Mohon tunggu...
Gilang Satria Perdana
Gilang Satria Perdana Mohon Tunggu... Penulis - Bapak Rumah Tangga

Bila kita bisa mengumpulkan uang untuk membunuh orang, maka kita juga bisa mengumpulkan uang untuk menyelamatkan orang. (Tony Benn)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kafilah Kanaan

14 Agustus 2013   17:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:19 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laut Merah, 1230 Sebelum Masehi...

Angin sesekali mendesir pelan. Kami semua terdiam, menatap ke depan. Seakan tak percaya dengan apa yang terjadi. Sebuah jalan tanah lembab yang lebar kini terbuka untuk kami pijaki. Dua buah dinding air amat besar menaungi sisi kanan-kiri.

Beliau perlahan tersenyum. “Semuanya, ayo! Jangan buang lebih banyak waktu.” Beliau melangkah perlahan. Kami semua mengikutinya menyusuri tanah basah Laut Merah. Dapat kurasakan dadaku mendentum. Di sisi kanan dan kiri, dapat kulihat jelas para penghuni laut. Mungkin mereka ikut tercengang dengan mukjizat Tuhan. Wahai, Engkau, Sang Sumber Keajaiban, aku berlindung pada-Mu dari segala mara bahaya.

“Ayah...,” demi mengatasi rasa tegang, kuputuskan untuk menggenggam tangan Ayah. Kali ini tak akan kulepas. “Aku takut...”

“Tenang. Adonai ada dan Ia selalu mengawasi kita,” Ayah menenangkan.

Ya. Adonai milik Tuan Moshe, milikku, Ysra’el, milik kita semua.

***

Tanah Goshen, 1229 Sebelum Masehi...

Beliaulah anugerah bagi kami. Bagiku, dan Ayah. Serta seluruh budak Ysra’el.

Bersama Nyonya Zephora dan putra kecil mereka, Tuan Moshe melintasi daratan gersang dan akhirnya tiba di Memphis. Perawakannya jangkung dengan rambut kecoklatan dirimbun uban. Yang membuat aku dan Yakhe merasa aneh terhadapnya adalah, beliau mengenakan pakaian yang tak kami kenakan.

“Naebiya... lihat!” bisik Yakhe sambil menunjuk rombongan yang berjalan perlahan memasuki Memphis. “Penampilan mereka aneh ya...?”

Yakhe benar, penampilan mereka berbeda dengan kami semua, budak-budak Ysra’el. Tapi mereka juga tak dapat digolongkan kerabat Pharaoh.

Aku tak memikirkan soal mereka lagi sejak malam itu aku dan Yakhe asyik menikmati taburan bintang di atas atap gubuk-lumpur—rumahku.

Tapi kemudian semua berubah. Tuan Moshe membawa pelita sekaligus bencana.

Namaku Naebiya, putri Etzhak, budak Ysra’el di Memphis. Ibuku bernama Shaluma, tapi aku belum pernah melihatnya. Kata Ayah, Ibu sedang menempuh perjalanan ke Negeri Barat.

“Mungkin kini ia telah bertemu Osiris,” ujar Ayah, sambil membawaku ke tempat di mana terdapat sebuah gundukan tanah panjang. Kata Ayah, di dalam sini terdapat jasad Ibu yang tak lagi bisa bernapas dan bergerak seperti budak-budak lain.

Saat itu aku belum mengerti. Namun seiring aku beranjak dewasa aku paham semuanya. Bahwa Ibu sudah meninggal tatkala aku masih menyusu.

Berbeda dengan orang-orang istana, kami, para budak, tak layak dimumikan jika kami meninggal. Kata Ayah, kaum budak terlalu hina untuk merasakan keabadian. Piramida hanyalah tempat untuk para raja.

***

Ma nishma?” sapa Yakhe saat kupandangi Tuan Moshe dan Ahron bersama para Medjay yang mengantar mereka keluar istana. Tak terlalu jelas. Karena gubukku berjarak sekitar enam ribu langkah dari istana Pharaoh Hotephermaat.

Aku tak mengenal beliau sebelumnya. Tapi Tuan Moshe telah mengambil hati sebagian besar budak Ysra’el.

Sejak kedatangannya, tiga hari lalu, Tuan Moshe telah banyak berkenalan dengan para budak. Kedatangannya yang tiba-tiba itu disambut oleh tetangga kami, Ahron dan kakak perempuannya, Miryam. Tak kusangka, ternyata mereka memiliki hubungan darah dengan Tuan Moshe. Orang asing itu banyak bercerita pada kami bahwa ia berasal dari sebuah daerah bernama Madyan. Aku belum pernah tahu tentang dunia luar. Aku pikir, dunia ini hanya seluas Memphis dengan kuil-kuil dan Istana Pharaoh-nya.

Tuan Moshe amat murah senyum dan kerap menolong budak yang ada dalam kesulitan. Sungguh kami semua kaum kaum tertindas. Namun Tuan Moshe mene-nangkan kami. Apa yang beliau katakan, tak terlalu kumengerti. Ia berbicara mengenai sebuah kekuatan Maha Besar, lebih dari kekuatan lima ribu Medjay Pharaoh.

“Bukalah hati kalian. Karena sesungguhnya aku datang untuk menyampaikan sebuah kabar gembira, wahai Keturunan Yaqov...” senyum cerah menyungging di bibirnya. Aku amat menaruh harapan besar pada apa yang telah ia katakan.

Karena sesungguhnya aku telah muak dengan semua ritual aneh Pharaoh. Dengan semua titah kejamnya yang tak segan untuk mencabut nyawa budak-budak yang mem-bangkang. Aku tak tega melihat Ayah selalu membanting tulang hanya untuk menyambung napas. Kerja kerasnya mencetak bata dari lumpur Nil untuk disusun menjadi arca-arca Anubis, Ptah, dan Kuil Isis. Tak ada yang dapat kuperbuat demi membantu Ayah. Aku bukan lelaki. Jika beruntung, beberapa bulan lagi aku bisa menjadi dayang Permaisuri Isisnofret. Namun, aku tak yakin, mereka akan menerimaku dengan kulit sebegini merah. Lagipula, aku ini putri budak ‘Ivrit.

Kata Yakhe, orang-orang istana berkulit bersih. Dari dekat, kau bisa mencium harum tubuh mereka. Tak seperti kaum budak yang busuk oleh keringat dan tubuh kami tak pernah berbasuh air, kecuali Nut berbaik hati menurunkan hujannya pada Geb.

Ayah pernah bercerita padaku, “Beberapa masa sebelum aku dilahirkan, Pharaoh Agung menerapkan sebuah peraturan kejam bagi budak Ysra’el.”

“Peraturan apa itu, Ayah?”

“Setiap bayi lelaki budak Ysra’el yang lahir wajib dibunuh,” mata Ayah berkilat miris. “Beruntung kita, lahir setelah peraturan itu dihapus. Dan kau terlahir perempuan.”

Tercengang aku mendengar kata-kata Ayah. “Apa alasan di balik itu semua?”

“Naebiya, putriku... Pharaoh memiliki pemikiran mereka sendiri tentang Tanah Goshen ini. Bersyukurlah pada Ptah dan Pharaoh kita sekarang...”

Semua ini tak dapat akalku terima. Ya, aku akan bersyukur karena aku lahir bukan sebagai lelaki, dan aku akan bersyukur karena Ayah juga terbebas dari peraturan kejam itu. Tapi tidak pada Pharaoh yang wajib aku sembah, secara terpaksa. Tidak pada Ptah, Ra, atau Isis yang berarca raksasa. Tidak pada mereka...

***

Laut Merah...

“Aaarrrhhh!!!” kaum ibu dan para perempuan memekik.

“Ada apa—?” Miryam tergagap. “Pharaoh...! Mereka mendekat!”

“Mereka menyusul! Moshe...!!!” Hamuramheb, ayah Yakhe berseru pada Tuan Moshe yang kini telah sampai di seberang lautan.

Semua menoleh, mimpi buruk itu kian dekat. Bersama para prajurit berkereta kuda dan ratusan singa ganas mengejar demi menangkap kami. Adonai, selamatkan kami!

“Tenang!” Ahron berseru, suara lantangnya menggelegar. “Tak akan ada yang bisa mengejar kita! Kalian harus cepat menyusuri jalan ini! Ayo...!”

***

Adalah Yokheved, istri Amram yang menjadi orangtua Tuan Moshe, Miryam dan Ahron. Aku tahu setelah Ayah menceritakan kembali padaku. Malam itu, setelah bekerja, Tuan Moshe undang banyak budak ke gubuk Miryam dan Ahron untuk men-dengarkan berbagai riwayat dan ceritera yang patut diketahui para budak seperti kami.

Ayah sarankan agar aku tinggal di gubuk. Sebenarnya ingin kutolak dan mendengarkan semua petuah Tuan Moshe. Namun betapa aku tak ingin mengecewakan Ayah. Aku tahu, seharian ini ia lelah mengerjakan Kuil Isis yang belum selesai.

Dalam kisah Ayah, disebutkan bahwa Permaisuri Isisnofret adalah salah satu orang yang berjasa dan amat Moshe cintai selain orangtua asli beliau. Tuan Moshe ternyata adalah seorang anak pungut di Istana Agung. Ibunya, Yokheved, begitu takut akan peraturan keji Pharaoh yang memerintahkan para Medjay untuk membunuh semua bayi lelaki budak Ysra’el. Ia hanyutkan bayi Moshe ke dalam sungai Nil. Beruntung bayi Moshe, ditemukan oleh Sang Permaisuri dan akhirnya dibesarkan di Istana Agung.

“Yokheved? Amram? Aku belum pernah bertemu mereka, Ayah.”

“Naebiya, begitu banyak hal yang belum kau ketahui. Pharaoh Agung amatlah kejam terhadap kita dan menghendaki kita membangun segala macam kuil, arca, bahkan sebuah kota yang luas. Banyak budak yang dikirim ke luar Memphis saat Pharaoh Agung memerintahkan mereka membangun kota Ramses.”

“Kota Ramses?” ini kesekian kalinya aku terkejut. “Pasti amat melelahkan.”

“Hahaha... Tak ada kata lelah bagi kita, Naebiya.” Ayah mengacak-acak rambutku. “Demi Ptah! Ternyata malam makin larut. Ayo, cepat tidur,” Ayah beranjak.

Sungguh aku hanya ingin memikirkan soal Tuan Moshe. Apa yang ia lakukan pada kaum hina seperti kami ini? Mempengaruhi? Atau menyelamatkan?

Jawaban itu kudapat esoknya, tatkala Tuan Moshe bercerita pada kami. Kala pria-pria budak Ysra’el tengah membanting tulang. Tuan Moshe menjelaskan soal ia dan Adonai. Dewa miliknya yang dapat menolong kami dari kekejaman Pharaoh Mernptah.

“Bukan... Adonai bukanlah sekadar dewa. Ialah Sang Pencipta manusia, yang juga menciptakan Pharaoh, dan kita semua. Yang memberikan kita kemampuan untuk menciptakan dewa-dewi sesembahan kalian selama ini. Dialah Sang Kebenaran itu...”

Oh, tidak... Terang-terangan Tuan Moshe membangkang pada Pharaoh!

“Tuan Moshe, tak seharusnya Anda membangkang pada Pharaoh! Bukankah hanya ia yang patut disembah? Pharaoh jelmaan Ptah, pencipta Bumi dan dewa dari segala dewa itu. Iya kan?” Aythuya, kawan Yakhe, protes dengan percaya diri.

Beliau tersenyum penuh kesabaran. “Bagi kalian yang percaya padaku, akan kupersembahkan sebuah kumpulan firman-Nya. Agar kalian dapat hidup dalam kebenaran...” Tuan Moshe memberikan kami sebuah pengharapan baru.

Kurasakan sebuah cahaya bersinar dalam dada.

***

Laut Merah...

“MOSHE...!!! Jangan kau menghindar! MOSHE...!” itu adalah raungan Pharaoh. Dengan marahnya, ia masih mencoba mengejar kami. Untunglah daratan Laut Merah kini telah kosong, tak ada seorang Ysra’el pun yang masih menyebranginya.

“Wahai Pharaoh! Bertaubat dan akuilah Adonai itu sebagai Tuhanmu dan Tuhan Tanah Goshen. Sungguh, Ia Maha Pengampun atas segala dosa yang telah kau buat.”

Namun Pharaoh terlalu masyuk dalam amarah. Diseberanginya dasar Laut Merah yang sepi itu. Angin meribut, dan beberapa kali petir menyabar diikuti rintik hujan.

“Ayah... Ayah, aku takut...!” Ayah mempererat pelukannya.

“Tenang, Tuan Moshe dan Ahron lebih tahu daripada kita.”

***

Maka terbuktilah semua ucapan Tuan Moshe. Saat Festival Ptah, ia bersama Ahron, saudaranya mempertontonkan semuanya di hadapan budak Ysra’el.

Masih kuingat dalam kepalaku, bagaimana tongkat Tuan Moshe berubah menjadi ular besar dan melahap ular-ular sihir milik para pendeta sihir Pharaoh.

Atau kengerian kami semua saat wanita masyitha direbus dalam kuali raksasa karena ia mengakui Adonai sebagai Ilahnya. Seluruh keluarganya pun ikut!

Kengerian yang sama kurasakan saat melihat Permaisuri Isisnofret yang menerima hukuman pancang karena tak lagi mengakui kedigdayaan Mernptah sebagai dewa yang patut disembah. Dan, apa yang beliau serukan?

Kudengar, “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu...!” Kegeti-ran itu meremas kalbu. Betapa Pharaoh amat kejam, dan lebih hina dari budak Ysra’el.

Semuanya merupakan mukjizat Tuan Moshe. Yaitu Adonai Sang Pemberinya. Dan semua bencana yang Tuan Moshe bawa pada kaum Pharaoh belum tuntas hingga akhirnya Pharaoh Agung itu tenggelam di Laut Merah ini bersama ratusan Medjay-nya.

“Pujilah Adonai...!!!”

“Yeeeah...!”

“Terimakasih, Adonai...!!” Segenap budak Ysra’el kini menyeru pada-Nya.

Baruch Shem Kavod malchuso le`olam va`ed,” bisik Nyonya Zephora, lirih.

***

“Naebiya, apa yang ingin kau lakukan jika nanti kita telah sampai di Kanaan?” dalam perjalanan panjang ini, Ayah kembali berseloroh.

“Hmmm... entahlah, aku belum pernah melihat Kanaan sebelumnya, Ayah.”

“O, tak akan lama,” kata Yakhe bersemangat. “Sebuah negeri yang indah dengan padang rumput dan hutan yang lebih hijau dari Memphis.”

Aku tersenyum mendengarnya. Akan kurindukan desir debu Memphis, keramaian pasar para budak, Istana Pharaoh Agung, seringai dalam Medjay yang menyelidik, arca-arca Ptah, Anubis, dan Isis... Namun tempat kami bukan di sini. Tenaga dan keringat kami relakan demi berdirinya kuil-kuil dan patung-patung raksasa sang Pharaoh Mernptah. Betapapun, kata Tuan Moshe, kami adalah Kanaani. Para manusia Kanaan.

“Karena Adonai menjanjikan tanah itu pada kalian, maka datanglah padanya, wahai Kaum ‘Ivrit,” tak kulupakan senyum hangat itu. Senyuman Tuan Moshe pada para budak. “Berbahagialah, sebentar lagi akan ada rumah baru bagi kamu sekalian.”

Sejauh ini, aku bersyukur masih bisa mengingat semuanya. Suasana kampung para budak yang ramai. Dengan orang-orang yang menjalin urusan masing-masing. Rumah-rumah gubuk sempit, beserta sayur-mayur dan buah-buahan yang dikeringkan dan dijemur di atas atap. Atau hewan-hewan peliharaan kami yang saling berkeliaran.

Semuanya tinggal kenangan.

Namun, akan kusambut hari baruku di Kanaan.

***

Perjalanan hampir berakhir, kata Nyonya Zephora. Di tengah langkah kaki kami, tiba-tiba Ayah berceletuk. “Aha! Aku ingat!”

“Apa itu, Ayah?”

“Sssst... mendekatlah...,” maka aku melakukan apa yang ia katakan. “Aku ingat, waktu aku masih belum beruban, aku pernah menyaksikan sebuah perkelahian antara Samiri dan salah satu bangsawan Qibti, kalau tak salah bernama... Fahotep Amenwase!”

“Samiri? Bukankah ia...?”

“Ya, dia ada di barisan depan rombongan.” Ayah menunjuk seseorang yang menggeret sebuah gerobak ternaknya. Ia adalah Samiri. “Mereka berkelahi, dan hal itu diketahui oleh Sang Pangeran Pharaoh waktu itu.”

“Dan? Apa yang ia lakukan?”

“Pangeran yang marah kemudian menghantamkan tangannya ke wajah Fahotep dan—ya ampun!” mata Ayah melotot mengerikan. “Kau tahu? Fahotep langsung mati!”

“Haaah? Astaga, Sang Pangeran kuat sekali!” kudekap mulutku sambil terbelalak.

“Sejak itu, Sang Pangeran tak pernah terlihat lagi...”

***

Tanah Kanaan, 1230 Sebelum Masehi...

Kami semua mengenal Samiri bukan sebagai budak. Ia adalah pedagang di pasar Memphis. Ketika akhirnya budak Ysra’el keluar dari Memphis menuju Kanaan, Samiri pun mengikuti kami. Entah, apa yang membuatnya ikut meninggalkan Memphis. Kata Ayah, Samiri bukan ‘Ivrit. Kami semua menyadari bahwa dalam tubuh kami mengalir darah Avraham dari Kanaan, tapi, mungkin tak begitu dengan Samiri.

Tanah Kanaan yang luas begitu indah. Yakhe kerap berseru gembira ketika semua budak Ysra’el baru tiba di sini. Ayah dan aku pun amat mengharapkan kuasa dari Adonai. Tuan Moshe pernah menjanjikan sebuah kitab firman Adonai pada kami, saat masih di Memphis. Dan, aku tak percaya ia bakal menepati janjinya itu.

“Patuhlah kalian pada Ahron. Sementara, aku akan pergi selama 30 hari ke Bukit Sina, tak jauh dari Kanaan ini. Sabarlah, dan percayalah padaku...” pinta Tuan Moshe.

Maka aku bersabar. Tapi rupanya, tidak untuk yang lain. Terlebih Samiri.

Saat pada hari yang dijanjikan Tuan Moshe belum juga kembali pada kami, Samiri mengambil alih posisi Ahron sebagai pemimpin.

“Betapa Moshe adalah seorang pendusta, wahai Ysra’el! Ia tak akan pernah datang untuk membawa Tuhan kita semua!” bersamaan dengan itu, Samiri persembahkan pada kami semua sebuah patung berwujud anak lembu dari emas. Aku tak tahu, dari mana ia mendapat arca Apis itu. “Inilah Tuhan kita, wahai Ysra’el!”

Semua orang tercengang. Sekejap kemudian mereka ribut satu sama lain. Ada yang tidak percaya pada Samiri dan ada yang mengimani. Kami semua tercerai berai.

“Tidak! Bapak-bapak, ibu-ibu... tunggulah Tuan Moshe! Sebentar lagi ia datang! Tunggulah ia...!” seruku menyadarkan mereka semua.

“Hai, Ysra’el! Tenanglah...!” Ahron ikut berseru. Ia kalangkabut.

“Ahron... Ahron...!” aku mendatanginya, “Tuan Moshe akan segera datang kan? Iya kan?” tanyaku mendesaknya. Keadaan semakin gawat. Kini orang-orang yang mendukung Samiri mulai menempatkan arca Apis itu di atas sebuah singgasana.

Ahron menatapku cemas. “Maaf, Naebiya... aku tak tahu pasti—”

“Anda harus sadarkan mereka, Ahron! Bukankah kita semua telah berhasil keluar dari Memphis dengan semangat dan keyakinan akan Adonai? Adonai menjanjikan surga, kan? Adonai akan memberikan firman-firman-Nya pada Tuan Moshe, kan?”

“Naebiya...!” Ayah memanggilku, “ayo kemari! Arca anak lembu ini dapat bersuara. Ia hidup! Mungkin ia bisa kabulkan semua keinginan kita. Ayo, kemarilah...”

Apa? Ayahku? Mengapa begitu cepat ia langsung terpengaruh Samiri? “Tidak, Ayah! Ayah, sadarlah, arca itu bukan Tuhan kita. Ia cuma sebuah benda tak bernyawa, Ayah...!” sanggahku keras. Perasaanku hancur lebur. Tak akan ada lagi harapan yang bersinar untuk songsong masa depan bersama Tuan Moshe dan kuasa Adonai.

Adonai... di mana Engkau? Di mana Tuan Moshe? Bukankah beliau pergi untuk menemui-Mu? Tunjukanlah kuasa-Mu pada kami, agar kami percaya...

Air mataku berderai, kutinggalkan daratan Kanaan yang penuh dengan budak Ysra’el penyembah Apis milik Samiri. Semua ini karena Samiri! Ia buat kami kembali hina di hadapan diri kami sendiri, di hadapan Adonai milik kami!

Oh, Adonai, jangan jadikan kami bangsa yang membangkang dari-Mu!

Matahari beranjak muram. Hari mulai gelap. Aku adalah manusia Kanaan. Akan kujelajahi tanah ini. Akan kutemukan Bukit Sina, dan kupinta kepulangan Tuan Moshe bersama semua firman Adonai. Ya, Adonai yang akan selalu menjadi milik Ysra’el...

Masyarakat Ysra’el mengenal Tuhan dalam bahasa Hebrew atau Ibrani dengan sebutan Adonai, meski ditulis dengan huruf YHVH yang kemudian diterjemahkan menjadi Yehovah atau Yahweh.

“Israel” dalam bahasa Ibrani

Merupakan julukan kuno bagi Negeri Mesir

Nama nabi Musa dalam bahasa Ibrani

Kepercayaan Mesir Kuno, kematian adalah perjalanan ke Negeri Barat tempat Ra (matahari) tenggelam.

Bahasa Ysra’el berarti, “Ada apa?”

Nama nabi Harun dalam bahasa Ibrani.

Nomen (nama kebesaran)Firaun Mernptah yang berarti, “Kebahagiaan adalah Kebenaran”

Kesatuan pengamanan kerajaan Mesir Kuno

Nama nabi Yakub (dalam bahasa Ibrani)

Menurut sejarah, istri Firaun saat itu bernama Isisnofret, di al-Quran terkenal dengan nama Asiyah.

Berarti “Ibrani” atau “bangsa Ibrani”.

Dewa Langit (Mesir Kuno)

Dewa Bumi (Mesir Kuno)

Nama mereka dalam al-Qur’an (bahasa Arab) menjadi Yukabad dan Imran

Bahasa Ibrani yang berarti “Terpujilah Ia dan Kerajaan-Nya yang Agung selama-lamanya.”

Sebuah negeri yang sekarang bernama Palestina (Israel)

P.S. Cerpen ini adalah finalis 20 besar Sayembara Menulis Cerpen Belistra 2012 Untirta Serang (Banten) dan diterbitkan dalam Antologi Cerpen Jawara Sayembara Menulis Cerpen Belistra 2012 berjudul "Sarkofagus" (Belistra, 2012) halaman 109-121.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun