Mohon tunggu...
Gilang Satria Perdana
Gilang Satria Perdana Mohon Tunggu... Penulis - Bapak Rumah Tangga

Bila kita bisa mengumpulkan uang untuk membunuh orang, maka kita juga bisa mengumpulkan uang untuk menyelamatkan orang. (Tony Benn)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Epos Sang Juru Demung

17 Agustus 2013   02:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:13 1267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendungan ini merupakan hasil karya Ki Gede Sebayu, terletak di Desa Danawarih, Kabupaten Tegal (sumber: http://indonesiategalwisatalaka-laka.blogspot.com/)

Pendahuluan

Nun jauh di tepian jalur Pantura (Pantai Utara Jawa) berdiri sebuah kota yang namanya kerap disandangkan sebagai nama belakang seorang artis bernama Cici. Ialah, Tegal. Sebuah desa yang telah menjelma menjadi kota. Berkat sang founding father, Ki Gede Sebayu. Artikel ini ditulis dalam rangka menggali kembali kekayaan dan sejarah Kota serta Kabupaten Tegal. Dikhawatirkan pengenalan para remaja dan generasi muda Tegal terhadap pahlawan daerahnya semakin berkurang akhir-akhir ini. Padahal, sudah sepatutnya generasi muda Tegal, khususnya mengerti dan mengenal siapa pahlawan regional, pendiri dan pembangun pemerintahan Tegal.

[caption id="" align="aligncenter" width="622" caption="Gerbang ini selalu menyambut kita manakala kita bepergian dari arah barat (Kabupaten Brebes) menggunakan Jalur Pantura (Sumber: http://m-kholilulloh.blogspot.com/)"][/caption]

Martoloyo VS Martopuro

Tak banyak yang mengetahui perihal kegigihan Ki Gede Sebayu. Kebanyakan orang mengenal wiracarita Martoloyo dan Martopuro sebagai para pahlawan yang berasal dari daerah Tegal. Berkat idealisme dan kepatuhannya pada Sultan Agung, Martoloyo rela mengorbankan nyawa daripada harus tunduk pada pihak compagnie Belanda. Idealisme Martoloyo pernah diangkat menjadi sebuah drama kolosal garapan dramawan dan guru kesenian SMA Negeri 1 Tegal, Rudi Iteng, berjudul “Martoloyo Gugat” (Nurbiajanti, 2007).

Semuanya diawali oleh kekalahan Kerajaan Mataram terhadap pemberontakan Trunojoyo. Kekalahan tersebut memaksa seorang Amangkurat II, Raja Mataram, bekerjasama dengan pihak Belanda. Martoloyo merasa marah dengan keputusan sang pemimpin. Baginya, keputusan itu sama saja dengan merendahkan harga diri bangsa. Ia mewujudkan amarahnya itu dengan melepas jabatan sebagai Senopati, dan memilih menjadi rakyat jelata. Martoloyo habiskan sisa hidupnya di kota yang awalnya berupa desa bernama Teteguall.

Amangkurat II merasa terhina atas tindakan senopatinya. Walau begitu, sang raja tetap dapat mengambil keputusan bijak dan menjaga wibawanya. Maka ia perintahkan Tumenggung Martopuro untuk membawa Martoloyo kembali ke Mataram, hidup atau mati. Adalah pergolakan batin yang amat hebat, usaha Martopuro membawa Martoloyo kembali ke Mataram. Di satu sisi, terdapat keinginnan untuk berdamai dengan Martoloyo, tetapi suara hati lainnya menegaskan untuk tetap setia pada titah sang raja. Tak hanya demikian, pada akhirnya keinginan Martorpuro berdamai dengan Martoloyo untuk kemudian kembali ke Mataram mendapatkan penolakan dari sang tokoh utama. Kedua orang yang sebenarnya sama-sama ingin menjunjung tinggi martabat kerajaan dan bangsa itu pun terpaksa bertarung.

Martoloyo tetap berpegang teguh pada idealismenya untuk tak memihak penjajah, sedangkan Martopuro bersikeras menjunjung pengabdian dan kesetiaannya pada rajanya, Amangkurat II. Pertarungan antara keduanya tak terelakkan. Karena bukan disebabkan dendam atau permusukan, mereka benar-benar menunjukkan jiwa dan etika ksatria dalam pertarungan. Sebagai junior, Martopuro bahkan meminta ijin untuk menyerang Martoloyo terlebih dahulu. Tragis, tak ada pemenang dalam pertempuran itu. martoloyo dan Martopuro gugur dengan prinsip masing-masing.

Sejarah tentang mereka kini telah dijelaskan dan banyak ditulis dalam buku-buki pelajaran. Namun, masih belum banyak yang tahu tokoh utama di balik pembangunan kota tempat Senopati Martoloyo menghabiskan sisa hidupnya: Tegal.

Kisah Sang Juru Demung

[caption id="" align="alignleft" width="207" caption="Figur Tome Pires (sumber: http://jelajaharchipelago.blogspot.com/)"][/caption]

Sekitar abad ke-10, Tome Pires, seorang penjelajah dan saudagar Portugis pernah singgah di Tegal. Ia membeli beragam hasil pertanian dan gula di pelabuhan Tegal. Menurut catatannya, pada zaman itu masyarakat dagang Tegal masih didominasi oleh orang-orang India dan Tionghoa. Pendapat berbeda dikemukakan Rijkolf van Goens dan sumber dari buku W. Fruin Mees. Bahwa sekitar tahun 1575 daerah Tegal adalah daerah independen yang dipimpin oleh seorang raja kecil atau pangeran. Fakta ini didukung pula oleh sumber dari buku History of Java karya Sir. Thomas Stanford Raffles, bahwa ada sebuah kerajaan kecil bernama Mandraka (ada pula yang menyebutnya Kerajaan Salya) di sekitar wilayah Tegal. Namun, semua fakta ini dianggap meragukan.

Kerajaan Mataram mulai menguasai Tegal setelah penyerangan pasukan Mataram yang dipimpin oleh Panembahan Sedo Krapyak. Sebagai bagian dari Kerajaan Mataram, wilayah Tegal mendapat status sebagai Kadipaten atau Kabupaten pada tanggal 18 Mei 1601 dan Ki Gede Sebayu-lah yang diangkat menjadi pemimpin berjabatan Juru Demung (setara dengan jabatan Tumenggung). Fakta itu berbeda dengan yang dipaparkan oleh Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia (2010) bahwa Kota Tegal merupakan penjelamaan Desa Teteguall yang pada tahun 1530 telah menampakkan kemajuannya. Desa Teteguall termasuk wilayah Kabupaten Pemalang yang mengakui Kerajaan Pajang.

Meneruskan pemaparan Kementrian Dalam Negeri RI, adalah Kanjeng Syekh Abdurrahman atau lebih dikenal sebagai Ki Gede Sebayu dan merupakan saudara Raden Benowo, sang Juru Demung Desa Teteguall yang kemudian berganti nama menjadi Tegal. Ki Gede Sebayu masih memiliki darah ningrat dari Betoro Katong atau Syekh Sekar Delima (Adipati Wengker, Ponorogo) sebagai leluhurnya. Sejak kecil, beliau diasuh oleh eyangnya, Ki Ageng Wunut, seorang yang agamis dan hidupnya dihabiskan untuk mendalami serta mengabdi pada agama Islam. Setelah dewasa, oleh sang ayah, Pangeran Onje, Ki Gede Sebayu disuwitakan dalam Keraton Pajang sebagai Prajurit Tamtama Kesultanan Adiwijaya. Di sana, ia mendapat ilmu keprajuritan serta ilmu kanuragan sampai Kanjeng Sultan Adiwijaya Wafat pada tahun 1587.

Wafatnya Sultan Adiwijaya membuat Adipati Demak, Raden Aryo Pangiri, menggantikan tahta Kesultanan Pajang, atas prakarsa Adipati Kudus. Raden Aryo Pangiri, walaupun ia adalah putra menantu, tapi istrinya adalah Putri Pembayun dari Kanjeng Sultan Adiwijaya. Sedangkan putra resmi Sultan Adiwijaya, Raden Benowo, diangkat menjadi penguasa Jipang oleh Aryo Pangiri. Di sisi lain, posisi jabatan penting di Pajang diserahkan pada pejabat Demak yang dibawa oleh Aryo Pangiri.

Pada tahun 1587, kekuasaan Aryo Pangiri digulingkan oleh Senopati Mataram, yang dibantu oleh Pangeran Benowo. Kekuasaan Aryo Pangiri digulingkan karena dalam pemerintahannya, Aryo Pangiri bertindak tidak bijaksana, sehingga terjadi banyak kekacauan di mana-mana seperti perampokan, pemerkosaan, pencurian dan lain-lain. Dalam penggulingan kekuasaan Aryo Pangiri, Ki Gede Sebayu turut ambil bagian. Dalam hal ini, ia membantu kakaknya, Pangeran Benowo. Alih-alih melanjutkan kariernya dalam kesultanan, setelah penggulingan kekuasaan Arya Pangiri, Ki Gede Sebayu memutuskan untuk menempuh perjalanan ke arah barat. Rencana tersebut tercium oleh para relasi dekat dan handai taulan. Mereka pun bertekad mengikuti Ki Gede Sebayu ke arah barat. Adalah Ki Sura Laweyan dan Ki Jaga Sura, dua orang kawan dan pengikut setia Ki Gede Sebayu yang kerap memimpin barisan di depan.

Rombongan tersebut sempat mampir sejenak di Desa Taji, wilayah Bagelan yang dipimpin oleh Ki Gede Karang Lo, sang demung. Ki Gede Karang Lo menyarankan Ki Gede Sebayu dan rombongan mengunjungi daerah Tlatah Tegal atay Teteguall, di mana seorang sesepuh bernama Ki Gede Wonokusuma tinggal. Ki Gede Wonokusuma adalah sahabat dekat ayahanda, Pangeran Onje, karena ia masih keturunan Panembangan Panggung atau Pangeran Drajat.

Setelah berziarah ke makam ayahnya, Ki Gede Sebayu dan rombonngan melanjutkan perjalanan menuju Teteguall. Mereka sempat memasuki wilayah hutan Gunung Kendeng yang terkenal ganas dan banyak terdapat binatang buas dengan pepohonan raksasa. Tetapi syukurlah, mereka dapat sampai dengan selamat ke wilayah Teteguall, setelah sampai di Desa Pelawangan dan menyusuri Pantai Utara Jawa ke arah barat hingga sampai di tepi Kali Gung. Mereka disambut oleh Ki Gede Wonokusuma di padepokan miliknya.

Betapa senang hati Ki Gede Wonokusumo saat mengetahui ternyata Ki Gede Sebayu masih satu keturunan dengan trah Majapahit. Niat Ki Gede Sebayu untuk mbabat alas dan menciptakan kehidupan yang lebih baik di daerah Teteguall disambut baik. Mulai saat itu, banyak perubahan yang terjadi pada Teteguall karena peranan Ki Gede Sebayu. Beliau bersama keluarga dan beberapa pandai besi dan ahli tenun menempati wilayah Dukuh Menganti atau Dukung Karangmangu, di Desa Kalisoka, Kecamatan Dukuhwaru, Kabupaten Tegal kini.

Ki Gede Sebayu menjadi ikon dan spirit denyut nadi seluruh sendi kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya. Pendukung PERSEKAT, klub sepak bola dari Kabupaten Tegal, dengan bangga memakai ikat kepala bertuliskan “Laskar Ki Gede Sebayu”  (Sobandriyo, 2007). Nama besar Ki Gede Sebayu selalu dikenang oleh masyarakat Kabupaten dan Kota Tegal sebagai sosok kunci terbentuknya daerah tempat ditemukannya situs candi berbahan batu bata merah yang terletak di Desa Pedagangan, Kabupaten Tegal ini (Nurbiajanti, 2006).

Beliau yang berjasa pada masyarakat Kabupaten Tegal, khususnya, serta masyarakat universal pada umumnya, pantas diteladani. Pada zamannya, Ki Gede Sebayu adalah sosok pemikir visioner dan pekerja keras yang tak mudah menyerah pada kondisi alam daerah yang ia buka. Beliau olah tanah-tanah marginal yang umumnya terdiri dari pegunungan dan tegalan atau sawah yang pejal menjadi tanah subur dengan teknik pengairan yang baik. Ribuan hektar lahan tadah hujan yang semula hanya dapat ditanami palawija sekali setahun beliau olah menjadi tanah sawah irigasi yang dapat ditanami tiga kali setahun sehingga cropping index warga meningkat dari menjadi 300% yang menyebabkan produksi pangan melimpah.

[caption id="" align="alignleft" width="517" caption="Bendungan ini merupakan hasil karya Ki Gede Sebayu, terletak di Desa Danawarih, Kabupaten Tegal (sumber: http://indonesiategalwisatalaka-laka.blogspot.com/)"]

[/caption]

Fasilitas pengairan yang Ki Gede Sebayu bangun adalah Bendungan Danawarih di Desa Danawarih, Kecamatan Lebaksiu, yang dibangun dekat Kali Jembangan dan Kali Gung dengan Pintu Jimat sebagai intake-nya. Bendungan ini merupakan salah satu karya monumental Ki Gede Sebayu yang hingga kini masih bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat Kabupaten Tegal sejak selesai dibangun pada bulan Safar tahun 1559 ini. Momen penyelesaian Bendungan Danawarih kini selalu diperingati dalam bentuk perayaan Rebo Wekasan.

Konsep penataan air Ki Gede Sebayu pada akhirnya dibuktikan kemaslahatannya oleh ilmu pengetahuan. Di tahun 1948, saat pertemuan tahunan Persatuan Insinyur atau Koninklijk Instituut van Ingenieurs di Batavia, Prof. Van Bloomestein mengajukan konsep penataan air sederhana dan memiliki konsep mirip dengan penataan air Ki Gede Sebayu, yakni “kelebihan air di musim hujan harus ditampung dan disimpan untuk dimanfaatkan pada musim kemarau”. Dari pemikiran itu, dibangun sarana infrastruktur Waduk Cacaban di Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Tegal. Bangunan waduk yang awalnya mampu mengairi sawah irigasi seluas 15.000 hektar tersebut diresmikan oleh Presiden ir. Soekarno di tahun 1950-an.

Sumbangsih Ki Gede Sebayu lainnya adalah membangun Curug Mas, merupakangan pembangunan tiga sungai untuk irigasi yakni Kali Jembangan, Kali Bliruk, dan Kali Wadas yang terletak di Dukuh Kemalangen) serta membangun banyak padepokan dan masjid demi kualitas rohani masyarakatnya. Atas semua sumbangsihnya ini, penguasa Mataram kemudian mengutus Mantri Manca Praja ke Teteguall untuk menganugerahkan pangkat dan kedudukan “Juru Demung” pada Ki Gede Sebayu. Penganugerahan ini dilaksanakan pada tahun 1601 Masehi atau tepatnya pada tanggal 15 Safar tahun 1523 Saka atau 988 tahun Ehe yang bertepatan dengan Jumat Kliwon, melalui pesta panen rakyat di bawah naungan sinar bulan purnama.

Spirit Ki Gede Sebayu

Semangat kerja keras dan pantang menyerah telah tergambar nyata pada pahlawan sekaligus pendiri Kabupaten dan Kota Tegal. Hal ini yang pada akhirnya banyak menginspirasi masyarakat Desa Teteguall yang pada akhirnya berkembang menjadi Kabupaten dan Kota Tegal. Hingga pada saat kepergian beliau, masyarakat Teteguall mendapatkan banyak pelajaran moral berharga untuk dijadikan bekal kehidupan, salah satunya adalah semangat hidup rukun antarsaudara dan spirit Tri Manunggal. Tri Manunggal berisi semangat bahwa ada tiga elemen yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yakni pemerintah, ulama dan masyarakat. Semangat ini melambangkan solidaritas antarelemen masyarakat di mana persatuan dan kesatuan hanya akan tercipta dengan rasa solidaritas dan saling melengkapi.

[caption id="" align="aligncenter" width="538" caption="Masjid dan komplek makam Ki Gede Sebayu yang terletak di Desa Danawarih, Kabupaten Tegal (sumber: http://indonesiategalwisatalaka-laka.blogspot.com/)"]

[/caption]

Kini, tanggal penganugerahan Juru Demung pada Ki Gede Sebayu dijadikan Hari Jadi Kota Tegal berdasarkan Peraturan Daerah No. 5 tahun 1988, yakni setiap tanggal 12 April. Pada tanggal itu, seluruh anggota instansi pemerintah dan siswa-siswi sekolah se-Kota Tegal berkumpul di Alun-alun Tegal untuk berupacara memperingati Hari Jadi Kota Tegal. Tak hanya itu, banyak kegiatan sampingan yang diadakan pemerintah kota untuk memeriahkan peringatan hari jadi, seperti syukuran, sedekah laut, aneka macam lomba untuk para pemuda-pemudi, dan lain-lain.

Refleksi

Ki Gede Sebayu sudah memutuskan sebuah tekad yang penuh resiko ketika hendak mengarungi perjalanan ke arah barat dan mbabat alas untuk kehidupan barunya bersama para handai taulan dan pengikut-pengikutnya. Sebuah keputusan yang tak semua orang Indonesia berani ambil. Latar belakang pribadi Ki Gede Sebayu memutuskan untuk pergi dari Mataram memang belum secara penuh dipaparkan karena hasil penelitian sejarah yang masih terbatas. Namun refleksi moral yang dapat kita teladani selain spirit yang beliau tuahkan adalah  keberanian untuk beranjak dari zona nyaman kerajaan kita dan mencari kebermaknaan baru di medan yang lebih menantang. Tak hanya keberanian, diperlukan konsistensi serta kerja keras yang tekun tanpa terbersit untuk sekali saja menyerah karena gagal atas keputusan apa yang telah diambil.

Ki Gede Sebayu merupakan contoh nyata kita, bahwa ketika pemikiran kita memang baik dan benar untuk kebermanfaatan bersama, tak ada ruginya kita memperjuangkannya sampai mati. Kendala dan hambatan hanyalah kausalitas, lebih dari itu, dunia ini akan selalu baik pada orang-orang yang baik pula. Ki Gede Sebayu, meski memutuskan untuk pergi sendiri ke arah barat, pada akhirnya, karena dukungan dari para pengikut dan handai taulan, ia banyak menemukan bantuan-bantuan dalam proses perjalanannya dan proses pembangunan Desa Teteguall.

Pada akhirnya tak ada yang sia-sia dengan apa yang kita lakukan berdasarkan tekad dan pemikiran yang benar, yang menjunjung tinggi kebermanfaatan maksimal terhadap orang lain. Silakan mengunjungi Bendungan Danawarih di Desa Danawarih, Kabupaten Tegal, untuk membuktikan kerja keras Ki Gede Sebayu yang sampai sekarang masih bisa dinikmati oleh banyak orang.

Sumber dan Referensi

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tegal. (2010). Makam Ki Gede Sebayu. Dipetik Desember 15, 2012, dari Situs Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tegal: http://www.disparbud.tegalkab.go.id/id/wisata-budaya/wisata-ziarah/makam-ki-gede-sebayu.html

Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia. (2010). Profil Kota Tegal. Dipetik Desember 15, 2012, dari Situs Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia: http://www.depdagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/33/name/jawa-tengah/detail/3376/kota-tegal

Nurbiajanti, S. (2006, Juli 21). Ditemukan Candi Batu Bata Merah di Tegal. Dipetik Desember 15, 2012, dari Kompas Cyber Media: http://www.nnseek.com/e/alt.culture.indonesia/candi_batu_bata_merah_di_tegal_3363481m.html

Nurbiajanti, S. (2007, April 23). “Martoloyo Gugat”. Yang Idealis dan yang Setia. Kompas.

Pemerintah Kabupaten Tegal. (2011). Sejarah Kabupaten Tegal. Dipetik Desember 15, 2012, dari Situs Resmi Kabupaten Tegal: http://www.tegalkab.go.id/page.php?id=5

Redaksi Kompas. (2007, Juni 29). Ada Tiga Pilihan untuk Penentuan. Kompas.

Sobandriyo, T. (2007, Mei 16). Ki Gede Sebayu dan Ketahanan Pangan. Suara Merdeka.

Soetjiptoni. (2007). Ki Gede Sebayu (Tahun 1585 - 1625): Pendiri Pemerintahan Tegal. Tegal: Penerbit Citra Bahari Animasi Tegal.

Wijayanto, K. (2007, April 25). Pentas Kolosal Simbol Perlawanan Rakyat Tegal. Dipetik Desember 15, 2012, dari Indosiar: http://www.indosiar.com/fokus/pentas-kolosal-simbol-perlawanan-rakyat-tegal_60842.html

P.S. Esai ini merupakan Nominator 20 Besar pada Lomba Penulisan Pelaku Sejarah yang diadakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah tahun 2007.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun