulkan oleh perang saudara. Dalam hal ini, Amerika Serikat mengimbangi kebijakannya antara melawan ancaman terorisme internasional dan mendukung oposisi Suriah.
Keterlibatan negara-negara Teluk, terutama Arab Saudi dan Qatar, membuat konflik ini lebih kompleks dari segi geopolitik. Negara-negara ini mendukung oposisi Suriah karena kepentingan ideologis mereka dalam menanggapi dominasi Syiah yang dipimpin oleh Iran dan kekhawatiran mereka tentang pengaruh Iran yang meningkat. Akibatnya, mereka mendukung kelompok-kelompok oposisi yang dapat mengurangi posisi strategis Iran di Suriah. Meskipun demikian, karena Turki memiliki perbatasan langsung dengan Suriah, negara tersebut secara aktif berupaya memerangi kelompok Kurdi di utara Suriah, yang dianggap sebagai ancaman bagi keamanan nasional Turki. Oleh karena itu, Turki melakukan operasi militer di Suriah untuk memerangi Pasukan Perlindungan Rakyat (YPG), yang berafiliasi dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), yang dianggap sebagai kelompok teroris.