“Nak, tolong gantiin gas elpijinya ya, kayaknya sudah habis..”
Begitu perintah Ibu pada saya, perintah untuk mengganti tabung elpiji yang habis saat dipakai untuk memasak. Dan beberapa menit kemudian..
“Bu, kok kompornya tetap nggak bisa nyala ya ?”
Saya berkata kepada Ibu, dan kemudian Ibu menghampiri saya dan mencoba memasang kembali tabung elpiji. Saya melihat Ibu memakai semacam “trik khusus” dengan memukul-mukul pelan regulator dan selangnya. Dan yang terjadi kemudian...
“Nah ini bisa nyala nak..”
Saya hanya bisa manggut manggut menyaksikannya, that works!
Mungkin kejadian ini juga sering pembaca alami. Dimana kita mengalami kesulitan saat memasang gas elpiji, dan harus memakai “trik khusus” yang macam-macam. Ada yang memakai cara seperti Ibu saya dengan memukul-mukul pelan regulator dan selangnya, ada pula yang harus mengganti karet pada bagian kepala tabung dengan karet yang lain yang mungkin kita memiliki cadangannya, memasang karet gelang atau plastik pada bagian luar kepala tabung, dan beragam cara lain yang mungkin tiap rumah memiliki trik tersendiri untuk menyiasatinya dan saya sebut menjadi semacam “personalisasi”.
Lalu siapa yang harus dimintai “pertanggungjawaban” dalam kejadian seperti diatas? Kualitas karet pada kepala tabung? Kualitas regulator dan selangnya? Atau kita sebagai konsumen yang masih belum “ahli” dalam memasang gas elpiji tersebut? Saya belum mendapatkan jawabannya. Toh dirumah saya juga sudah sering kali berganti regulator dan masalahnya tetap sama. Apakah memang begitu cara memasang gas elpiji yang benar? Kami sebagai konsumen merasa dengan cara-cara diatas semacam melilitkan karet gelang pada kepala tabung atau “ganjalan” lainnya adalah cara yang terbaik. Walaupun Pertamina sendiri pernah berkomentar bahwa pemakaian cara-cara diatas tidak dianjurkan dengan alasan keamanan. Lalu pilihan mana yang harus kami ambil, tidak mungkin kan kami terus meminta ganti tabung ke penjual dengan alasan tidak dapat terpasang dengan baik dikompor kami? Atau harus mengganti regulator yang harganya relatif mahal itu (dan memakan waktu pastinya). Konsumen seperti berada di persimpangan antara kebutuhan dan keamanan. Mungkin ini pula lah yang “mengilhami” sebagian orang untuk kembali menggunakan minyak tanah ataupun kayu bakar -walaupun sebenarnya penggunaan minyak tanah sudah tidak efektif lagi- tetapi faktor keamanan dan adanya ketakutan terhadap adanya insiden-insiden ledakan akibat kebocoran gas elpiji terbayang-bayang dibenak mereka.
Program konversi minyak tanah ke gas elpiji telah dimulai sejak tahun 2007 silam dan merupakan program konversi energi terbesar didunia dalam hal jumlah partisipan. Saat ini pengguna gas elpiji telah menyentuh angka lebih dari 53 juta. Tentu ini adalah suatu kebanggaan bagi kita, karena dengan ini kita dapat melakukan penghematan anggaran negara yang dulu digunakan untuk subsidi minyak tanah. Selain itu kita juga berkontribusi terhadap penggunaan energi ramah lingkungan dan meminimalisasi penggunaan bahan bakar fosil. Namun selain itu, Pertamina sebagai regulator pelaksanaan program ini juga selayaknya lebih memperhatikan produk tabung gas elpiji dan seluruh komponen pendukungnya. Agar keselamatan pengguna lebih terjamin dan masyarakat tak waswas menggunakannya. Pada akhirnya konsumen (dalam konteks ini) menginginkan produk yang ter-“standarisasi” bukan ter-“personalisasi”.
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H