Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lintas Alam

14 Januari 2025   21:31 Diperbarui: 14 Januari 2025   21:31 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi by The Celebrant Directory

Kara terbangun seperti biasa di jam setengah enam pagi dengan badan yang semakin lemas. Seminggu ke belakang kondisinya memang sedang menurun. Mulai dari pegal-pegal, demam, hingga tidak kuat lagi melanjutkan aktivitas kuliah. Akhirnya ia meminta izin selama seminggu ini untuk fokus ke kesehatannya.

Yang jadi sorotan bukan hanya soal kesehatannya saja, tapi soal kepastian Felix, kekasihnya yang lebih tua 5 tahun, yang sampai saat ini belum ditemukan keberadaannya. Laki-laki itu bersama 2 rekan lainnya masih dinyatakan hilang dalam perjalannya mendaki Gunung Rinjani seminggu lalu.

Demas, adik Kara, jelas berspekulasi bahwa kesehatan kakaknya ini terganggu karena terlalu banyak pikiran. Bahkan Kara bisa seharian di kamar dengan tatapan kosong sembari menonton berita di televisi untuk menunggu kabar terbaru Felix.

"Besok kita ke dokter. Kondisi Kakak sama sekali nggak ada kemajuan."

"Nanti juga sembuh sendiri," jawab Kara datar tanpa menatap lawan bicaranya.

Malamnya Kara menangis dalam sunyi kamar, mengingat kembali momen bersama Felix ketika keduanya bertemu tanpa sengaja di Pantai Pangandaran. Felix sebagai travel vlogger dan Kara yang kebetulan berlibur dengan teman-temannya itu ternyata bisa langsung akrab di dua hari perjalanan mereka.

"Aku mau serius sama kamu. Gimana?" tanya Felix di bulan keempat dalam proses pendekatan keduanya.

Maka hubungan keduanya berlabuh pada satu tahap yang lebih jauh. Bukan sekadar sebagai kekasih layaknya anak muda yang baru dimabuk asmara, tapi persiapan ke pernikahan pun sudah mulai disusun Felix sebagai bukti keseriusannya.

Namun ketika semua rencana itu baru saja dimulai, Felix mendadak hilang dalam pendakian. Ponselnya tak bisa dihubungi. Tim SAR pun sudah dikerahkan secara maksimal untuk pencarian.

"FELIX!" Kara terbangun lebih pagi mengingat kenangannya. Napasnya semakin berat, bahkan di sekujur tangannya mulai muncul lebam keunguan seperti habis terjatuh. Jelas, ia butuh pertolongan medis.

Pagi itu juga sebelum matahari terbit, Demas membawa Kara ke rumah sakit terdekat dengan mobil. Kara masuk IGD dan langsung ditindak untuk perawatan di salah satu ruangan. Untung saja ia tak terlambat dibawa hingga masih bisa tertolong.

Ketika Kara sudah tertidur pulas di ruang perawatan, Demas mendapat satu kabar penting dari ponselnya mengenai kabar pencarian Felix dan kawan-kawan. Matanya terbuka lebar menahan tangis, lalu menatap kakaknya dengan perasaan yang semakin teriris karena merasa tak sanggup untuk memberitahu secara langsung.

Tim SAR menemukan Felix. 

Dalam keadaan tak bernyawa.

***

Kara berkaca-kaca. Beberapa jam setelah ia tertidur dan mendapat perawatan, Demas menjelaskan dengan hati-hati soal kabar terakhir Felix yang ditemukan dalam keadaan tanpa nyawa. Jelas, perempuan itu shock dan menganggapnya sebagai mimpi siang bolong.

"Kakak harus ikhlas, ya," kata Demas mencoba tegar menenangkan.

Kara belum bisa berkata apa-apa. Air matanya perlahan mengalir tanpa disadari. Ia melihat pergelangan tangannya yang semula lebam kini sudah menghilang. Napasnya jauh lebih teratur. Demam dan rasa pusing yang beberapa hari menyerangnya pun kini sudah tidak terasa lagi.

Setelah sadar bahwa ini benar-benar nyata, barulah Kara panik.

"Nggak, De. Felix belum ketemu, kan? Felix masih dalam pencarian tim SAR, kan?"

"Kak, Felix dan dua temannya udah dipastikan tewas di pendakian itu. Aku tahu Kakak pasti masih shock sekarang."

Dengan gerak cepat, Kara bangkit dari tempat tidurnya menuju kamar mandi sembari membawa infusan lengan kirinya. Demas sebenarnya masih tak mengerti atas sikap tiba-tiba kakaknya ini. Tapi, ia mencoba membiarkan dengan tetap mengawasi di luar pintu kamar mandi.

Di hadapan cermin, Kara membuka baju untuk melihat bagian dada dan punggung. Tanpa diketahui Demas sebelumnya, saat masih sakit di rumah kemarin, ada luka seperti sayatan yang ada di bagian tubuhnya yang lain. Kali ini, luka itu benar-benar hilang tanpa bekas seperti lebam tangannya.

"Ini nggak boleh terjadi. Aku benar-benar akan kehilangan Felix!"

Bersamaan dengan itu, teriakan kencang terdengar langsung oleh Demas. Membuat laki-laki itu membantu kakaknya yang benar-benar menangis tanpa kontrol.

***

Di hari pemakaman Felix, Kara memaksakan hadir dengan pakaian serba hitamnya dan membawa sebuket bunga lili sebagai bentuk persembahan terakhir. Mata bengkaknya ditutup oleh kacamata hitam yang menjadi saksi ketika peti coklat itu perlahan dikubur di dalam tanah.

Di antara puluhan orang yang hadir dalam pemakaman, Kara sudah tidak bisa lagi mengeluarkan air mata. Seluruh energinya kini seakan habis, tergantikan oleh ingatan bersama Felix yang mungkin tak akan diterima oleh akal manusia normal.

Hari pertama ketika ia mendengar bahwa Felix hilang, tentu kaget bukan main. Di malam itu ia mengurung diri di kamar karena masih belum bisa menerima kenyataan. Tangis dan air mata menjadi satu-satunya kawan yang menemani.

"Aku di sini, Kar," kata sebuah suara yang begitu dekat, tapi tak terlihat ada di mana.

Semula Kara takut, tapi ia yakin bahwa itu adalah suara khas Felix yang selalu diingatnya.

"Felix, is that you?" tanya Kara memastikan dengan debar jantung yang terus bekerja di atas batas normal.

"Iya, Kar. Ini aku, Felix."

Meski tak ada fisik yang terlihat, Kara yakin bahwa kekasihnya itu benar ada di sini menemani dirinya pada kesepian tak berujung. Di situ juga Kara jadi paham bahwa raga Felix masih ada di tempat pendakian. Namun jiwanya, jelas sudah pergi dan sengaja menemui sang kekasih sebagai orang pertama yang ingin ditemui.

Felix sudah tak bernyawa di sana. Dan selama raganya itu belum ditemukan, maka ia masih bisa berada di samping Kara meski tanpa terlihat.

"Aku sayang kamu, Kar," kata bisikan itu.

Kara tahu bahwa tidak ada fisik yang bisa dilihat. Tapi, ia bisa merasakan setiap sentuhan bahkan hembusan napas dalam setiap titik tubuhnya. Dan setiap ia merasakan sentuhan tak kasat mata itu, kondisi tubuhnya semakin menurun. Entah dari dalam, bahkan dari luar.

Tubunya mulai terkena luka goresan, kesehatan terganggu, hingga lebam itu yang jadi peringatan bahwa fisiknya tak bisa lagi menerima kehadiran Felix. 

Setiap hari ia menunggu kabar apakah Felix ditemukan atau tidak. Karena jika benar-benar mayatnya ditemukan tim SAR, maka kehadiran laki-laki itu sepenuhnya akan hilang dan tidak akan bisa dirasakannya lagi.

Pada akhirnya Felixlah yang mengalah. Ia menghilang dari kehidupan Kara dan memberi petunjuk secara tak langsung ke tim pencarian agar tubuhnya ditemukan. Dan benar saja, tak lama setelah itu Felix dan dua temannya ditemukan tak bernyawa dan segara dievakuasi untuk diberikan ke keluarga.

Kini, berakhir sudah kisah Kara dan Felix. Rencana matang untuk membentuk  rumah tangga itu sepenuhnya hilang bagai debu yang ditiup angin, berubah jadi sebuah kenangan bitter sweet yang selamanya akan tertanam dalam memori otak.

"Tenang di sana ya, Fel. Love you," kata Kara menaruh buket lili di pusara yang sudah dipenuhi taburan bunga.

Kisah romansa lintas alam itu pun tidak akan pernah berlanjut. Cukup di sini. Di kalimat paragraf akhir ini.

LINTAS ALAM - SELESAI

Profil Penulis

M. Gilang Riyadi, 29 tahun. Sudah mulai menulis fiksi sejak di bangku sekolah. Sesekali menulis cerita pendek di Kompasiana yang beberapa kali masuk ke Headline. Selain cerpen, juga menulis 3 novel (1 cetak, 2 online).

Dokpri
Dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun