Cisweu adalah sebuah kecamatan di kabupaten Garut yang tidak banyak orang mengetahuinya. Namun, belakangan mendadak viral karena adanya surga yang tersembunyi di Kabupaten Garut bagian selatan ini. "Curug Rahong", itulah nama objek wisata yang baru saja menajdi perbicangan hangat di kalangan para pemburu spot wisata yang instagramable.Â
Selain terkenal dengan objek wisata Curug Rahong yang mendapatkan julukan blue lagoon of Cisewu, Kecamatan tersembunyi ini juga belakangan terkenal dengan sosok maung lucu yang merupakan maskot di markas Komando Rayon Militer 1123 Cisewu, yang mendadak viral di media sosial karena menurut sebagian orang akan paras patung maung (harimau) yang lucu.
Menurut saksi sejarah, yang merupakan keturunan Dalem Bintang yaitu dalem yang pernah mendapatkan penghargaan dari pemerintah karena kecakapannya dalam hal kepemimpinan serta keterangan lain bahwa kecamatan yang saat ini dikenal Cisewu, pada awalnya bernama Ciangsara yang berarti tempat yang penuh kesengsaraan.Â
Dinamakan demikian karena pada awalnya tempat ini adalah tempat pembuangan para tahanan Belanda, serta sebagai tempat pelarian bagi para pejuang penentang Belanda atau dikenal dengan istilah Pamubusan yang sekarang menjadi nama salah satu tempat yang ada di Cisewu, Pamubusan dalam bahasa Indonesia berarti tempat persembunyian.
Abad ke-18 daerah Ciangsara adalah daerah yang dikenal angker, selain terdiri dari perbukitan, juga merupakan tempat pembuangan mayat-mayat tahanan Belanda.Â
Dimasa itu para pejuang yang melarikan diri ke daerah Ciangsara berasal dari berbagai daerah di Jawa Barat, yang saat itu berada di kekuasaan kerajaan Padjajaran, diantaranya berasal dari Tasikmalaya yang merupakan basis kekuasaan Kerajaan Galuh, Kerajaan Nangkaruka Bungbulang, Kerajaan Jampang-Surade Sukabumi, serta para pejuang yang berasal dari Bandung.Â
Bahkan menurut keterangan dari sesepuh di daerah Cisewu ada pula yang berasal dari Kerajaan Solo Jawa Tengah. Para pejuang yang lari ini lah yang kemudian menjadi asal usul penduduk yang menghuni daerah Ciangsara yang kita kenal dengan sebutan Cisewu saat ini.
Untuk mempertahankan keturunannya para pejuang yang lari ke Cisewu ini kemudian melakukan perkawinan saudara, supaya garis keturunannya tidak terputus. Selain bertujuan mempertahankan keturunan secara politisasi perkawinan ini juga bertujuan untuk memperkuat persatuan demi melawan para penjajah Belanda saat itu.
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa para pejuang yang lari ke daerah Ciangsara ini tidak sembarang orang melainkan juga merupakan keturunan-keturunan ningrat atau menak, hal itu terlihat dari nama-nama para sesepuh di daerah Cisewu seperti Wira Atmaja, Sura Atmaja, Natapraja dan lain-lain.
Para menak-menak ini selalu berkumpul dan bermusyawarah khusus para dalem, yang kemudian menjadi cikal bakal nama sebuah tempat di Cisewu yang dikenal dengan Datar Dilem.Â
Sementara untuk masyarakat biasa mereka biasanya berkumpul di suatu tempat yang dalam istilah sunda dikenal dengan ngampar make samak, yang berarti berkumpil di daerah yang datar beralaskan tikar.Â
Karena tempat ini sering dipakai berkumpul maka kemudian tempat ini sering disebut Cisamak, yang sampai saat ini daerah tersebut masih dikenal dengan sebutan Cisamak.
Sementara untuk para jawara, selama berlangsungnya musyawarah bertugas mengamankan para peserta musyawarah yang dilakukan secara bergiliran atau piket (kampuny piket sekarang, letaknya tidak jauh dari Cisamak), dan Panenjoan ( memantau), yang saat ini menjadi sebuah nama tempat di sebalah Utara kampung piket dan Cisamak.
Sementara asal-usul istilah nama Cisewu sendiri berasal dari dua istilah yaitu "Ci" yang berarti air, dan "Sewu" yang berarti Seribu. Nama Cisewu ini dirumuskan olah para dalem kaum terkait dengan kesejahteraan air yang ada di daerah Ciangsara yang pada saat itu.Â
Daerah ini sempat akan dibangun menjadi pembangkit listrik tenaga air. Terkait hal ini pemerintah Belanda dan para dalem kaum telah membuat patok-patok untuk rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga air, maupun untuk pengairan dan pembangunan jalan suhunan.
Istilah jalan suhunan (jalan diatas atap rumah) sudah mulai dirintis sampai saat ini oleh seorang dosen dari Universitas Padjajaran bernama Dr.H. Gunawan Undang, M.Si., melalui konsepnya yang dikenal dengan "Jamparing". Yang diprediksi akan menjadi akses penghubung Cisewu dan daerah perkotaan sekitarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H