Mohon tunggu...
Gilang Sotya Nugraha
Gilang Sotya Nugraha Mohon Tunggu... Dokter - Interested in medical study, philosophy, and political science

Currently studying at undergraduate program faculty of medicine brawijaya university. Part Of Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Merdeka Belajar dan Diskursus Pendidikan yang Membebaskan Dalam Perspektif Paulo Freire

2 November 2020   23:25 Diperbarui: 3 November 2020   10:01 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

               Sebagaimana kita ketahui bersama, beberapa waktu yang lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui menteri Nadiem Anwar Makarim mewacanakan suatu kebijakan yang disebut merdeka belajar. Kebijakan ini, bagi Nadiem sendiri adalah sebuah fasilitator sekaligus perantara baik bagi mahasiswa-dosen dan murid-guru. Kebijakan ini sendiri dilatarbelakangi oleh permasalahan klasik di dunia pendidikan kita, dimana semua anak dan murid mendapatkan perlakuan dan kurikulum pendidikan yang sama meskipun memiliki bakat dan kemampuan yang berbeda. Hal ini membuat sekolah tak ubahnya sebagai pencetak robot-robot penghafal yang pada akhirnya teralienasi oleh sistem pendidikan itu sendiri, sistem pendidikan yang harusnya mencetak pemuda-pemudi inspiratif dan inovatif, malah pada akhirnya hanya mencetak lulusan yang kaku karena terbebani oleh adanya cacat dalam regulasi birokrasi pendidikan negeri ini. Dengan adanya kebijakan merdeka belajar ini, diharapkan kurikulum terbaru dapat memfasilitasi murid dan mahasiswa untuk dapat menerapkan kebebasan berekspresi dan berinovasi sehingga pada kemudian hari dapat tercipta generasi yang unggul, inovatif, serta progresif 

              Jika kita merujuk pada seorang Paulo Freire, bagi freire, pendidikan tidak seharusnya berupa belenggu bagi seseorang. Pendidikan hendaknya berupa alat pembebasan, baik pembebasan dari kebodohan, keterpurukan, atau bahkan pembebasan dari suatu bentuk penindasan. Sebagaimana diketahui, kebangkitan pemuda yang ditandai oleh berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908 di Indonesia bermula dari mulai terdidiknya para aristokrat-aristokrat dan priyayi yang pada saaat itu memang memiliki privilege khusus dari pihak Belanda akibat adanya politik balas budi pada saat itu. Hal ini adalah sebuah indikasi, bahwa sebuah pendidikan yang membebaskan pada akhirnya bermuara pada suatu bentuk politik pembebasan. Hal tersebut mungkin agak tidak memiliki relevansi jika kita merujuk kepada keadaan sekarang, dimana generasi sekarang (biasa disebut Gen Z) lebih dituntut untuk menjadi pemuda-pemudi kreatif dan visioner, meskipun dalam aspek lain pendidikan politik sebenarnya masih perlu.

              Dari sisi kita memandang pendidikan, hal yang harus kita perhatikan adalah bagaimana hakikat manusia itu sendiri. Menurut Freire, pada hakikatnya, manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu berperan sebagai subjek, sedangkan manusia yang hanya mampu beradaptasi adalah objek. Adaptasi sendiri adalah suatu bentuk penerimaan bahwa manusia tidak dapat merubah realita yang ada sehingga memutuskan untuk mengikuti saja apa yang ada di sekitar dirinya. Sehingga manusia yang harusnya menjadi subjek, pusat dari segala sesuatu, malah menjadi objek yang mengikuti bagaimana segala sesuatu berjalan, dan ini menurut Freire adalah suatu gejala dehumanisasi, penghilangan martabat asli manusia.  Manusia yang tidak mampu mengkritisi, tidak mampu berinovasi, tidak mampu menemukan gagasan-gagasan yang sesuai dengan zaman nya, pada dasarnya tidak dapat melihat segala realitas yang ada di sekitarrnya, dan bagai kayu mati yang hanyut terbawa sungai.

            Bentuk pendidikan pun, sudah seharusnya seperti itu. Tidak seharusnya para murid, mahasiswa, peserta didik,  teralienasi dalam kelas-kelas. Tidak seharusnya ide, pemikiran, gagasan yang mungkin ada di dalam pikiran-pikiran mereka harus terkungkung di dalam penjara yang bernama kelas. Sudah seharusnya mereka dibebaskan untuk memilih gaya pendidikan yang sesuai bagi mereka. Para mahasiswa, murid, peserta didik bukanlah suatu paradigma mekanistik, mesin pasif yang hanya bereaksi untuk menyesuaikan diri. Sudah seharusnya pola pendidikan kita membentuk suatu generasi yang memiliki gagasan progresif demi kemajuan bangsa kita sendiri. Dan hal tersebut hanya dapat diperoleh dengan membuka penjara kurungan kurikulum yang hanya berlandaskan pembelajaran dalam kelas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun